Bab 5. Mengundurkan Diri

1095 Kata
Sejak beberapa hari terakhir, Karin merasa dadanya semakin sesak setiap kali melangkah ke kantor. Setiap sudut ruangan, setiap tatapan yang menyapanya, seperti mengingatkan pada malam itu —malam ketika dinding apartemen menjadi saksi atas satu insiden menjijikan yang menimpa dirinya. Insiden yang seharusnya tidak pernah terjadi, tapi justru membuatnya terjebak dalam rasa ketakutan yang membayangi setiap langkahnya. Pagi ini, setelah semalaman bergelut dengan pikirannya, Karin akhirnya memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Satu keputusan bulat yang sudah ia pikirkan sejak jauh-jauh hari, paska insiden itu terjadi, yakni ia harus berhenti. Tidak peduli konsekuensinya, Karin tidak sanggup lagi berada di tempat yang sama dengan Harris. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengetuk pintu ruang kerja atasannya itu. “Masuk!" suara berat Harris terdengar dari dalam. Karin mendorong pintu perlahan, melangkah masuk dengan langkah ragu. Ruangan itu terasa dingin, bukan hanya karena AC yang diatur terlalu kencang, tapi juga karena aura pemiliknya yang selama ini Karin kenal adalah lelaki angkuh dan dingin. Wajah yang tertata rapi, nyaris terlalu rapi, seperti menegaskan bahwa ia adalah orang yang mampu mengendalikan segalanya. “Pak, saya ingin bicara,” ucap Karin, suaranya lebih lirih dari yang ia harapkan. Harris mendongak dari balik meja. Matanya yang tajam langsung menatap lurus ke arah Karin, membuat gadis itu spontan menunduk. “Tentang apa?” tanyanya singkat. Karin menarik napas dalam-dalam. “Saya … ingin mengundurkan diri," ucapnya seraya meletakkan sebuah amplop putih ke depan Harris. Untuk sesaat, ruangan itu hening. Dentingan jam digital di meja Harris terdengar jelas, seperti memantulkan ketegangan di antara mereka. Harris tidak langsung menjawab. Ia hanya bersandar di kursinya, menatap amplop di atas meja seraya menyilangkan tangan di d**a. Lalu, ia menatap Karin dengan senyum tipis yang samar. Senyum itu membuat bulu kuduk Karin berdiri —senyum yang bukan sekadar basa-basi, tapi penuh arti tersembunyi. “Kenapa?” akhirnya Harris bertanya, suaranya tenang namun menusuk. Karin menggigit bibirnya tanpa sadar. Kata-kata yang ingin ia ucapkan tercekat di tenggorokan. Ia seolah ingin berteriak, 'karena Bapak sudah melecehkan saya malam itu!' Tapi lidahnya kelu, takut dengan segala konsekuensi yang mungkin saja bisa terjadi. Akhirnya, Karin hanya bisa bicara pelan, “Saya rasa … pekerjaan sekretaris ini tidak cocok untuk saya. Saya tidak mampu melanjutkan.” Harris mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, iramanya pelan tapi memaksa. Sorot matanya tidak lepas dari wajah Karin. “Ehm, sepertinya kamu lupa sesuatu?” Karin menatap, bingung. “Maksud Bapak?” “Kontrak.” Harris mencondongkan tubuh ke depan sembari menautkan kedua jemarinya satu sama lain. Suaranya menjadi lebih rendah, tapi juga lebih berat, seolah-olah setiap kata yang terucap adalah kunci yang penuh dengan jeratan. “Kamu sudah menandatangani perjanjian. Kalau kamu berhenti sebelum waktunya, ada konsekuensi yang harus kamu tanggung.” Deg. Karin membeku. Ia memang pernah membaca sekilas kontrak itu, tapi saat itu pikirannya terlalu santai. Ia tidak benar-benar memperhatikan detail karena menganggap semua kontrak pekerjaan adalah sama. Dengan tenang, Harris membuka laci meja, mengeluarkan sebuah map, lalu membuka lembaran kertas di dalamnya. Ia menunjuk salah satu pasal dengan jarinya di depan Karin. “Di sini tertulis dengan jelas. Jika karyawan berhenti sepihak sebelum kontrak selesai, diharuskan membayar denda sebesar seratus juta rupiah.” 'Seratus juta,' batin Karin kaget. Karin merasakan tubuhnya limbung. Angka itu bukan hanya besar —itu mustahil. Ia tidak memiliki tabungan sebanyak itu. Ibu dan ayahnya bahkan tidak akan sanggup membantunya. “A … apa?” suaranya nyaris tak terdengar. “Seratus juta,” ulang Harris, lebih pelan tapi jauh lebih tegas. “Kalau kamu sanggup membayar, saya tak masalah dengan surat pengunduran dirimu. Saya bisa cari penggantimu setelahnya." Karin menunduk, menahan air mata yang mencoba memaksa keluar. Ia ingin marah, ingin teriak, tapi suaranya seperti menghilang. Harris menyandarkan tubuhnya kembali, menyilangkan tangan dan kaki, tersenyum menatap anak buahnya itu. Tatapannya penuh kepuasan, seakan baru saja memenangkan permainan yang baru akan dimulai. “Kalau tidak bisa bayar,” lanjutnya, “Maka kamu harus bertahan. Sesederhana itu bukan?” Karin mengepalkan tangannya erat-erat. Perasaan kesal, jijik, marah, bercampur jadi satu. Ia merasa seperti seekor kelinci yang dijebak ke dalam perangkap. Semua ini terkesan rapi, dan seperti direncanakan. Tiba-tiba bayangan malam itu kembali muncul. Bayangan saat Harris menekannya di ranjang kamar apartemen dengan tatapan yang sama persis seperti sekarang —tatapan yang membuatnya merasa kecil, tidak berdaya, dan lemah. Semua itu alasan utamanya ingin mengundurkan diri. Ia tidak bisa lagi menatap wajah pria di depannya tanpa merasa mual dan benci. Dan kini, Harris duduk di hadapannya dengan senyum puas, menghadang jalan keluar yang Karin sudah buat. “Kamu tidak bisa lari begitu saja, Karin.” Suara Harris dalam hati. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja sebelum dendamku pada pacarmu terbalaskan." Karin mendongak perlahan, menatap Harris dengan mata sedikit berkacah-kaca. Amarah bercampur dengan ketakutan. Ia ingin mengatakan sesuatu, apa pun, tapi tenggorokannya tercekat, terkunci. Harris bangkit dari kursi, berjalan mendekat. Langkahnya tenang, tapi setiap ketukan sepatu di lantai seperti palu yang memukul hati Karin. Ia berhenti tepat di hadapannya, menunduk sedikit, lalu berbisik, “Aku tahu kenapa kamu ingin keluar. Tapi kamu harus ingat, tidak semua hal bisa kamu hindari. Termasuk aku.” Air mata Karin sudah hampir jatuh, namun masih bisa ia cegah. Ia membenci dirinya sendiri karena terlihat lemah di hadapan pria itu. "Kenapa Anda melakukan hal itu kepada saya, Pak? Apa salah saya sebenarnya?" 'Sayangnya kamu tidak salah, tapi pacarmu yang menjadi penyebab sikapku ini,' kata Harris dalam hati. Harris mundur selangkah, senyumnya tak kunjung hilang. Ia kembali ke kursinya, lalu berkata datar, “Tak ada kesalahan yang kamu buat, tapi keputusanmu itu seperti anak kecil yang menganggap permainan orang dewasa dan lazim terjadi, menjadi sesuatu yang diharamkan." Karin benar-benar tidak menyangka Harris akan bicara seperti itu. Jelas baginya mahkota yang selama ini ia jaga sangatlah penting artinya. Jadi, otomatis Karin pun menganggap kalau perbuatan Harris padanya adalah hal haram dan berdosa, belum boleh mereka lakukan. "Jadi, pilihannya jelas. Bertahan, atau bayar. Dan sejujurnya aku lebih suka kalau kamu bertahan." Di tengah pikiran Karin yang masih bergelut kesal, Harris kembali berkata. Karin berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Ia tahu, sejak saat itu hidupnya tidak lagi menjadi miliknya seutuhnya. Harris seperti ingin menjeratnya ke dalam satu lubang yang tak memiliki dasar. Dengan langkah gontai, Karin keluar dari ruangan Harris. Begitu pintu tertutup, ia jatuh terduduk bersandar di dinding pintu kokoh ruangan Harris, bahunya bergetar menahan tangis. Sementara di dalam ruangan yang Karin baru tinggalkan, Harris duduk dengan ekspresi puas. Matanya berkilat, senyum samar menghiasi wajahnya. Ia tahu betul, insiden malam itu adalah alasan utama Karin ingin mengundurkan diri. Dan fakta bahwa ia berhasil menahannya … adalah kemenangan yang masih terlalu awal. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN