6. Masa Lalu yang Tidak Boleh Disebut

1589 Kata
Setelah satu minggu bekerja di Gravira Holding, tubuh Kirana mulai merasa lelah. Lembur hampir setiap malam membuatnya kehabisan tenaga, belum lagi dia harus mengejar kereta setiap pulang kerja yang membuat dirinya tak berdaya saat tiba di rumah. Akhir pekan ini, dia berencana pindah ke kos-kosan yang sudah dibayarnya untuk enam bulan ke depan—meski harus merogoh tabungan lebih dalam. Itu lebih baik, dibandingkan jika dia harus terbaring di rumah sakit akibat kelelahan. Pagi itu, Kirana masih bermalas-malasan di atas ranjang. Matanya masih berat, tubuhnya pegal. Bagaimana tidak? Baru kerja dua hari dia sudah diminta lembur setiap hari. Bahkan dirinya tidak dibedakan dengan senior lainnya. Rencananya, sekitar pukul satu siang nanti, dia akan pergi ke kosan barunya bersama bantuan sang ayah. Hingga kini, Kirana belum menceritakan apapun tentang atasannya kepada orang tuanya. Dia belum yakin itu perlu disampaikan. Mungkin nanti, jika memang sudah waktunya. Untuk sekarang, dia masih mampu menghadapi sikap Yudistira yang keras dan tak jarang terasa seperti seorang diktator. Tapi kalau sampai keluarganya tau siapa bosnya di kantor, Kirana yakin mereka akan sama terkejutnya seperti dirinya saat pertama kali melihat pria itu—pria dari masa lalu yang kini berdiri di posisi jauh lebih tinggi darinya. Pintu kamar Kirana terbuka tanpa ketukan lebih dulu. Sosok wanita bertubuh ramping masuk seenaknya, membuat Kirana memejamkan mata sejenak, menahan helaan napas. “Aku dengar kamu sudah dapet kerjaan, ya?” Amira langsung menjatuhkan diri di atas ranjang, berbaring di samping Kirana. “Iya,” jawab Kirana singkat. “Siang ini juga mau pindah ke kosan.” “Kosan?” Amira spontan menoleh. “Emangnya sejauh itu kantornya, sampe kamu harus ngekos?” Kirana menghela napas panjang. “Lumayan jauh. Perjalanannya bisa satu setengah jam, dan masih harus ganti kereta di Manggarai. Capek, Mir.” Amira mengerucutkan bibir. “Ayah bolehin kamu ngekos, gitu?” “Ya bolehlah, aku ‘kan udah kerja. Lagian aku juga enggak minta dibayarin, jadi ayah enggak perlu khawatir kalau-kalau aku ngrengek kehabisan uang buat makan.” Amira mengangguk pelan sambil memainkan ujung rambutnya. “Kata Ibu, kamu kerja di perusahaan properti, ya?” Pertanyaan itu tidak langsung dijawab Kirana. Dia hanya menatap kakaknya sekilas, menyimpan pikirannya sendiri tentang atasannya di kantor. “Cari cowok di sana, deh,” lanjut Amira seenaknya. “Kamu tuh belum pernah pacaran kan?” Kening Kirana langsung berkerut. “Kenapa topiknya tiba-tiba ke pacaran? Aneh-aneh saja!” batinnya kesal. “Tapi ingat, cari cowok yang tajir, kayak Kak Denis. Jangan yang kere ... kayak mantan kakak dulu. Jangan cuma liat tampang, tapi liat juga isi dompetnya. Percuma ganteng kalo kere.” Amira terkekeh kecil, seolah pernyataannya lucu. Kirana hanya melongo. Dalam hatinya, dia ingin sekali mengatakan, “Andai saja kamu tau, 'si kere' yang kamu maksud itu sekarang sudah menjelma jadi pria paling tajir dan paling dingin yang pernah aku temui dan aku harus kerja di bawah dia setiap hari.” Sayangnya kalimat itu hanya berada di ujung tenggorokannya saja tak mampu dia keluarkan. Belum saatnya. Entah kenapa, Kirana hanya merasa jika itu bukanlah waktu yang tepat untuk dibahas. Setelah makan siang sederhana bersama keluarga, Kirana bersiap dengan dua koper besar dan satu kardus berisi perlengkapan pribadinya. Dia mengenakan hoodie abu dan celana jeans hitam, wajahnya tampak lelah, tapi ada semangat yang berusaha dia bangkitkan. “Sudah siap, Ran?” tanya Hilman ketika Kirana baru saja muncul di teras sembari menenteng boneka beruang berwarna pink miliknya. Kirana mengangguk. “Sudah. Makasih ya, Yah.” Hanya ayahnya saja yang akan mengantarnya pindah ke kosan, sedangkan ibunya harus melayani Amira dan menantunya yang datang. Semenjak Amira menikah dengan Denis setahun lalu, ibu dan ayahnya sangat menghormati pria itu yang mana berasal dari keluarga berada. Denis sendiri seorang pengusaha mebel yang cukup sukses bersama keluarganya. Dan, tentu saja ayah dan ibunya sangat bangga pada menantunya itu, yang mana suami baru Amira. Perjalanan menuju kosan tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan mobil. Ayahnya memilih jalan alternatif agar tidak terkena macet. Sepanjang perjalanan, mereka lebih banyak diam, hanya sesekali Kirana menjawab pertanyaan ringan dari ayahnya. “Kosan kamu aman, kan?” tanya pria paruh baya itu dengan nada pelan. “Aman, Yah. Ada ibu kosnya juga ramah. Banyak yang kerja juga di sana,” jawab Kirana meyakinkan, walau dalam hati masih ada sedikit cemas. Saat sampai di depan bangunan kos bertingkat dua itu, Kirana turun lebih dulu dan membuka bagasi. Ayahnya ikut turun dan membantu mengangkat koper. “Kamarnya lantai dua, paling pojok.” Kirana memberi tau sang ayah. Setelah semua barang naik dan ditaruh dalam kamar kos sederhana itu, Kirana membiarkan dirinya berdiri di tengah ruangan, menatap sekeliling. Kamarnya tidak besar, hanya cukup untuk tempat tidur single, lemari kecil, meja belajar, dan kipas angin di langit-langit. Tapi ini miliknya. Tempat baru untuk menata ulang hidupnya. “Kalau ada apa-apa, langsung kabarin Ayah, ya,” ucap pria itu, menepuk pelan punggung Kirana. “Iya, Yah. Makasih sudah nganterin.” Sang Ayah tersenyum, lalu pamit. Setelah pintu tertutup, Kirana menghela napas panjang dan duduk di ranjang. Dunia orang dewasa benar-benar dimulai sekarang, batinnya. Ini adalah kali pertama dia berada jauh dari orangtuanya. Selama ini dia selalu berada di rumahnya dan tidak pernah diizinkan ngekos sendiri, mengingat tempat kerja yang dulu cukup dekat. Jadi tidak ada alasan dia harus tinggal di kosan. Berbeda dengan tempat kerja barunya yang cukup menguras waktunya di perjalanan. Dan, tanpa dia tau, dunia itu sudah menyiapkan badai—bernama Yudistira Kartanegara. Seorang pria dingin dan misterius. *** Setelah semua barang Kirana beres di kamar kos barunya, dia akhirnya bisa rebahan sejenak. Kamarnya tidak begitu besar, tapi cukup nyaman. Ada jendela kecil yang menghadap ke jalan kecil dan cukup tenang, lalu ada AC tua di sudut ruangan masih mampu bekerja meski terdengar sedikit bising. Sembari rebahan, Kirana tampak membuka media sosialnya. Tiba-tib saja notifikasi masuk ke aplikasi hijau berlogo gagang telepon. Monica [Sudah pindahan, Ran? Nongki yuk, besok kan Minggu Biar Senin gak lemes-lemes amat] Kirana tersenyum kecil. Baru satu minggu kerja tapi Monic sudah seperti teman lama yang cerewetnya familiar. Kemudian dia mengetik balasan sambil duduk di pinggir ranjang. Kirana [Sudah dong. Boleh juga refreshing bentar. Ketemuan di mana?] Monica [Ada coffee shop baru di deket kantor, yang ada rooftop-nya. Jam 4 sore yaa~] Keesokan harinya, di Minggu sore. Matahari sudah mulai condong ke barat saat Kirana dan Monic duduk di lantai atas coffee shop yang cozy dan penuh tanaman gantung. Angin sejuk meniup pelan rambut Kirana yang dikuncir rendah. Mereka memesan kopi dingin dan makanan ringan. “Wah, kamu lebih cerahan sekarang, Ran,” komentar Monica sambil menyeruput iced latte-nya. “Ngekos tuh solusi banget ya, buat kita-kita yang baru kerja. Gak perlu lagi drama ngejar kereta.” Kirana mengangguk, lalu memutar sedotan dalam gelas plastiknya. “Iya, walau tabungan aku langsung megap-megap.” Monica tertawa. “Tenang, nanti juga gajian.” Lalu dia menyenggol lengan Kirana. “Gimana bos baru kita? Masih galak?” Kirana terdiam sejenak. Pikirannya langsung tertuju pada Yudistira dan sikapnya yang—entah kenapa—terlalu personal. “Aku mau nanya sesuatu deh, Mon.” “Hah? Serius amat.” “Bos kita itu ... Yudistira. Dia memang selalu se—eh, maksudku, setegas itu ya, ke semua orang?” Monica menatap Kirana dengan tatapan ingin tahu. “Hmm, iya sih, dia emang ketat banget. Tapi tergantung juga, kadang ke orang tertentu saja dia agak beda.” “Beda bagaimana?” “Ya, lebih tajem gitu. Atau justru diem tapi nyentil. Kenapa? Kamu ngerasa dia gitu ke kamu?” Kirana menarik napas pelan. “Entah kenapa rasanya kayak ... dia dendam banget sama aku. Apa ke anak baru dia bersikap keras gitu juga?” Monica memiringkan kepala. “Dia keras ke kamu? Padahal kamu anak baru, ya kan? Kenapa coba ya?” Kirana menggeleng. Dia tidak mungkin mengatakan dengan jujur kalau sebenarnya dia dan Yudistira pernah menjadi ipar walau hanya selama tiga bulan saja. “Enggak ngerti, deh, aku pikir dia memang begitu ke semua pegawai baru.” Monica menaikkan alis. “Tapi, setau aku ya, dia kalau sama anak baru, suka malas interaksi. Biasanya dia bakal perintah leader buat masukin anak baru ke tim yang sudah ada biar diajarin.” Kirana tersenyum canggung. “Tapi sama aku justru dia misahin aku dari tim. Biar aku gak punya tim dan dimusuhi,” ujarnya misuh-misuh. Monica tertawa, berusaha mencairkan suasana. “Duh, ini kenapa jadi kayak sinetron jam tujuh malam, ya. Tapi ya, udahlah, selow dulu aja. Yang penting kerjaan kamu kelar. Soal bos—hadapi dengan secangkir kopi dan senyuman.” Keesokan paginya, Kirana tidak perlu tergesa bangun dini hari demi mengejar kereta. Kini dia bisa menikmati pagi dengan santai, memasak sarapan sederhana sambil menyetel lagu favoritnya. Setelah itu, dia mandi dan bersiap tanpa terburu-buru. Tak perlu lagi drama nunggu kereta di Manggarai atau berlari di peron. Cukup memesan Gojek, dan dalam kurang dari sepuluh menit dia sudah bisa sampai di kantor. Seperti pagi ini, saat jam masih menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh, Kirana sudah duduk manis di kubikelnya. Dia tersenyum puas, merasa jadi manusia normal yang bisa menghirup pagi tanpa ngos-ngosan. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Baru saja dia menyalakan komputer, sebuah suara berat dan datar menyentak dari arah belakangnya. “Siapkan diri kamu. Sepuluh menit lagi ikut saya ke lokasi proyek.” Kirana membeku. Kepalanya menoleh pelan, hanya untuk melihat punggung lebar Yudistira yang sudah menjauh begitu saja, seolah perintah barusan adalah bagian dari protokol militer. Dia mendesah panjang, menatap layar monitor yang belum sempat menyala sempurna. “Tidak bisakah dia lihat aku bahagia lima menit saja?” gerutunya lirih sambil menopang dagu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN