2. Sedikit Pujian

1377 Kata
“Bu, sate donatnya tiga puluh tusuk, kalau brownisnya lima puluh irisan,” ucapku ramah pada Bu Septi, Ibu-ibu yang bertugas menjaga kantin fakultas. “Siap Mbak Ara...” Hampir tiap hari ketika aku ke kampus, aku selalu menitipkan dagangan Ibu di kantin, lalu mengambil upahnya sore hari ketika aku melihat daganganku sudah habis atau ketika kantin akan tutup. Meski labanya tidak seberapa, tetapi lumayan untuk tambah-tambah beli bensin. “Mbak Ara...” aku yang baru saja duduk menyalakan laptop di meja oval lantai dua, langsung menoleh ketika mendengar ada yang memanggil. “Iya, siapa?” “Aku, Mbak, Faris. Aku ikut kelompoknya Mbak Ara buat praktikum C++.” “Eh, iya? Maaf, ya, aku belum inget nama kalian satu-satu.” “Enggak papa, Mbak. Hehe...” Faris menyapaku hanya sekedar basa-basi, karena saat ini dia sudah berdiri di depan kasir kantin untuk jajan. Aku tersenyum ketika melihat dia membeli dua tusuk donat daganganku. “Mbak Ara, saya duluan!” “Iya, Faris...” Aku menghela napas panjang ketika mengeluarkan bendel proposal yang baru saja aku print sebelum berangkat ke kampus. Aku harap kali ini Pak Davka tidak banyak mencoret lagi. Atau kalaupun ada, tidak sebanyak sebelumnya. Drrrt! Tiba-tiba saja, ponsel yang aku taruh di saku celana bergetar. Aku buru-buru mengambilnya, dan ternyata ada pesan dari Pak davka. Bon Cabe Level 50: Saya lihat kamu udah berangkat. Pagi ini ada kuliah atau tidak? Aku buru-buru mengetik balasan. ‘Tidak, Pak. Bagaimana?’ Bon Cabe Level 50: Temui saya sekarang di Lab. Aku kembali membalas. ‘Baik, Pak.’ Laptop yang sudah kunyalakan, kembali kumatikan dan segera kumasukkan ke dalam tas. Aku merapikan bajuku, sebelum bergegas menuju ruangan Pak Davka di laboratorium lantai satu. Setibanya di sana, aku dibuat terkejut ketika melihat Bu Anis. Beliau tersenyum ramah, dan aku segera menyalami beliau antusias. “Mbak Ara makin cantik saja, ya, saya lihat-lihat?” ucap Bu Anis yang membuatku meringis kikuk. “Yang benar itu saya makin hitam, Bu. Kepanasan setiap hari.” Setelah berbasa-basi sejenak, Bu Anis mulai menanyai sampai mana skripsiku. Beliau meminta maaf karena sulit dihubungi akhir-akhir ini, jadi mumpung pagi ini beliau kosong, beliau menyempatkan ingin bertemu denganku. Coba bayangkan jadi aku, betapa senangnya aku hari ini? Dekan fakultas yang terkenal sibuk dan sulit dihubungi, meminta maaf secara langsung karena belum bisa membimbing tugas akhirku secara rutin. Sejujurnya aku sudah maklum, toh Pak Davka pernah bilang kalau Bu Anis tidak semena-mena lepas tanggung jawab, hanya saja memang jadwalnya yang sedang tidak bisa ditawar. “Bagus ini, Mbak, kamu ambil skripsi tentang sandi kriptografi. Kriptografi juga ada loh, di Matematika.” Aku mengangguk antusias ketika tema utamaku menadapat respon bagus. “Iya, Bu. Kebetulan saya kenal dekat dengan salah satu anak Matematika. Kami pernah ngobrol banyak, dan saya nemu ide dari situ. Nanti goal-nya kalau memungkinkan, saya ingin membuat aplikasi khusus untuk membuat enkripsi sandi yang tidak terlalu kompleks tapi aman. ....” Pagi itu, mengobrol dengan Bu Anis membuat mood-ku naik berkali lipat. Ini sangat berbeda jauh ketika mengobrol berdua dengan Pak Davka. Bagaimana tidak, Pak Davka hanya tahu cara mengkritikku. Aku jujur saja, sebenarnya, di dunia ini tidak ada orang yang suka dikritik. Lebih tepatnya, daripada memakai kata ‘suka’, akan lebih pas memakai kata ‘mau menerima’. Ini perbedaan utamanya, ada orang yang mau terima kritikan dan ada yang tidak. Mau menerima, bukan berarti ‘suka’. Paham maksudku, kan? Kalau aku sendiri, aku tipe yang jelas sangat terbuka dengan kritikan, asal di sertai saran yang membangun. Hanya saja, aku tipe yang mudah overthinking tiap mendapat kritikan yang pedas. Tidak masalah orang mengkritikku, tetapi aku harap mereka menyampaikannya dengan kalimat yang baik. Aku justru akan langsung bebenah daripada marah-marah. “Mbak Ara, nanti tolong kirimkan soft file ke email saya, ya. Selebihnya bahas sama Pak Davka, beliau jagonya bikin aplikasi.” Aku tersenyum sambil mengangguk. “Iya, Bu.” Bu Anis pamit lebih dulu, karena pagi ini beliau ada mengisi seminar di kampus sebelah. Aku jadi tidak heran, meski beliau terkenal baik dan ramah, para mahasiswa tetap menghindari dibimbing beliau karena saking sibuknya. Tentu kalian tahu, kesuksesan skripsi mahasiswa tidak hanya ditentukan dari mahasiswanya sendiri, tetapi juga dosennya. Kedua belah pihak harus sama antusiasnya agar skripsi bisa maksimal dan cepat selesai. Setelah Bu Anis pergi, kini tinggal aku dan Pak Davka di ruangan ini. Dari tadi Pak Davka tampak sibuk dengan tumpukan kertas folio di mejanya. Dia mungkin sedang mengoreksi tugas para mahasiswa. “Lima menit lagi,” ucapnya pelan tanpa menoleh ke arahku. “Iya, Pak.” Lima menit berlalu, Pak Davka akhirnya melepas kaca matanya. Dia meminum satu gelas air putih di meja, lalu memintaku untuk duduk di kursi yang berada tepat di depannya. Dia mengulurkan tangan, membuatku reflek menyerahkan kertas yang aku print tadi sebelum ke kampus. Pak Davka melihat-lihat sekilas, sesekali mencoret, tetapi tidak banyak. Aku tersenyum puas, karena itu artinya lemburku semalam tidak sia-sia. “Kerja bagus, Ra. Tinggal kembangkan lagi yang waktu itu saya singgung. Jangan keluar koridor lagi. ” Aku tak bisa menyembunyikan gurat bahagia ketika Pak Davka memujiku untuk pertama kali. “Terimakasih banyak, Pak.” “Tapi sebenarnya saya masih berharap kamu bisa lebih dari ini.” “Pak—“ “Maksud saya, kamu harus S2 dan lakukan penelitian lanjutan. Kalau aplikasimu berhasil, itu nanti banyak manfaatnya.” Senyumku semakin lebar saja. “Saya anggap ini pujian, Pak.” “Memang pujian.” “Tapi saya pesimis, tidak tahu apakah saya bisa lanjut S2 atau tidak.” “Kenapa? Masalah biaya?” Aku meringis. “Salah satunya,” “Sekarang ini negara menganggarkan banyak uang untuk biaya pendidikan, terutama bagi mereka yang memiliki banyak potensi. Banyak beasiswa S2 yang bisa kamu ambil. Kenapa bingung?” Aku terdiam, bingung harus menjawab apa. Pak Davka tidak pernah tahu bagaimana kondisi Ibukku yang sering sakit-sakitan. Kalau aku terlalu sibuk kuliah, aku takut akan kurang dalam merawat beliau. Aku ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama beliau selagi masih sehat. Mungkin aku terkesan menyia-nyiakan kesempatan, tetapi aku hanya ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama perempuan yang sebenarnya asing bagiku, tetapi sudah membesarkanku dengan sepenuh hati. “Arabella?” “Eh... iya, pak?” “Kamu berani melamun waktu bimbingan?” “Hah? Maaf, Pak, maaf... saya tidak bermaksud.” Aku meringis, menatap Pak Davka tak enak hati. “Ya sudah. Minggu depan kamu harus sudah selesaikan paling tidak setengah pembahasan. Kalau berhasil, nanti kamu segera daftar buat seminar proposal.” Aku mengangguk, semakin antusias. “Siap, Pak.” “Jangan lakukan kesalahan-kesalahan tidak penting lagi. Tetap fokus. Paham?” “Iya, Pak, Saya paham.” Sepertinya aku perlu meralat kalimatku tadi yang mengatakan kalau Pak Davka hanya tahu cara mengkritik. Sebenarnya dia memberi saran, tetapi sayangnya, aku sering terlanjur sakit hati akibat kata-kata pedasnya, dan itu mengakibatkan saran darinya terkadang menguap entah kemana. “Saya suka mahasiswa yang gerak cepat, progresif dan tidak mudah mengeluh. Saya tidak keberatan kalau ada mahasiswa yang mau mengajukan ganti pembimbing ke Kaprodi jika memang tidak sanggup saya ajak cepat. Bagi saya, waktu adalah emas yang semakin hari semakin mahal saja harganya. Kalau cuma mengeluh, anak TK juga bisa. Jangan sampai ngaku mahasiswa, tapi ngeluhnya balapan sama anak TK.” Sadis, Bunda... dia sedang menyindirku atau bagaimana? “Iya, Pak.” ... Setelah pamit dari ruangan Pak Davka, aku duduk di kursi panjang yang biasanya. Kali ini berbeda dari yang sudah-sudah, karena senyuman lebih mendominasi daripada rasa ingin mengumpat. Aku rasa, kemarin-kemarin aku yang terlalu sensitif, sampai apa pun jenis kritik yang Pak Davka lontarkan, terasa sangat menyakitkan. Atau sebenarnya, memang begitu cara Pak Davka mendorong mahasiswanya untuk memiliki mental baja? Ah, entah! “Pak Davka ganteng banget, Rin, ganteng banget, Enggak kuat!” lamunanku buyar ketika tiba-tiba mendengar beberapa suara mahasiswi sedang mengelu-elukan nama Pak Davka. “Enggak mau tahu, pokoknya dia ngajar apa aja bakal aku ambil. Lumayan, buat cuci mata.” “Tinggi juga, sih, orangnya. Alisnya tebel. Bagus banget.” “Putih, pula. Kalau pakai kacamata, aku lihatnya berasa mau pingsan.” Aku hanya geleng-geleng kepala melihat segerombolan mahasiswi itu terus-terusan memuji Pak Davka. Baiklah, aku akan objektif saja, secara fisik yang terlihat mata, Pak Davka memang hampir tanpa cela. Namun, aku yakin satu hal. Manusia tidak ada yang sempurna. Termasuk dosen pembimbingku itu, Davka Balaaditya Winata, M. Kom. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN