Ch.04 Calon Suami Misterius

1924 Kata
Pagi itu, langit New York tampak kelabu, seolah ikut menggambarkan hati Marina yang masih remuk redam. Embun menempel di jendela apartemennya yang sederhana di Upper West Side. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih rapi dan rok cokelat tua selutut. Rambutnya yang masih sedikit basah dikuncir seadanya. Matanya sembab karena semalaman tidak tidur, tetapi ia berusaha tampak semanusiawi mungkin dengan polesan make up. Hari ini ia harus bekerja, harus terlihat seolah semua baik-baik saja. Tangannya lemas ketika merapikan kancing terakhir. “Kamu kuat, Marina, kamu bisa melewati ini semua,” gumamnya pelan pada diri sendiri. “Kamu harus bisa berdiri tanpa siapa pun.” Ia menatap pantulan wajahnya yang pucat dan tersenyum kaku, lalu meraih tas kerja di sofa. Namun, sebelum sempat melangkah ke pintu, terdengar suara bel nyaring. Kening Marina berkerut. Siapa pagi-pagi begini? Ia membuka pintu perlahan, dan napasnya tertahan. Antonio berdiri di sana, mengenakan jas abu muda dan kemeja biru langit. Parfum maskulin sang kekasih menyeruak masuk, membuat debaran sakit di batin Marina. “Antonio?” Suara Marina menahan gugup dan pedih. “Mau apa kemari? Aku mau berangkat kerja.” Pria itu menarik napas panjang, lalu melangkah masuk tanpa izin. “Aku harus melihatmu, memastikan kamu baik-baik saja setelah drama semalam,” katanya menyeringai lirih. “Sejak semalam aku tidak bisa tenang.” Marina mundur selangkah. “Oh, ya? Semalam kamu tidak bisa tenang memikirkan aku?” suaranya dingin, meski hatinya bergetar hebat. “Bukankah kamu seharusnya memikirkan Rodee, merayakan kemenangan kalian malam ini atas diriku?” Antonio memandang dingin, lalu tanpa aba-aba langsung memeluk erat. Bahkan bibir sang pria melekat di leher harum. Marina tersentak, mencoba mendorong d**a bidang itu, tapi pelukannya terlalu kuat. “Lepaskan aku, Antonio!” engahnya getir. “Jangan sentuh aku dengan tangan yang sudah dinodai sepanjang malam oleh jari-jari Rodee!” Namun, suara pria itu terdengar penuh penyesalan. “Maafkan aku, Marina. Aku kehilangan kendali kemarin. Aku tidak bermaksud mendorongmu sampai jatuh ke sungai. Tuhan tahu, aku menyesalinya setengah mati.” Marina terpaku. Ia bisa merasakan detak jantung Antonio berdentum keras di d**a. Akan tetapi, rasa sakit dalam dirinya terlalu besar untuk disingkirkan hanya oleh satu pelukan. “Kamu pikir kata maaf bisa menghapus semua?” ujarnya pelan, menatap mata pria itu dengan tatapan terlalu hancur. “Kamu tidak hanya menyakiti aku, tapi juga mempermalukanku di depan semua orang, Antonio.” Tuan Muda Zambrotta menangkup kedua pipi putih nan lembut, menatap dengan tatapan penuh sesal. “Aku tahu. Aku brengsek.” “Tapi aku benar-benar panik. Rodee pingsan, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ...” suaranya serak. “Aku seharusnya menyelamatkanmu lebih dulu saat kamu terjatuh di sungai.” Air mata Marina menetes tanpa bisa ditahan. “Kamu bahkan tidak mencariku. Tidak satu pun pesan darimu semalam.” “Aku pulang dengan memakai seragam pelayan, dipermalukan oleh wanita yang kamu biarkan menghancurkan aku. Apa kamu tahu betapa hancurnya aku semalam?” Antonio diam. Ia lalu melepas pelukan dan menarik sesuatu dari saku jasnya, sebuah kotak kecil berwarna hitam. Dari dalamnya, ia mengeluarkan gelang berlian mungil berdesain elegan. “Ini untukmu,” katanya pelan. “Aku memesannya beberapa minggu lalu. Harusnya kuberikan semalam, saat pesta ulang tahun kantor, tapi ... entahlah, semuanya jadi berantakan.” Marina menatap benda itu, enggan menyentuh atau tersenyum melihatnya walau sungguh kilau berlian itu sangat indah. “Kamu pikir ini bisa menebus semua luka?” Antonio tak menjawab. Ia menggenggam tangan Marina, perlahan memakaikan gelang itu di pergelangan tangan berkulit halus. “Anggap ini simbol cinta kita,” ucapnya tersenyum lembut, jauh dari kekasaran yang ditunjukkan semalam. “Aku tahu aku banyak salah, tapi kamu ... kamu tetap satu-satunya wanita yang aku cinta, Marina.” Terengah, sang wanita menatap gelang di tangannya. Berlian kecil berkilau di bawah cahaya matahari yang mulai menembus jendela. Namun, di matanya, kilauan itu tampak seperti ejekan. “Cinta?” Marina bertanya getir. “Kalau itu cinta, kenapa kamu terus menyakitiku, Antonio? Kenapa kamu biarkan Rodee mempermalukanku di depan semua orang?” “Kalau kamu masih cinta Rodee, kenapa tidak bersamanya saja dan lepaskan aku?” Antonio bernapas berat, lalu menggeleng. “Aku tidak bisa melepaskanmu, tidak akan pernah bisa.” “Kenapa?” “Karena aku terlalu mencintaimu, Marina.” Ia menatap dalam-dalam. “Tapi, aku juga tidak bisa membohongi diri sendiri ... bahwa Rodee masih bagian dari masa laluku yang belum selesai.” Marina mengerjap, lalu matanya memandang marah. “Jadi, aku hanya tempatmu berlabuh sementara? Sesuatu untuk menutupi rasa kosongmu karena wanita itu pergi?” “Dan saat dia kembali, kamu ingin memiliki kami berdua dalam waktu yang bersamaan, begitu? Selama satu tahun aku mencoba bersabar denganmu dan Rodee! Tapi, kalian semakin keterlaluan!” Antonio kembali menggeleng cepat. “Bukan begitu. Rodee masa lalu, kamu masa depanku. Tapi aku ... aku butuh waktu untuk benar-benar melupakan semuanya.” “Sudah bertahun-tahun, Antonio! Sudah enam tahun sejak dia pergi meninggalkanmu! Dan kamu masih tidak bisa melupakannya?” Marina mengeraskan suara. “Sampai kapan aku harus menunggu kamu sembuh dari masa lalu itu? Sampai aku kehilangan diriku sendiri? Atau sampai aku sungguh tenggelam di derasnya Hudson River?” Keheningan panjang menyusul. Antonio menunduk, ekspresi wajahnya menegang. Ia tahu Marina benar, tetapi egonya menolak mengakui. Akhirnya ia hanya berkata lirih, “Aku minta kamu bertahan sedikit lagi. Aku janji akan menebus semua. Aku akan membuktikan kalau hanya kamu satu-satunya yang aku mau.” Marina menatapnya jengah bersama jutaan keraguan. “Kamu sudah berjanji berkali-kali, Antonio.” Pria itu mengusap pipi kekasihnya dengan lembut, menatap dengan sorot mata yang ia harap masih mampu menggoyahkan hati Marina. “Aku tahu aku banyak menyakitimu, tapi tolong ... jangan akhiri semua, jangan tinggalkan aku sekarang.” Kemudian, ia menyeringai dan ada sedikit kebengisan di sana. “Percayalah. Aku tidak akan mau membiarkanmu pergi dariku. Tidak sekarang, tidak kapan pun juga!” Lalu, seringai bengis itu hilang berganti dengan senyum penuh kelembuta. “Aku akan pulang ke Italia selama seminggu, menghadiri pernikahan sahabatku. Begitu aku kembali, aku akan menebus semuanya.” “Kita akan pergi berlibur ke tempat yang kamu mau. Hanya kita berdua. Aku ingin menata semuanya dari awal lagi.” Marina berdecak lirih. Suaranya parau ketika berkata, “Liburan tidak akan memperbaiki luka, Antonio. Satu juta liburan pun, selama masih ada Rodee di antara kita, maka tak akan ada yang menjadi lebih baik!” Antonio tersenyum dingin dan matanya menatap penuh d******i. “Tapi … liburan itu bisa jadi awal. Aku akan buktikan kamu tidak akan kehilanganku lagi, Marina.” Ia memeluk sekali lagi, menempelkan bibirnya di kening Marina dengan lembut. Sentuhan itu membuat jantung Marina berdesir, sekaligus juga menimbulkan perih yang sulit dijelaskan. Ia tahu dirinya masih mencintai Antonio, tetapi hatinya juga tahu cinta itu kini hanya menyisakan luka. Dan ia tahu kalau terus bertahan sama saja dengan bunuh diri. Ketika pria itu akhirnya melepas pelukan, pamit, dan melangkah pergi sambil meninggalkan aroma parfumnya yang khas di udara, Marina hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu. Gelang berlian itu masih berkilau di pergelangan tangannya, dingin, indah, tetapi justru terasa seperti belenggu. Ia menatap pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Di sana, ia melihat dua hal yang kontras. Wanita yang masih mencintai Antonio, dan wanita yang perlahan mulai sadar bahwa cinta semacam ini hanya akan terus melukainya. *** Marina tidak membawa mobil hari ini, hanya ingin cepat sampai di kantor tanpa repot menyetir, apalagi semalaman dia tidak tidur. Rasa kantuk serta pusing sudah sejak tadi menyerang. Tangannya melambai memanggil taksi yang melintas. Tak lama, sebuah mobil kuning berhenti di depannya. Ia masuk dan menyebutkan alamat kantornya. “Tepat ke pusat distrik finansial,” katanya singkat. Sopir hanya mengangguk tanpa bicara. Suara dering ponsel memecah keheningan dan lamunan. Marina menurunkan tangan ke dalam tas, lalu melirik layar ponselnya. Tidak ada nama, tidak ada nomor, bahkan tidak ada tanda asal panggilan. Hanya layar kosong dengan tulisan Incoming Call. Keningnya berkerut. “Nomor siapa ini?” gumamnya pelan. Ia menatap layar beberapa detik, lalu menjawab dengan sedikit ragu dan resah. “Halo?” Suara di seberang tidak langsung terdengar. Hanya deru napas pelan, seperti seseorang sedang merangkai kalimat sebelum berbicara. Lalu, suara bariton seorang pria menembus sunyi. Suara itu dingin, dalam, tenang, dan … misterius. “Apakah ini Marina Woodhsen?” Mata Marina terbelalak karena namanya disebut sementara dia tidak tahu siapa yang menelepon. “Ka-kamu siapa?” Jeda hening selama beberapa detik membuat ketegangan meningkat. “Aku Draco Lycenzo. Calon suamimu.” Marina terdiam. Suara itu begitu yakin, seolah pernyataannya adalah sebuah ketegasan, bukan sekadar informasi. Ia berusaha menata napas, mencoba mencari kata. “Calon suami?” ulangnya pelan. Lalu, batinnya mulai sadar. Bukankah semalam ia menerima perjodohan tersebut. “Oh, yeah, right. Kamu yang akan dijodohkan denganku. Maaf, kalau aku tidak langsung mengenalimu. Lagipula, kita memang tidak saling kenal.” “Kita akan saling mengenal mulai besok,” balas Draco datar, tetap dingin. Setelah mengembus satu asap rokok, suaranya kembali bertanya, “Kapan kamu bisa bertemu dan membicarakan masalah ini?” Marina menahan kegugupan. Pria itu seperti tidak punya emosi, semua serba dingin dan datar. “Aku… aku harus lembur hari ini. Mungkin besok malam kita bisa bertemu?” “Baik,” ucap Draco. “Besok malam, aku tunggu kamu di Le Bernardin.” Marina menatap terkejut ke jalanan di depannya. Restoran itu salah satu yang paling mahal di New York. Tempat yang hanya dikunjungi oleh para pebisnis papan atas dan keluarga konglomerat. Ia tahu nama itu. Semua orang tahu dan … calon suaminya ingin bertemu di sana? “Ka-kamu yakin … uhm … yakin ingin bertemu di sana? Aku dengar seseorang harus menunggu reservasi sampai tiga bulan untuk bisa makan di sana.” Calon suaminya hanya tertawa kecil, tawa yang tetap memberikan kesan misterius. “Mereka akan menyediakan meja kapan pun aku minta.” Draco melanjutkan, “Datanglah tepat waktu. Jangan membatalkan janji temu ini. Aku tidak suka dijadikan pilihan kedua dalam hal apa pun.” Nada bicaranya tidak tinggi, tapi penuh intmidasi. Seolah kata-kata itu adalah peringatan. “Jika kamu tidak datang,” suaranya lebih pelan, tetapi dingin seperti kutub, “Kalau kamu tidak datang, lebih baik kita tidak usah menikah.” Marina menarik napas panjang, kemudian menatap gelang berlian di tangannya. Ini adalah sebuah langkah besar bagi hidupnya. Setelah setahun menahan rasa sakit, menemui Draco sepertinya adalah solusi terbaik, termasuk menikahi pria itu. Suaranya lalu terdengar, menahan getar ketegangan. “Aku akan datang. Jam tujuh malam, ya?” “Hmmm ….” Telepon terputus tanpa salam. Hening. Marina menatap ponsel di tangannya. Nama itu lalu menggema di kepalanya, Draco Lycenzo. Matanya menatap gelang berlian itu sekali lagi. “Antonio,” bisiknya. “Kamu bahkan tidak tahu seberapa dalam kamu menyakitiku.” Ia tersenyum sangat pahit. “Menikahi Draco Lycenzo adalah cara agar aku bisa terbebas dari belenggu sakit cintamu.” “Dan kamu tidak akan pernah melihatku lagi. Selama kamu di Italia, aku akan pergi diam-diam. Suatu hari kamu akan tahu kalau aku sudah menikah dengan lelaki lain.” Matanya ditutup, menghirup udara kebebasan yang ia yakini akan datang sebentar lagi. Bibir berbisik, “Dan saat kamu tahu aku sudah menjadi istri orang, aku harap itu menjadi pembalasan yang paling sakit bagimu!” Mendadak …. Suara dentuman kencang terdengar memekakkan telinga bersama bising pecahan kaca membabi buta. Marina membuka mata dengan terkejut dan merasakan seisi dunianya terguncang begitu saja tanpa bisa ia kendalikan. Kendaraan berputar, kaca pecah berhamburan, dan ia bisa melihat moncong sebuah truk menggempur lambung taksi yang ia naiki. Jeritan orang-orang terdengar, jeritan sopir terdengar, tetapi ia tidak bisa mendengar jeritannya sendiri. Telinga berdengung … mata menjadi buram. Semua berubah menjadi … gelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN