5. Semakin Dekat

1283 Kata
Fachri sudah selesai memindahkan baju-bajunya ke lemari. Menselonjorkan kaki di sofa. Diraihnya ponsel yang tadi ia letakkan di meja. Ia ingat, belum memberi kabar pada orang tuanya. [Mom, aku udah sampai] Ketiknya, kemudian ia kirim pesan tersebut ke sang mama. Di tempat berbeda, Zahra langsung membuka ponsel saat mendengar ada bunyi pesan masuk. "Alhamdulillah," ucapnya, juga ia ketik sebagai pesan balasan untuk putra bungsunya. "Kenapa, Mom?" tanya Aira yang kebetulan sedang duduk bersama mertuanya. "Alhamdulillah, Fachri udah sampai, Nak." Aira tersenyum. "Alhamdulillah." Diam-diam, Aira melirik ponsel miliknya, berharap mendapat pesan yang sama. Namun, nihil. Ya, gadis itu sadar. Ia terlalu cuek pada suaminya. Sehingga, mungkin Fachri pun menganggap kalau memberi kabar pada sang istri tidaklah penting. *** Pukul enam pagi, ibu Ayu sudah selesai memasak. "Yu," panggilnya. "Iya, Bu?" "Ini, nasi, sayur, sama lauk, kamu antar ke Mas Dokter sana! Buat sarapan. Kasihan, kalau mau sarapan saja, harus nyari dulu." "Iya, Bu. Sini Ayu antar." Ayu pun membawa sebuah nampan tanggung yang berisi satu bakul kecil nasi, lengkap dengan sayur dan lauknya. Di depan pintu rumah yang Fachri tempati, Ayu mengetuknya. Tak lama, pria itu membukanya. "Eh ... Ayu. Kenapa, Yu?" tanya Fachri. "Ini Mas Dokter, disuruh Ibu buat nganterin ini." "Apa itu?" "Buat sarapan Mas Dokter." "By the way, jangan Mas Dokter, dong. Mas Fachri nggak apa-apa. Oya, tolong bilang ke Ibu, aku makasih, ya," ucap Fachri sambil mengambil alih nampan yang Ayu bawa. Ayu tersenyum. "Iya, Mas Dok–, ehm, maksudnya Mas Fachri. Nanti saya sampaikan ke Ibu." Tidak ingin berbasa-basi, Ayu pun segera pamit dari rumah itu. *** Tak terasa, sudah satu bulan Fachri menjalani magangnya. Namun, sampai sekarang pun, belum sekali juga ia mengirim pesan untuk Aira. Ingin mencoba mengirim lebih dulu, Aira merasa gengsi. "Anak Ayah kenapa, sih, hem?" tanya Farhan saat melihat putri keduanya melamun. Aira memang sedang di rumah orang tuanya, ia ingin menginap. Aira langsung menoleh. "Nggak apa-apa, kok, Yah. Tiba-tiba melamun aja." "Masa? Nggak lagi kangen nih, sama mas dokternya?" goda Farhan. "Apaan, sih, Ayah. Ya enggak, lah." Aira mengelak. Meskipun sejujurnya, ia memang merindukan pria itu. Menikah selama beberapa bulan, hampir setiap hari antar-jemput kuliah, lalu tidur satu kamar, tentu saja ada rasa kehilangan yang membuatnya jadi rindu. Karena rindu, memang tak harus mencintai. "Eh, siapa tahu ...." "Enggak, kok, Yah." *** Sementara di tempat magang, Fachri dan Ayu semakin akrab. Setiap hari mereka pergi dan pulang bersama. Apalagi saat ini ibu Ayu juga sudah kembali ke luar negeri. Setiap pagi, selesai sholat subuh, Ayu datang ke rumah yang Fachri tempati untuk bersiap memasak untuk sarapan. Kalau sekarang, yang belanja memang Fachri. Seminggu sekali ia belanja ke supermarket. "Dek, masak apa?" tanya Fachri. Ia baru saja pulang dari masjid untuk sholat subuh. Dek adalah panggilannya untuk Ayu. "Masak ayam balado, Mas," jawab Ayu. Ia sedang mengulek bumbu untuk ayam balado. "Jangan terlalu pedas, ya. Nanti perutku mules." Fachri mengingatkan. "Siap, Dokter. Pelan-pelan, aku hafal juga, kok, apa yang disukai dan nggak disukai sama Dokter," jawab Ayu dengan panggilan formal. Namun, ia memang sudah menyebut dirinya aku, bukan lagi saya. Begitulah hubungan mereka saat ini. *** Zahra, Fattan, dan Aira sampai di depan rumah di mana Fachri tinggal. Azan zuhur sudah berlalu beberapa menit lalu. Dua wanita beda usia itu turun dari mobil. Begitu juga dengan satu-satunya pria di antara mereka. Kemudian, berjalan ke arah pintu. Zahra mengetuknya. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Munculah perempuan yang wanita itu perkirakan seumuran menantunya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya perempuan itu. "Selamat malam. Apa benar Dokter Fachri tinggal di sini?" tanya Zahra, formal. Matanya meneliti suasana dalam rumah dari depan pintu. Sementara Aira dan Fattan masih berdiri diam di samping ibu mertuanya. "Benar. Ibu siapa?" "Saya Zahra. Mamanya." "Oh ... Tante. Silakan masuk, Tan. Dokter Fachri benar tinggal di sini. Beliau sedang buang air kecil." Setelah mendengar jawaban dari perempuan berambut ekor kuda di depannya, Zahra tercengang. Siapa dia? Kenapa bisa berada di dalam rumah yang ditempati sang putra. Begitu juga dengan Fattan. "Kamu siapa?" tanya Zahra menyelidik. "Saya Ayu, Tan. Kebetulan, saya yang membantu Dokter Fachri di tempat praktik." "Kamu tinggal di sini?" "Enggak, kok, Tan ... saya tinggal di situ," ucap Ayu sambil menunjuk rumah yang berada di seberang rumah yang Fachri tempati. Zahra dan Fattan bernapas lega. Ternyata Fachri masih menjaga kepercayaan mereka. Aira dan sang mertuanya masuk, lalu duduk di sofa. "Saya buatkan minum dulu, Tante, Om." "Tunggu!" seru Zahra, "Sepertinya kamu sudah terbiasa di rumah ini?" "Iya, Tan ... saya sudah biasa di sini. Dokter Fachri meminta saya untuk memasak untuknya." Setelah menjawab, Ayu kembali berjalan menuju dapur. Mendengar penuturan Ayu, membuat Zahra langsung mengode sang suami dengan matanya. Seolah mempertanyakan, ada apa ini? Kemudian, ia memperhatikan menantunya. Meskipun terlihat biasa saja, ia tahu, Aira pasti juga bertanya-tanya. Siapa perempuan yang seolah mengerjakan tugasnya itu. Tangan Zahra langsung merangkul pundak Aira, memberikan ketenangan. "Jangan berprasangka buruk dulu, ya, Sayang...." "Iya, Mom ... Aira nggak berpikiran macam-macam, kok." Aira jelas berbohong. Sebagai sesama perempuan, ia jelas tahu apa yang terpancar di wajah Ayu saat perempuan itu mendengar nama suaminya disebut. "Mommy yakin, putra Mommy tidak akan menyakiti hati istrinya." "Iya, Mom...." Beberapa saat kemudian, "Ada siapa, Dek?" suara Fachri terdengar di telinga Ayu. Kamar mandi memang berada di samping dapur. Jadi, saat Fachri keluar dari ruangan itu, dapurlah yang ia lewati lebih dulu. "Ada mamanya Mas Fachri, sama papanya, terus ada perempuan juga. Sepertinya saudara Mas Fachri...." "Ciri-cirinya gimana?" "Seumuranku sepertinya...." Mata Fachri melebar. Rahasianya sebentar lagi akan terbongkar. Ia memang belum memberitahu kalau ia sudah menikah. Sementara KTP yang ia tunjukkan, masih KTP lama, belum berganti status. Lelaki itu segera berjalan ke ruang tamu. "Mom ... kenapa Mommy dan Daddy nggak bilang mau ke sini?" tanya lelaki itu seraya mendekat. "Kamu ini, orang tua datang bukannya salim dan tanya kabar," protes sang ibu. Mendapat teguran demikian, Fachri langsung meraih tangan mommy dan daddy-nya. "Ada apa Mommy dan Daddy datang ke sini?" "Selama kamu di sini kamu belum pernah pulang. Kamu lupa? Apa, kamu lupa juga kalau kamu udah punya istri?! Akhir pekan atau tanggal merah, Puskesmas pasti libur, kan? Cuma dua jam! Tapi kamu lupa sama kami." Suara Zahra saat mengomel, sangat khas sekali. Terkadang, Fattan juga heran. Saat masih muda, istrinya tidak secerewet itu padahal. Fachri mendelik. "Ssstttt, orang-orang sini pada nggak tahu kalau aku udah nikah, Mom ...," bisik Fachri. Ia takut Ayu mendengar apa yang mommy-nya ucapkan. Sontak Aira melihat ke arah suaminya. Setidak berharga itukah dirinya untuk lelaki itu, sehingga malu untuk mengakui? Menyadari telah melukai sang istri, Fachri merasa bersalah. "Maaf, Ai ... aku nggak ada maksud apa-apa. Aku ha--" belum selesai Fachri melanjutkan ucapannya, Ayu telah berada di depan mereka dengan membawa tiga gelas teh panas di nampan. Asapnya masih mengepul. "Minumnya, Tante," ucap Ayu sambil meletakkan teh di meja. "Udah malam, Yu ... kamu boleh pulang," ujar Fachri. "Oh, iya, Mas. Saya pulang dulu, Tante, Om, Mbak, Permisi." Melihat raut wajah berbeda yang Zahra dan Aira tunjukkan, membuat Ayu urung untuk menjabat tangan mereka. Ia hanya tersenyum, setelah itu keluar dari rumah yang Fachri tinggali. Setelah Ayu terlihat masuk ke rumahnya, Zahra segera mengintetograsi putra bungsunya. "Siapa dia?! Ada hubungan apa kamu dengannya?!" "Nggak ada, Mom ... dia cuma bantu-bantu Fachri di sini." Tentu saja Fachri tidak berkata jujur. Tidak mungkin ia menyakiti hati mommy-nya. Apalagi Zahra juga pernah memiliki masa lalu kelam bersama suaminya terdahulu. "Apa omongan kamu bisa Mommy pegang?" "Ya ... pasti, Mom." Fattan yang sejak tadi diam, kemudian buka suara. "Di mana ada warung di sini, Fachri?" "Ada di ujung jalan, pas tikungan." "Ada yang mau Daddy beli. Bisa kamu antar?" Fachri tahu, sang papa sedang dalam mode siap ceramah. Dengan malas, Fachri pun hanya bisa mengiyakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN