Ch.10 Tak Butuh Harta

2248 Kata
Antonio terus memandangi ponsel milik Marina saat berrdering keras. Layar menyala, kosong. Tidak ada nama, tidak ada nomor. Hanya dering panjang yang menggema di ruangan hening. Mata sang Tuan Muda menatapnya tanpa berkedip. “Nomor tak ada, nama tak ada. Bagaimana bisa?” gumamnya berdesis sinis. Ia membiarkan ponsel itu berdering sampai berhenti. Napas ditarik berat, berpikir cukup sampai di situ. Akan tetapi semenit kemudian, suara dering yang sama terdengar lagi. Antonio mengernyit, nadinya berdenyut cepat. Layar tetap sama, tanpa nomor tanpa apa pun. ‘Haruskah aku menjawabnya? Siapa b******n misterius yang menelepon kekasihku?’ desisnya dalam hati, mulai dibakar cemburu dan murka. Ketika terus berdering, ia tidka tahan. Tangannya cepat terulur untuk menekan tombol hijaun dan menjawab, tetapi dering itu berhenti lebih dulu. Diam. Hening. Lalu, suara pintu kamar mandi terbuka. Uap panas mengalir keluar bersama aroma sabun segar. Marina muncul dengan rambut basah dan jubah mandi yang menempel di tubuhnya. Tatapan terkejut langsung terpampang di wajah begitu melihat Antonio duduk di ranjang. “Antonio?” suaranya memekik tertahan. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Pria tampan itu berdiri perlahan. Tubuhnya tegap, wajah dingin tanpa ekspresi apa pun selain cemburu. “Aku datang untuk memastikan sesuatu.” Saat sang lelaki maju satu langkah, Marina mundur dua langkah. Sorot Tuan Muda Zambrotta seperti harimau melihat mangsa dan itu membuatnya terintimidasi. Antonio menatapnya tajam, langkah maju satu, dua, hingga terakhir jarak mereka tinggal sejengkal. “Ponselmu berdering dua kali. Nomor tak dikenal. Siapa yang meneleponmu?” Marina menatapnya tidak percaya. “Wh-what …?” Ia mulai berdebar dan membayangkan nama Draco, tetapi tak berani mengatakan apa pun. Baginya, pria itu satu-satunya tiket untuk keluar dari neraka ini. Jika ia bongkar keberadaannya sekarang, maka bisa jadi justru ia terus terjebak selamanya bersama Antonio. “Aku ulangi. Siapa yang meneleponmu, tapi tidak terlihat nomor atau nama apa pun? Siapa dia, Marina? Jawab pertanyaanku.” Suaranya lelaki itu berat, mengancam tanpa perlu mengatakan ancaman apa pun. “Aku tidak tahu siapa yang menelepon.” “Jangan berbohong padaku, Marina.” Nada bicaranya seperti desisan ular. “Nomor itu tak muncul di layar. Tidak ada nama, tidak ada kode negara. Hanya panggilan kosong. Siapa dia?” “Aku bilang, aku tidak tahu!” Marina menatapnya keras. “Dan apa hakmu memeriksa ponselku? Seingatku, kita sudah tidak punya hubungan apa-apa.” Antonio tersenyum miring, tetapi tatapannya terus mengancam. Ia tertawa kecil. “Sudah kubilang, kita hanya berakhir saat kukatakan kita berakhir. Dan kutegaskan sekali lagi, kita belum … kita tidak akan pernah berakhir.” Jemari besar dan kokoh merayap di tengkuk Marina, mengusap pipi halus lembab masih sedikit basah. “Bagaimana caramu keluar dari penjara?” “A-ada yang menebusku,” engah Marina lagi-lagi menutupi keberadaan Draco Lycenzo. Seringai Tuan Muda Zambrotta muncul dengan kasar. “Siapa?” “Bukankah kamu yang mengeluarkan aku?” tanya Marina, memainkan sandiwara. “Oh, jadi sekarang kamu berpura-pura tidak tahu siapa yang membuatmu keluar dari penjara dalam dua jam?” tawa Antonio mengejek. Usapannya di pipi mulai merambah ke leher. Lalu, sambil mengusap leher yang juga lembab dan sedikit basah ia berbisik lirih. “Tidak ada orang di New York yang bisa melakukan itu, kecuali seseorang dengan kekuasaan besar.” Marina mengendikkan bahu sejenak, menghela napas panjang, mengatur agar kegugupannya tertutupi sempurna. “Aku juga tidak tahu siapa. Aku pikir kamu yang melakukannya.” Antonio tertawa sinis bersama suara yang getir. “Aku? Katakan, selain aku, siapa lagi yang punya alasan serta kekuasaan untuk menolongmu?” “Entahlah! Aku tidak tahu!” Marina menatap lurus dan tajam. “Mungkin yang membebaskan aku adalah orang yang benar-benar peduli padaku. Seseorang yang lebih memiliki hati dibanding kamu!” Wanita itu berdesis muak. “Di sinilah kamu mengatakan kita tidak akan pernah berakhir. Mengatakan kamu mencintaiku. Tapi, kamu hanya diam saat aku ditampar dan diseret oleh ibumu!” “Siapa pun yang membantuku keluar dari penjara jelas adalah orang yang lebih peduli dan sayang padaku ketimbang kamu!” Tatapan Antonio langsung berubah. Ada kilatan gelap di mata. Campuran antara kemarahan dan cemburu yang terpendam. “Shut the f**k up!” engahnya merasa d**a terbakar membayangkan ada lelaki lain menyayangi dan peduli pada Marina. Namun, wanita yang ia anggap kekasih itu sepertinya memang sudah terlalu muak untuk terus berada di lingkaran setan seperti sekarang. “Kamu tahu, aku sungguh berharap yang membebaskanku kemarin adalah kamu,” desis Marina dengan mata berkaca-kaca. “Tapi, melihatmu terus bertanya siapa yang membebaskan aku, sekarang aku yakin kalau ternyata bukan kamu!” “Aku ditampar, dihina, dituduh pencuri di depan semua orang, dan kamu hanya diam! Kamu tidak datang ke penjara, tidak mengirim siapa pun untuk membebaskanku. Kamu membiarkanku sendirian, Antonio.” Bibir Marina bergetar saat mengatakan, “Kamu b******n!” Detik itu juga jemari Antonio yang ada di leher Marina mendadak mencekik hingga keras hingga sang wanita tidak bisa bernapas. Wajah tampan berubah menyeramkan. Merah padam dan deru napasnya pun panas. “Jangan coba-coba bandingkan aku dengan lelaki lain,” engahnya berupa ancaman mematikan. “Aku tidak akan biarkan siapa pun mendekatimu, Marina. Tidak satu lelaki pun akan kubiarkan menyentuhmu. Get that inside your f*****g brain!” Marina memekik tertahan. Dua telapak tangannya memukuli satu tangan Antonio yang sedang mencekik, berusaha menari jari-jari besar agar melepaskan lehernya. “Kkhhh … kkhhh …! Le-lepas … a-aku … tidak … bi-bisa … na-napas!” pintanya dengan suara seperti tengah diseret malaikat kematian. Kekeh sang pria semakin menyeramkan. “Kamu tahu aku bisa membunuhmu, bukan? Jadi, jangan sampai kamu berani bermain denganku!” “Jangan sampai kamu … mengkhianatiku!” “Aku adalah satu-satunya yang pernah dan akan terus kamu cintai,” katanya lirih di antara kebengisan yang baru pertama kali ini ia tunjukkan pada Marina. Lalu, ia tarik leher Marina ke arah wajahnya dan dia lumat bibir yang sudah kehabisan napas itu. Satu ciuman yang bukan kemesraan melainkan kepemilikan … d******i mengerikan. “Uh, bibirmu selalu terasa manis! Membuatku tergila-gila!” kekeh Antonio, lalu menjilat bibir sang wanita dengan menyapukan lidahnya di sana. “Dan siapa pun yang berani mencium bibir ini, akan kuledakkan kepalanya. Mengerti?” Mendadak, ia lepas cekikannya hingga Marina reflek tersungkur ke bawah, lalu batuk-batuk kencang. Napas panjang berkali-kali ditarik sebagai ganti sekian detik tidak bisa menghirup udara. Antonio menunduk, memandang rendah sekaligus tak mau kehilangan pada wanita itu. Ia lalu bersimpuh, merengkuh dagu Marina dan mengadu pandangan. “Jangan pernah berpikir untuk pergi dariku, karena itu berarti kematian.” Setelah mengatakan hal tersebut, ia kembali berdiri dan melangkah menjauh. Sesekali menoleh ke belakang, menyeringai saat melihat Marina yang terus terbatuk dengan wajah pucat. Begitu sampai di pintu, ia menyeru kencang. “Siapa pun yang menghubungimu, kataka padanya untuk berhenti atau dia akan ditemukan di truk sampah tanpa kepala!” Marina tak menjawab, hanya terus menatap pintu dan berpikir betapa dekat dirinya barusan dengan kematian. ‘Aku harus segera pergi darinya sebelum aku benar-benar tak bernyawa!’ *** Tangan Marina gemetar saat mulai menurunkan koper dari lemari. Suara gesekan roda koper di lantai terasa seperti gema ancaman yang terus bergaung. Ia membuka lemari, menarik pakaian satu per satu, melipatnya dengan rapi, dan memasukkannya ke koper besar berwarna hitam. Dering telepon tiba-tiba memecah keheningan. Layar ponselnya kosong, tidak ada nomor, tidak ada nama. Marina cepat menekan bundaran hijau. “Halo, Draco?” Suara di seberang terdengar berat, dalam, dan misterius seperti sebelumnya. “Aku sudah di New York. Aku ingin kita bertemu malam ini.” Marina menelan ludah. “Baik … di mana?” “Restoran di The Ritz-Carlton. Sopirku akan menjemputmu pukul enam sore. Dan … ingatlah, kika kamu datang, artinya kamu sudah membuat keputusan.” “Keputusan?” Draco menghisap batang rokok, lalu mengepulkan asapnya ke udara. “Sekali kamu datang, maka kamu milikku. Mengerti?” Jantung Marina berdetak kencang. “Aku sudah membuat keputusan,” katanya akhirnya. “Aku akan datang dan … ya, kita akan menikah, di mana itu berarti aku milikmu.” “Dan Draco ….” “Hmm?” “Terima kasih sudah membebaskanku dari penjara. Aku … kalau tidak ada kamu, mungkin aku masih di sana.” Hening beberapa detik, lalu Draco menegakkan punggung. Ia bertanya dengan suara lebih berat lagi. “Apa yang kamu lakukan di rumah keluarga Zambrotta?” Marina tertegun, cepat memutar otak, tetapi sepertinya buntu. Ia tidak mau mengatakan kalau dirinya adalah kekasih Antonio Zambrotta karena baginya itu adalah hal yang memalukan, tak bisa dibanggakan lagi. Belum sempat ia menjawab, terdengar suara lanjutan dari sang calon suami. “Nevermind, ceritakan nanti saja. Aku sibuk, harus segera menghadiri rapat. Sampai jumpa pukul enam.” Marina menghela dan terengah. “Ya, baiklah ….” “Hey, Marina.” “Ya?” “Berdandanlah yang cantik.” KLIK! Sambungan terputus, tidak ada lagi kata-kata. Layar ponsel kembali ke homescreen. Wanita berambut cokelat gelap melihat kepada dua tangannya. Kalimat terakhir Draco membuat merinding. Hanya sekadar permintaan agar dia berdandan cantik, tetapi kenapa menjadikannya berdebar tidak karuan? Tak ada waktu untuk terus berandai-andai. Ia kembali mengepak barang-barang penting. Semua harus selesai sebelum pukul enam di mana calon suaminya akan datang menjemput. Sekitar tiga jam kemudian, tangan lentik mulai mengetik surat pengunduran diri. Kalimat-kalimat itu mengalir dengan tenang, tanpa emosi, seolah setiap huruf sudah ditimbang dengan hati yang dingin. Ia menandatangani surat itu dan mengirimkannya langsung ke HRD perusahaan. Ternyata niat Marina untuk pergi dari Antonio sudah sangat bulat. Ia bahkan berani meninggalkan pekerjaan agar bisa memulai hidup baru yang lebih bersih. Lalu, terakhir saat semua sudah masuk di dalam koper, ia menarik selembar kertas dari atas meja. "Dear Antonio ….” Oh, ternyata itu adalah surat perpisahannya. “Satu tahun terakhir bersamamu sudah cukup membuat aku mengerti arti luka yang tak berdarah.” “Aku lelah berusaha terlihat kuat ketika kamu bahkan tidak peduli apakah aku runtuh atau tidak. Aku tidak ingin lagi memaksa diriku untuk bertahan di antara kebohongan dan rasa sakit.” “Tidak perlu mencariku, karena kamu sudah lama kehilangan aku dan kita sudah tidak akan pernah kembali bersama lagi.” “Semua barang pemberianmu aku kembalikan. Seharusnya kamu tahu bahwa selama ini yang aku butuhkan adalah cinta kasih tulus darimu, bukan harta benda merek termahal.” “Termasuk gelang berlian yang aku yakin harganya ratusan ribu Dollar. Aku tidak membutuhkannya. Berikan saja pada Rodee, aku yakin dia akan senang memakainya. Dia sangat mencintaimu, rela mati untukmu. Semoga kamu berbahagia dengannya.” “With love, seseorang yang pernah sangat mencintaimu dengan tulus, Marina.” Ia melipat surat itu perlahan dan meletakkannya di atas meja. Tepat di atas surat itu, ia menaruh gelang berlian yang dibelikan untuknya beberapa waktu lalu, saat pesta ulang tahun perusahaan. Tepat pukul 5:45 PM, ia turun ke lobi membawa tiga koper besar dan dua tas ransel. Petugas resepsionis sempat menatap heran, tapi Marina hanya tersenyum tipis. Tak lama kemudian, sebuah Rolls-Royce hitam berhenti di depan pintu kaca. Sopir yang mengenakan jas hitam turun dan membuka pintu dengan sopan. “Selamat sore, Nona Marina. Saya disuruh Tuan Draco menjemput Anda.” Marina mengangguk. “Terima kasih. Uhm, bisa minta tolong? Ini semua barangku. Aku mau pindahan apartemen setelah bertemu dengannya. Bisa tolong masukkan ke dalam bagasi?” Sopir sempat tertegun melihat banyaknya koper dan tas ransel, tetapi tidak berkata apa pun selain, “Siap, Nona.” Ia lalu memindahkan semuanya ke bagasi dengan cekatan. *** Perjalanan menuju hotel The Ritz-Carlton berlangsung dalam diam. Marina menatap pemandangan kota dari balik jendela mobil. Semuanya terasa jauh, seperti kenangan yang memudar di balik kaca tebal. Setelah sekitar 25 menit, mobil berhenti di depan gedung megah The Ritz-Carlton. Lampu keemasan dari lobi utama menyambut dengan kehangatan elegan. Marina turun perlahan, sementara seorang pria berjas abu-abu mendekat. “Selamat malam, Nona Marina. Saya Maxwell, asisten pribadi Tuan Draco Lycenzo,” ujarnya sopan sambil sedikit membungkuk. Marina mengangguk pelan. “Terima kasih, selamat malam juga, Maxwell.” “Silakan ikuti saya. Tuan Draco sudah menunggu di dalam.” Marina tertegun selama beberapa detik. Semakin penasaran siapa calon suaminya hingga memiliki asisten khusus yang menjemputnya seperti ini. Semua kemewahan, semua kemisteriusan, dan … seperti kata Antonio tadi, hanya orang berkuasa yang bisa membebaskan Marina secepat itu dari kantor polisi. ‘God, akhirnya aku sungguh akan bertemu dengan dia! Semoga dia pria yang jauh lebih baik daripada Antonio!’ ‘Aku tidak peduli rupa atau apakah dia sungguh kaya raya dan berkuasa atau tidak. Aku hanya berharap dia bisa memperlakukanku lebih baik daripada Antonio!’ Perlahan, langkah kakinya bergerak di belakang asisten tegap tersebt. Melewati koridor menuju sebuah restoran di ujung lantai. Semakin dekat, semakin jantungnya berdetak hebat. Keduanya memasuki restoran mewah. Semua yang datang sudah bisa dipastikan kaum jetset kelas atas, teratas. Pelayan menatap pada Maxwell dan mengangguk. Ketika Liora melintas, para pelayan itu membungkukkan pundak mereka, memberi hormat. Pun dengan manajer yang sumringah menyapa, “Silakan, Nona. Anda ditunggu di ruang khusus.” Marina cukup terbelalak melihatnya. Antonio juga adalah orang kaya raya. Akan tetapi, ia tidak bisa mengingat kapan dirinya pernah mendapat perlakuan seperti ini saat sedang makan di sebuah restoran bersama sang kekasih. ‘Apa dia tidak sekaya Draco? Atau dia hanya tidak pernah menunjukkan kekayaan serta kekuasaannya di depanku?’ Dan setelah ia pikir-pikir lagi, kenapa terasa sangat sedikit mengenai latar belakang Antonio yang sebenarnya ia tahu? Setibanya di depan pintu besar ruangan khusus, Maxwell berhenti dan menoleh. “Setelah ini, saya tidak akan masuk. Tuan Draco ingin berbicara dengan Anda berdua saja.” Marina menatap pintu itu lama, lalu mengangguk. “Baik.” Setelah pintu dibukakan oleh Maxwell, kaki jenjang nan mulus melangkah masuk. Napasnya kembali tertahan, tercekat di kerongkongan. “I-itukah … dia …?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN