"Kalian semua berdiri yang tegak! Jangan mencong-mencong begitu. Lencang kanan, graak!" Vanilla yang berdiri paling ujung segera meluruskan lengannya ke samping bahu kanan Pandan. Pandan melanjutkan dengan meluruskan lengan pada bahu Aliya. Merapikan barisan mengikuti aba-aba Om Axel. Omnya Vanilla. Om Axel adalah om mafia yang sangat ditakuti oleh sahabatnya itu melebihi kedua orang tuanya sendiri. Jelas saja. Om Axel ini adalah sebenar-benarnya mafia. Bukan mafia kaleng-kaleng.
"Tegak, graak!" Vanilla dan Pandan segera menurunkan lengan secara serentak. Mengikuti aba-aba Om Axel.
"Siap, graak!" Vanilla, Pandan dan Aliya meluruskan kedua lengan di sisi tubuh masing-masing dengan tangan terkepal dan jempol di depan. Pandangan mereka lurus ke depan dengan sikap tubuh tegak.
"Istirahat di tempat, graak!" Vanilla, Pandan dan Aliya memindahkan kaki kiri ke samping selebar bahu. Tangan kanan dikepal dan pergelangan tangan dipegang oleh tangan kiri. Dalam diam mereka mengikuti aba-aba Om Axel tanpa berani membantah sedikit pun. Wajah Om Axel tampak seram karena sedang marah besar. Pasti Om Axel emosi karena si setan Altan ini meneleponnya tengah malam buta dan mengadukan semua kelakuan nakalnya. Om Axel memerintahkan Altan membawa mereka bertiga ke rumahnya saat itu juga. Makanya mereka bertiga akhirnya terdampar di sini.
Menurut pengakuan Altan, saat dia menghubungi ayah dan bundanya di club tadi, kedua orang tuanya sedang indehoy di salah satu hotel. Ingin melakukan second honeymoon katanya. Makanya Altan tidak tega mengusik kebahagiaan mereka. Dan sebagai gantinya Altan malah mengadukannya pada Om Axel. Ia lepas dari mulut harimau dan kini malah masuk ke dalam mulut buaya. Setali tiga uang. Vanilla bertukar pandang dengan Pandan dan Aliya. Saling mengerti tanpa kata bahwa mereka semua akan melewati malam ini dengan tidak mudah.
"Vanilla, jelaskan apa maksud kamu kelayapan di club pada pukul dua pagi? Dengan dandanan seperti ini?" Gelegar suara Om Axel menciutkan nyali Vanilla.
"Illa... Illa suntuk sekali akhir-akhir ini, Om. Jadi--jadi Illa ingin bersenang-senang sesekali dengan Pandan dan Aliya, Om. Itu saja." Tukas Vanilla hati-hati. Ia takut terpeleset kata dan malah menambah hukuman mereka.
"Tidak salah kan kalau Illa ingin sesekali hang out selama Illa tidak mabuk dan melakukan hal yang melanggar hukum?" Lanjut Vanilla takut-takut. Ia merasa walaupun saat ini ia sudah berada di ujung tanduk, tapi membela diri itu wajib hukumnya.
"Tidak salah menurut kamu?" Om Axel manggut-manggut seraya bersedekap.
Nah kan! Omnya manggut-manggut. Berarti alasannya cukup masuk akal. Alhamdullilah. Vanilla gitu lo. Ratu segala ngeles dengan seribu satu alasan.
"Jadi, kalau kamu merasa tidak salah, mengapa kamu harus berbohong pada kedua orang tuamu? Kenapa kamu tidak berterus terang mengatakan kalau kamu sedang hang out di club? Coba beri Om satu saja alasan yang masuk akal." Sembur Om Axel seraya berkacak pinggang. Vanilla langsung kicep. Sudah tidak ada harapan lagi ini mah!
"See? Kamu tidak bisa menjawab kan? Justru karena kamu tahu bahwa apa yang kamu lakukan itu salahlah, makanya kamu tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya pada mereka. Betul tidak?"
Betul, Om. Seratus buat, Om.
"Vanilla, Om dan bundamu sedari kecil sudah terbiasa dengan hidup keras. Om menjadi ayah sekaligus ibu untuk bundamu. Om menghukum seperti seorang ayah dan memeluk selembut ibu. Om dan bundamu hanya saling memiliki satu sama lain. Kami sudah yatim piatu sejak lama. Kami saling beragumen, bertengkar bahkan berkelahi sesekali. Tapi satu hal yang selalu Om tekankan pada bundamu adalah tidak boleh berbohong! Makanya setiap bundamu ketahuan berbohong, Om akan mencambuknya dengan keras. Supaya apa? Supaya lain kali saat bundamu tergoda untuk kembali berbohong, maka ia akan mengingat sakitnya dicambuk apabila ketahuan."
Jangan-jangan gue akan dicambuk juga ini? Vanilla membatin. Di sampingnya Pandan dan Aliya juga saling berpandangan. Benak mereka memikirkan hal yang sama.
"Om bisa menerima keteledoran, kesalahan atau apapun itu, asal tidak berbohong. Berbohong sering dipandang sebagai hal yang remeh. Padahal dari hal kecil inilah kepribadian seseorang akan terbentuk. Sekalinya kamu berbohong, kamu akan tergoda untuk melakukannya dua, kali, tiga kali dan seterusnya. Om sangat membenci seorang pembohong, karena pada dirinya sendiri saja ia bohong, apalagi terhadap orang lain. Dan sebagai hadiah dari kebohongan kalian semua..." Vanilla menahan napas saat Om Axel dengan sengaja menggantung kalimatnya.
"Silahkan kalian semua berdiri semalaman di sini sampai Om bilang cukup. Kalau tidak, itu artinya kalian akan berdiri semalaman sampai pagi. Dan jangan coba-coba duduk! Om akan mengawasi kalian dari CCTV."
Tepat setelah Om Axel menjatuhkan hukuman, hujan mulai turun. Mula-mula hanya berupa gerimis kecil dan makin lama makin deras. Sepertinya semesta ikut berkonspirasi menghukum mereka. Titik-titik air mulai mengguyur tubuh. Ditambah dengan pakaian kurang bahan dan dinginnya air hujan, tubuh mereka bertiga mulai gemetar kedinginan.
Sepuluh menit berlalu. Om Axel tidak jadi masuk ke dalam rumah dan mengawasi lewat CCTV. Om Axel memutuskan untuk mengawasi mereka secara langsung sambil bermain game. Sementara Altan duduk diam di samping Om Axel. Hanya pandangan matanya saja yang menyiratkan rasa khawatir. Sepuluh menit kembali berlalu dan cara berdiri mereka bertiga pun mulai goyah. Vanilla yang pasrah hanya bisa berdoa. Semoga hujan segera reda atau Om Axel menghentikan hukumannya. Ia sendiri juga sudah nyaris ambruk.
Doanya seakan dijawab saat pintu teras tiba-tiba saja terbuka. Tubuh mungil Tante Raline, istri Om Axel muncul di belakang pintu dengan membawa tiga buah payung. Satu sudah terkembang dan dua lainnya masih belum dibuka.
Alhamdullilah ya, Allah. Akhirnya kau kirimkan juga malaikat penolong untuk kami. Terima kasih ya, Allah.
"Kamu mau kemana, Line?" Om Axel beringsut dari kursi teras. Menghampuri Tante Raline yang sedang mengenakan sendal. Sepertinya Tante Raline akan memberikan payungnya pada mereka bertiga. Syukurlah. Akhirnya penderitaan mereka akan berakhir juga. Vanilla tidak henti-hentinya mengucap syukur.
"Mau minjemin payung buat Illa dan dua temannya, Mas. Nanti mereka bisa sakit kalau berdiri hujan-hujanan semalaman, Mas." Jawab Tante Raline jujur seperti biasanya.
"Bukankah Mas tadi menyuruh kamu tidur lagi dan tidak boleh menguping, Sayang?" Imbuh Om Axel lagi. Vanilla melihat Tante Raline mulai gelisah. Pasti si Tante kebingungan harus menjawab apa agar tidak diamuk si Om yang memang sangat tidak suka dibantah.
"Raline nggak menguping kok, Mas. Raline cuma mendengarkan pembicaraan Mas diam-diam dibalik pintu. Makanya Raline jadi tahu kalau Illa akan dihukum." Jawaban polos-polos jujur Tante Raline membuat Vanilla nyengir. Semesta ini memang adil. Om Axel yang nota bene seorang mafia kejam kelas kakap, bisa jatuh cinta pada si tante yang maaf, cara berpikirnya seperti anak SD saking naifnya. Sifat mereka berdua sangat kontradiktif bukan? Tapi anehnya cinta mereka satu sama lain luar biasa besarnya.
"Begitu? Kamu kasihan pada mereka?" Tanya Om Axel seraya menunjuk mereka bertiga. Tante Raline dengan cepat mengangggukkan kepala. Membenarkan ucapan suaminya.
"Baiklah. Karena kamu kasihan pada mereka padahal mereka telah melakukan kesalahan yang cukup besar, ya sudah. Kamu ikut saja dengan mereka. Silahkan ambil posisi dan rapatkan barisan." Sahut Om Axel kalem.
"Huapah? Mas nyuruh Raline ikut berdiri hujan-hujanan bersama mereka?" Tanya Tante Raline dengan sorot mata tidak percaya. Om Axel mengangguk kalem.
"Ora sudi! Daripada berdiri hujan-hujanan, mending Raline belajar tarian terbaru yang diciptakan Lily minggu lalu. Ya sudah. Nggak jadi deh Mas." Ralat Tante Raline enteng.
"Eh Illa dan teman-temannya, Tante minta maaf ya tidak jadi membantu. Banyak-banyak ikhtiar dan doa saja supaya hujannya cepet mampet. Tante masuk dulu ya? Selamat menjalankan hukuman. Tetap semangat ya? Bye anak-anak." Dan sosok imut si Tante pun segera berlalu. Begitulah kelakuan si tante. Pemikirannya yang sangat sederhana melengkapi hidup keras yang selama ini dijalani oleh Om Axel. Mereka berdua saling melengkapi dengan cara yang unik. Vanilla hanya bisa mengangguk lesu. Ternyata malaikatnya tidak jadi menolong. Bagaimana lah nasib mereka bertiga ke depannya? Ia sudah pasrah.
"Ehm... Om. Apa tidak sebaiknya hukuman mereka diganti dengan yang lebih bermanfaat saja, Om? Misalnya dengan menyuruh mereka membersihkan toilet atau menulis saya tidak akan berbohong lagi satu buku tulis penuh?" Altan mencoba menawar. Bukan apa-apa, dia hanya tidak enak saja kalau anak orang nanti sampai sakit gara-gara aduannya. Bukannya ini karena ia memikirkan nasib Vanilla ya? Ini semua ia lakukan hanya karena rasa kemanusian belaka.
"Kamu lupa sedang berhadapan dengan siapa, anaknya Abyaz? Saya ini mafia, bukan seorang guru. Jadi cara kami memberi hukuman sudah pasti berbeda. Mengerti?" Sembur Om Axel galak. Vanilla nyengir. Om Axel dari dulu memang sangat susah untuk mengingat nama anak dari teman-temannya. Alhasil si om akan menyebutkan nama ayah atau ibu mereka yang ia kenal. Makanya ia tidak memanggil Altan, tetapi anaknya Abyaz. Vanilla dan Pandan saling memandang sebelum akhirnya nyengir bareng mendengar cara Om Axel memanggil Altan.
"Kamu ini sedang dihukum anaknya Revan. Jangan senyam-senyum di barisan! Dan kamu anaknya Hardiman, berdiri yang tegak. Jangan bungkuk-bungkuk begitu!" Bentak Om Axel. Pandan seketika merubah air muka dan Aliya bergegas menegakkan punggung kurusnya. Mereka takut diomeli oleh Om Axel. Vanilla kasihan melihat Pandan dan Aliya. Tapi mau bagaimana lagi, mereka bertiga memang salah. Dan ini semua gara-gara om setan sialan itu! Lihat saja nanti apa yang akan dilakukannya kalau sudah bebas dari hukuman. Janji Vanilla dalam hati.
==================================
Dua jam kembali berlalu. Dan selama itu juga Altan tidak bisa tenang. Saat ini ia sedang mengawasi tiga serangkai itu dari pos SATPAM. Ia terpaksa pulang setelah Om Axel mengusirnya. Hanya saja ia tidak benar-benar pulang ke rumah. Ia memarkirkan mobil di sudut jalan dan mengawasi tiga serangkai itu dari pos SATPAM. Untung saja Pak Kardi, Satpam rumah Om Axel mengizinkan. Sementara itu Om Axel sudah tidak terlihat lagi di teras. Mungkin si Om sudah masuk ke dalam rumah dan hanya mengawasi dari kamera CCTV saja.
Tiga serangkai itu kini terlihat makin kepayahan. Yang paling parah sudah pasti Vanilla dan Aliya. Kalau Pandan, ia masih terlihat sedikit lebih strong. Vanilla sudah miring-miring berdirinya. Aliya bahkan telah bersandar pasrah di bahu Pandan. Hujan yang tidak berhenti turun selama dua jam ini seakan-akan ingin ikut menghukum mereka bertiga. Tepat ketika tubuh sempoyongan Vanilla oleng ke kanan dan ditangkap sembarang oleh Pandan, Altan berlari kencang dari pos Satpam menuju tempat eksekusi si trio kwek-kwek. Sebelum ia mencapai tempat eksekusi, Vanilla telah jatuh terkulai bersama dengan Pandan dan Aliya. Pintu teras terbuka dengan tiba-tiba. Om Axel muncul bersama dengan istrinya dan dua orang ART. Pandan terduduk di tengah-tengah dua orang temannya yang terkulai lemas. Ia ikut jatuh terduduk karena tidak kuasa menahan berat badan Vanilla dan Aliya sekaligus.
"Biar saya saja yang menggendong Vanilla ya, Om?" Saking khawatirnya pada Vanilla, Altan sampai tidak sadar kalau ia sudah mengatur-atur Om Axel.
"Siapa kamu berani mengatur-atur saya?" Sembur Om Axel galak. "Sana kamu gendong saja anak si Hardiman yang ceking itu. Kalau anaknya si Revan kan kuat kayak ibunya, jadi tidak perlu dipapah-papah." Lanjut Axel ketus. Tanpa banyak bicara, Altan segera menggendong Aliya yang sepertinya sudah pingsan. Pandan dituntun oleh Tante Raline dan Vanilla digendong oleh Om Axel.
"Kamu ikuti ART saya yang akan membawa kamu ke kamar tamu. Sebentar lagi dokter akan datang." Perintah Om Axel lagi. Altan hanya mengangguk dan mengikuti sang ART yang membawanya masuk ke dalam kamar tamu. Padahal Altan ingin sekali melihat keadaan Vanilla. Bukan apa-apa, kalau gadis itu nanti kenapa-kenapa, kan dia juga yang berdosa. Andilnya paling besar menyebabkannya celaka. Setelah meletakkan tubuh Aliya di atas kasur, Altan menyerahkan Aliya pada pengawasan salah seorang ART. Ia bermaksud untuk melihat keadaan Vanilla di kamar sebelahnya. Baru saja ia membuka pintu dan bermaksud untuk melongokkan kepala, sebuah toyoran menyinggahi kepalanya.
"Kamu ngapain mengintip-ngintip? ART saya sedang mengganti pakaian Vanilla yang basah. Kamu kan sudah saya suruh pulang tadi? Jadi ngapain kamu di sini lagi? Bikin semak rumah saya saja!" Dengus Om Axel ketus.
"Bukan apa-apa, Om. Saya hanya ingin melihat keadaan Vanilla. Soalnya kan saya yang membawa dia dan teman-temannya ke sini. Saya takut nanti ada apa-apa?" Sahut Altan diplomatis. Si Om kembali mendengus seperti banteng.
"Takut kalau kamu nggak keburu menyatakan cinta kalau Vanilla nggak bangun-bangun lagi gitu?" Sindir Om Axel. Altan auto kicep. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Om Axel bisa membaca pikirannya.
"Selama ini kamu ke mana aja anaknya Abyaz? Situasi sudah genting begini baru kamu sadar perasaan? Telat!" Imbuhnya lagi.
Astaga ini si Om mulutnya sebelas dua belas dengan petasan banting. Meledak-ledak ya tapi... bener juga sih semua perkataannya. Semoga keadaan semuanya baik-baik saja. Aamiin.