Menyesuaikan Diri

1556 Kata
Tepat tiga hari sebelum keberangkatan Dewa ke Berlin, pria diberi kabar dari orang suruhannya bahwa ayah Kiara sudah ditemukan. Menurut data yang Dewa terima melalui e-mail, ayah Kiara yang bernama Gilang Jayatra itu, kini adalah seorang kepala sekolah di sebuah sekolah negeri. Gilang juga merupakan ketua RT di tempatnya tinggal saat ini. Ada informasi tambahan setelahnya, Gilang sudah memiliki seorang istri bernama Ana, dan seorang anak laki-laki yang masih berusia tujuh belas tahun, bernama Eko Jayatra. Dewa pun segera memberi informasi tersebut kepada Kiara. Kemudian malamnya, pria itu langsung mengantarkan Kiara ke rumah sang ayah untuk menemuinya. Kiara berharap, Gilang mau menerimanya, meskipun mereka sudah tidak pernah bertemu sejak kedua orang tuanya bercerai. “Ki …” Dewa meremàs bahu wanita itu untuk menyadarkan Kiara dari lamunan serta kegugupannya. “Kita udah sampai, itu tempatnya, yang ada spanduk Bakso dan Mi Ayam Bu Ana.” Kiara menelan salivanya dengan kasar. Begitu tercekat gugup di kerongkongan, kemudian menatap Dewa. “Aku gugup, Wa. Kalau papa gak mau terima aku gimana? terus, kalau dia benci aku gimana? Haduuh, beliau pasti udah lupa sama aku, kali ya. udah punya anak cowok.” Masih banyak lagi pikiran negatif yang berterbangan dengan liar di kepala Kiara tentang Gilang. Kiara takut, kalau Gilang akan membencinya karena sang mama. “Wa, balik aja deh,” pinta Kiara dengan detak jantung yang sudah menggila setengah hidup. “Aku gak papa, sih, kalau kamu minta balik. Tapi, paling gak, kamu temui dulu papa kamu. Kalau respon beliau gak sesuai harapan ya sudah kita pulang. Paling gak kita tahu dulu, biar gak penasaran, Ki,” saran Dewa berusaha bijak. Kiara meraih tangan Dewa dan meremasnya. Menyalurkan rasa dingin serta gugup yang merajai dirinya saat ini. Bagi Kiara, sentuhan tersebut hanyalah sekadar sentuhan biasa. Tidak ada maksud tertentu dibaliknya. Namun tidak bagi Dewa. Ada hasrat yang selama ini tertahan di dalam raga. Hingga gesekan tangan Kiara tersebut menimbulkan sebuah gelenyar aneh di dalam dadà. Kiara mengangguk kemudian, menyetujuai ucapan Dewa. Melepas genggaman tangannya lalu sabuk pengamannya. Kemudian, Kiara keluar bersamaan dengan Dewa. Melangkah ragu menuju sebuah warung makan sederhana yang berada di teras rumah. Tubuh Kiara mematung, tepat di depan rombong berwarna silver yang terbuat dari bahan alumunium. Memandang seorang wanita paruh baya yang sederhana, tengah mengaduk mi ayam di dalam mangkuk dengan gesit. Wanita itu memandang padanya dengan tersenyum ramah. “Mbaknya mau pesan apa?” “Sa …” Kiara tidak melanjutkan kalimatnya ketika melihat pria paruh baya yang masih terlihat gagah, tapi dengan banyak kerutan di wajahnya. Pria itu muncul dari pintu garasi dengan membawa tumpukan mangkuk di tangan dengan wajah yang selalu tersenyum. Kiara yakin itu adalah Gilang. Meskipun sudah dimakan gurat usia, tapi Kiara masih bisa mengenali pria itu. Wajahnya tidak jauh berbeda dengan foto yang selalu Kiara simpat di buku rapor TK-nya. Gilang menatap Kiara, lalu tersenyum ramah. Begitu pula dengan Dewa, pria itu mendapat perlakuan yang sama. “Papa …” cicit Kiara yang hanya terdengar oleh Dewa. “Pa-papa?” Dewa menoleh pada Kiara untuk memastikan. “Beneran yang itu?” Kiara mengangguk. “Pak Gilang,” sapa Dewa pada Gilang yang baru saja meletakkan tumpukan mangkuk di meja yang berada di samping rombong. “Ohh, nyari Bapak, toh,” ucap wanita paruh baya yang ternyata adalah istri dari Gilang. “Ditinggal dulu, Pak. temui tamunya aja,” pinta Ana kepada Gilang dengan lembut. Sebelum mengajak Kiara dan Dewa untuk masuk ke dalam rumah, Gilang mengusap punggung Ana sebentar. Tatapannya terlihat lembut dan penuh kasih sayang meskipun keduanya tidak lagi muda. Hal tersebut membuat Kiara begitu iri saat melihatnya. Membandingkan sikap Lusi dan ayah tirinya yang terkesan berjarak. Sesampainya di ruang tamu, Gilang mempersilakan Dewa dan Kiara untuk duduk dengan sangat ramah. Pria paruh baya itu menduga, kalau keduanya adalah orang tua wali murid di sekolahnya yang mungkin ingin melayangkan protes atau hal lainnya. “Jadi, ada keperluan apa, bapak dan ibu datang kemari?” Kiara hanya diam membatu, hatinya masih berkecamuk dengan berbagai pikiran negatif. Akankah sang papa mau mengakui dan menerimanya sebagai anaknya? Melihat Kiara yang bergeming, tidak berucap apapun, Dewa berinisiatif mengambil alih pembicaraan. “Begini, Pak Gilang. Perkenalkan, nama saya Dewa.” Dewa menatap Kiara sejenak, kemudian beralih pada Gilang. “Teman saya ini, namanya Kiara Larasati, apa Bapak masih ingat?” Gilang kontan menatap Kiara dengan tidak percaya. “Ki-kiara?” Kiara mengangguk dengan melipat bibirnya dalam-dalam. Maniknya sudah mengembun, menahan gemuruh dan haru di dalam dadà. Tidak bisa menduga-duga, hal apa yang akan terjadi kemudian. “Saya … Ara, Pa,” ujar Kiara berucap lirih. Suaranya sudah terdengar serak karena menahan tangis yang hendak sebenarnya hendak pecah saat itu juga. “Ara … anak Papa …” Mendengar Gilang menyebutnya sebagai anak, air mata Kiara langsung terburai. Ia sudah tidak sanggup lagi untuk membendungnya. “Papa …” Gilang langsung bangkit dan berlutut, untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Kiara yang duduk di sofa. Menyangga sisi wajah cantik putrinya yang sudah berlinang air mata. “Ara …” Gilang langsung membawa tubuh sang putri ke dalam pelukannya. Ikut menangis haru, dengan rasa bahagia yang menghiasi hatinya. Kiara mengangguk pilu, tapi hatinya bahagia. Masih diakui sang papa sebagai anak, ketika Lusi tidak lagi menginginkannya. Hal itu merupakan anugerah yang terindah bagi Kiara. “Ehm!” sebuah deheman keras yang berasal dari ambang pintu, membuyarkan pelukan rindu antara ayah dan anak tersebut. Kiara buru-buru menyeka titik bening yang terlanjut membasahi pipinya sembari dibantu oleh sang papa. “Ada apa ini?” setelah menyajikan pesanannya kepada pembeli. Ana yang penasaran langsung ikut masuk ke dalam rumah. Seraya membawakan dua buah teh hangat untuk tamunya. Namun, kedua maniknya melebar penasaran, ketika melihat sang suami tengah memeluk wanita cantik yang tadi datang mencarinya. “Ibu duduk dulu.” Gilang bangkit menghampiri sang istri yang masih terpaku di ambang pintu. Mengambil alih nampan yang berisi dua buah cangkir teh, ke tangannya dan meletakkannya di meja. Gilang duduk di sofa, lalu meminta sang istri untuk duduk juga di sebelahnya. “Jadi, sebenarnya ada apa?” buru Ana meminta penjelasan dengan tergesa kepada Gilang. Mengapa sang suami sampai harus memeluk wanita muda yang tampak menangis pilu di rumahnya. Sedangkan sang pria yang datang bersama wanita itu, hanya diam saja melihat kejadian tersebut. “Ini … Kiara … Kiara Larasati,” ujar Gilang segera mengusap sudut matanya yang mencair haru. Yang Gilang ingat, terakhir kali melihat Kiara pada saat sang anak lulus dari TK. Ia datang untuk menghadiri acara perpisahan di sekolah Kiara kala itu. Setelah hari itu, Gilang tidak lagi dapat menemui putrinya sama sekali. Lusi membawa Kiara entah ke mana, dan Gilang tidak mampu mendapatkan jejak karena keterbatasan waktu serta biaya. Dahulu kala, Gilang hanyalah seorang guru honorer yang gajinya juga tidak menentu. Pria itu juga mengambil kerja serabutan dengan menerima les privat ke sana kemari untuk menghidupi keluarga dan menyambung hidup. Sebagai seorang kepala rumah tangga, Gilang sangat bertanggung jawab, hanya saja, Lusi tidak tahan dengan semua kekurangan yang ada hingga lebih memilih untuk bercerai dengannya. “Ki-Kiara, anak kandungmu, Pak?” tanya Ana terperangah tidak percaya. Sekaligus merasa bersalah karena telah memiliki prasangka burung terhadap sang suami. “Ehm.” Dewa berdehem untuk menengahi sekaligus menjelaskan semua duduk permasalahan yang kini dialami Kiara kepada Gilang dan Ana. Sepasang suami istri mengeluarkan sebuah ekspresi yang sama, yakni tidak percaya kalau Lusi benar-benar mengusir Kiara, hanya karena menolak untuk dijodohkan. Terlebih-lebih, Lusi juga tidak memberi apapun sebagai bekal Kiara hidup di luar sana. Bahkan, butik yang telah dirintis Kiara sedari awal juga diambil begitu saja. “Jadi, Pa …” Kiara menelan salivanya. Sungkan karena ingin menumpang hidup bersama Gilang dan Ana. “Apa boleh, Ara tinggal sama Papa sementara waktu? Cuma sampai dapat kerjaan dan dapat tempat tinggal. Ara gak enak kalau harus tinggal sama Dewa.” Manik Gilang terbelalak tidak percaya. “Kamu tinggal sama Dewa selama ini? Kalian berdua …” “Ada sepupu saya juga yang tinggal di rumah, Pak.” Buru-buru Dewa berujar agar tidak terjadi kesalahpahaman. Meskipun yang dikatakannya adalah bohong. Jika tidak, nama baiknya Kiara dan dirinya akan tercoreng pada pertemuan pertama ini. Hal itu hanya akan memberikan kesan yang buruk terhadap mereka berdua nantinya. “Ohh …” akhirnya Gilang membuang napas lega. Jika memang Kiara hanya berdua tinggal bersama Dewa, maka Gilang akan meminta keduanya untuk menjelaskan status mereka. “Boleh!” seru Ana berceletuk. “Ara boleh tinggal di sini, tapi, rumah Ibu mungkin gak seberapa kalau dibanding dengan rumah Ara. Ibu juga gak punya pembantu di sini, jadi semua harus dikerjakan sendiri-sendiri. Kita semua yang ada di sini hidup dengan sangat sederhana dan apa adanya.” Kiara mengangguk mengerti. Mau tidak mau, dirinya harus siap menjalani itu semua. Hidup tanpa kemewahan seperti dahulu kala. Namun, ada secercah bahagia yang memberi rasa hangat di relung hatinya saat ini. Kiara melihat, meskipun kehidupan Gilang dan Ana sangat sederhana, tapi mereka terlihat bahagia dan penuh dengan kasih sayang. “Jadi, kapan kamu mau pindah ke sini, Ra?” tanya Ana. “Apa boleh, Ara pindah ke sini besok, Bu?” “Ohh, ya tentu aja boleh, nanti biar Ibu suruh Eko buat bersihin kamar belakang.” Ara tersenyum lega karena sudah disambut dengan tangan terbuka seperti ini oleh keluarga baru Gilang. Ia berharap, bisa memulai hidup baru dengan penuh kebahagiaan ke depannya. Meskipun nantinya, ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN