Di sebuah ruangan yang cukup luas dan lapang. Terlihat Kanaya sedang berusaha berjalan dengan ke dua kakinya. Di antara dua besi penyangga. Bersama dengan seorang dokter muda yang terlihat fokus memandangi Kanaya.
Di dekat mereka ada Aries yang berdiri dengan pandangan penuh pada Kanaya. Sesekali ia ikut meringis ketika melihat istrinya meringis.
Ini praktek ke dua, dalam bulan ini. Dan, perkembangan masih sama. Secara bertahap sejak penyembuhan Kanaya, kemajuan itu terlalu kecil dan tipis. Namun, itu sudah membuat Aries bersyukur.
Getaran hp mencuri fokusnya, Aries langsung merogoh saku celananya dan melihat nama Dara muncul di layar hpnya.
Ia melirik pada Kanaya yang masih fokus pada terapi jalan nya. Lalu ada Dokter Nando yang mengawasinya.
Dirinya pun berbalik untuk keluar ruangan menjawab panggilan masuk.
"Ahk!".
Seruan itu membuat Aries kaget dan langsung berbalik kebelakang. Bahkan, ia sudah akan di ambang pintu. Dan melihat Kanaya terjatuh. Tidak. Tidak terjatuh, Dokter Nando berhasil menahannya.
Aries melupakan panggilan itu, dan berjalan menghampiri Kanaya.
"Kamu gapapa?". Tanya Aries cemas langsung mengambil alih istrinya dari pelukkan Dokter itu.
"Dok, sebaiknya istirahat dulu. Istrinya kelelahan sepertinya." Kata Aries menegaskan pada kata Istri saya.
"Iya, baiklah". Jawab Dokter Nando.
Aries langsung menggendong Kanaya menuju kursi roda. Membuat gadis itu terkaget dan reflek memeluk leher Aries. Namun ia tidak melakukan protes apapun.
Aries mendudukkannya di kursi roda, lalu mengajaknya keluar.
"Mau keliling? Pasti sumpek kan di dalam. " Kata Aries mendorong kursi roda itu dengan pelan.
Kanaya tidak menjawab, ia juga tidak protes ketika Aries benar-benar membawanya keliling rumah sakit.
Kanaya mengamati sekitar, sesekali ia berjumpa dengan suster-suster yang kebetulan lewat. Lalu, tidak sengaja saat ia melewati beberapa gadis-gadis remaja yang sedang berkumpul di koridor depan salah satu kamar inap. Berbisik-bisik, samar-samar ia mendengar apa yang mereka bisikkan.
Ia menoleh kebelakangnya, memandangi Aries yang terlihat biasa saja. Kembali ia menatap kedepan, ia fikir segala pujian tadi sudah biasa di dengar oleh Aries.
Tiba di sebuah taman yang ada di belakang gedung rumah sakit. Dimana ada sebuah danau buatan. Ada beberapa pasien yang terlihat berjalan-jalan di tepi danau baik itu dengan keluarga atau di temani suster.
Hp Aries kembali bergetar, Kanaya menoleh pada Laki-laki yang berdiri di sampingnya kini. Melihat Aries langsung meraih saku celananya.
"Aku jawab telfon dulu". Izinnya.
Setelah mendapat anggukkan kecil dari Kanaya, Aries langsung berbalik menjauh untuk menjawab panggilan dari Dara.
Dan diam-diam Kanaya mengamati pria itu.
***
"Ra, udah dulu ya. Nanti aku telfon lagi. Bye".
Klik.
Dan sambungan telfon itu terputus. Dara hanya bisa menatap nanar pada layar hp nya yang mati.
Perasaan nya tidak enak sejak ia bertemu dengan Aries malam itu. Ia merasa kalau ada sesuatu yang di sembunyikan Aries darinya. Terlebih lagi, hampir lima bulan ini sikap kekasihnya itu sedikit berubah. Aries hampir selalu telat menjawab telfon atau membalas pesannya. Laki-laki itu juga tidak pernah merijek panggilan nya.
Apa sesibuk itu Aries sekarang?.
"Dara".
Lamunan Dara buyar, ia menoleh ke belakang. Dan melihat Mamanya datang mendekat.
"Kenapa? Kok melamun?". Tanya Rani, malamnya .
"Enggak kok, Ma". Jawab Dara dengan senyuman manis.
Beliau mengulum senyum hangatnya. Di usapnya puncak kepala Dara dengan penuh kasih sayang.
"Udah ketemu Aries?". Tanya beliau lagi.
"Udah semalam". Jawab Dara dengan senyuman bahagia. "Kangen banget sama dia.". Lanjut Dara. "Tapi, dia nya sibuk sekarang.". Katanya lagi kemudian menghela napas berat dan juga kesal.
"Wajar dong, kan kata kamu Aries baru mulai kerja". Jelas Mamanya dengan pengertian.
Dara mengangguk paham. "Tapi, aku ngerasa kalau Aries beda". Gumamnya selanjutnya. "Aries udah beda, dan aku takut".
"Sayang, jangan berburuk sangka. Gak baik". Ujar sang Mama.
"Dara cuma takut, kalau Aries pergi dan ninggalin Dara".
"Mana mungkin, Aries itu kan mencintai kamu. Kalian sudah lama bersama. Karena, masih muda makanya belum boleh menikah dulu". Jelas beliau dengan lembut. "Sabar dulu, kamu selesaikan dulu kuliah kamu".
Dara mengangguk, ia menemukan kembali semangatnya.
Memang ia harus percaya pada Aries. Karena, kekasih itu tidak pernah sekali pun mengecewakannya.
***
Selesai melakukan terapi jalan, Aries tidak membawa pulang Kanaya menuju ke apartemen. Karena, Gadis itu minta untuk mampir sebentar ke toko bunga.
Dan, tidak terlalu jauh dari rumah sakit.
Begitu tiba dan menghentikan mobil di depan sebuah toko bunga. Aries langsung turun dari dalam mobil. Ia berjalan mengitari mobilnya membuka kan pintu untuk Kanaya. Juga mengambil kursi roda Kanaya.
"Kamu mau beli bunga?". Tanya Aries saat ia mendorong kursi roda itu menuju pintu masuk.
"Permisi... Assalamualaikum!". Seru Aries ketika membuka pintu kaca di depan mereka. Mendorong masuk kedalam.
Terlihat seorang gadis yang mungkin seusia mereka sedang sibuk merawat bunga Lily. Gadis itu berbalik ketika mendengar suara Aries.
"Mbak Yaya?!" Seru gadis itu dengan kaget.
Aries dengan pandangan heran menoleh pada Kanaya. Dan, ia terpana melihat gadis itu tersenyum. Perempuan itu langsung memeluk Kanaya dengan senang dan bahagia. Lalu menangis sendiri membuat Aries mundur sedikit.
"Hiks.. mbak, kemana aja!. Aku kangen tau!. Toko sepi gak ada mbak. Aku sendiri, ngobrolnya sama bunga terus. Sampai di sangkain orang gila sama pembeli". Celetoh gadis itu setelah melepaskan pelukkan nya. Dengan tangan ia mengusap wajah yang basah.
"Maaf, mbak baru bisa datang. " Jawab Kanaya dengan nada dan suara yang begitu lembut.
Pelita, gadis itu mengangguk mengerti. Ia berusaha untuk tidak menatap sedih dengan kondisi Kanaya saat ini. Memilih ingin memalingkan mukanya kepada Aries. Saat itulah mukanya langsung memerah tersipu. Apalagi, ketika Aries tersenyum manis padanya.
"Lita, Amar masih datang kesini?". Tanya Kanaya tiba-tiba.
"Iya mbak, mas Amar masih datang. Makin hari makin gila!. Mbak. Semalam datang mabuk!. Terus ngacak-ngacak toko kita. Untung ada Pak Iwan sama pak Tito. Jadi, langsung lapor ke polisi deh. Udah di bawa juga semalam". Jelas lita dengan semangat.
"Eh, Ayo duduk dulu mas. Mau saya buatkan minum?". Ujar Pelita kemudian pada Aries.
"Amar siapa?". Bukanya menjawab, Aries justru bertanya.
Pelita langsung membuka mulut terkejut. Kemudian melirik gelisah pada Kanaya yang sedang membuka data penjualan di buku harian. Terlihat tidak terlalu perduli dengan pertanyaan suaminya barusan.
"Anu ... Itu... Gimana ya jawab nya ya.. jadi gini. Mas Amar itu suka banget sama Mbak Yaya. Suka maksa mbak Yaya juga. Udah di tolak berkali-kali. Tapi, tetap saja maksa mbak Yaya". Cerita Lita dengan semangat. "Pernah nih mas, Mas Amar itu hamp-".
"Lita, tolong siapin satu buket bunga ya. Mau mbak bawa". Sela Kanaya membuat keduanya menoleh.
Cerita Pelita terhenti, gadis itu langsung mengangguk dan menuruti permintaan Kanaya barusan. Pergi meninggalkan mereka berdua.
Aries diam, tidak bertanya tentang cerita barusan. Meski ia penasaran.
"Toko ini punya kamu?". Tanya Aries melihat-lihat sekitar.
"Hm".
Aries mendelik, tadi saja lembut dan manis banget sama Pelita. Mengapa dengan nya jadi dingin?. Fikir Aries tidak suka.
Toko bunga itu bernama Kanaya Florist. Tidak terlalu besar. Tapi, sangat rapi dan indah. Kanaya sepertinya pintar dalam hal menata sesuatu sehingga terlihat indah di pandangan. Ada beragam bunga ada di sana.
"Dari semua ini, kamu paling suka bunga apa?". Tanya Aries kembali duduk di hadapan meja Kanaya.
"Mawar hitam". Aries langsung terkejut. Kemudian menggindik ngeri sendiri. Dari naman nya saja sudah ngeri.
"Serem amat selera kamu. Masak mawar hitam. ". Kata Aries padanya. Kanaya tidak terlalu perduli. " Mawar hitam kan, filosofi tentang perpisahan.".
Kanaya melirik pada suaminya. Laki-laki itu terlihat lebih bawel hari ini. Entah mengapa, ia tidak mengerti. Tapi ia mencoba untuk tidak memperdulikannya.
Memilih menyibukkan diri dengan memeriksa buku harian tokonya.
Sampai Lita kembali, membawa pesanan nya.
Setelah itu, Ia langsung pamit. Dan berpesan jika ada apa-apa atau ada perlu. Lita langsung menghubunginya.
Sejak kecelakaan itu, ia sudah jarang datang ke toko.
Bahkan tidak pernah, hanya menelfon saja selama ini. Ia tidak mau terlalu merepotkan Aries jika harus mengantarnya kemana-mana.
Dirinya juga tidak mau terlalu bergantung pada Laki-laki itu.
Sampai Aries memberikan jawaban yang pasti tentang arah dan tujuan pernikahan mereka. Maka, jangan berharap ia akan beramah tamah dengannya. Ia akan bertahan, membentengi diri dengan sekuat mungkin. Agar tidak jatuh terlebih dahulu. Ia tidak mau berharap terlalu banyak pada Aries.
***
Malam ini mereka akan menginap di rumah kedua orang tua Aries. Sudah seperti aturannya sepertinya. Jika weekend keluarga harus berkumpul.
Keduanya di sambut senang dan ramah oleh Mama Sheira dan juga Papa Ares.
Mengajak keduanya untuk langsung menuju ruang keluarga.
"Kak Yayaaaaaaaa!". Seruan melengking dari seorang gadis kecil menggema di seluruh rumah.
Kanaya menoleh dan langsung menyambut Azna kedalam pelukkan. "Kak Yaya, kenapa? Kok duduk di sini? Kayak Asyik".ujar gadis kecil yang masih duduk di Taman Kanak-kanak itu.
"Azna, kenal?". Tanya Aries heran. Pasalnya, Azna belum pernah bertemu dengan Kanaya sejak mereka menikah.
Atau, memang cuma dirinya lah yang tidak mengenal Kanaya selama ini.
"Kenal dong!. Kak Yaya kan guru les inggris privat aku." Jawab Azna dengan yakin. "Kalau Om gak percaya, tanya Mama sama Ayah juga kenal". Lanjut Azna berceloteh.
Azna adalah anak kedua dari Kakaknya dan Abang ipar. Yaitu Sheila dan Fadil.
Aries langsung menoleh pada Kakak dan Abang iparnya. Keduanya kompak hanya menunjukkan cengiran ya. Lalu menoleh pada kedua orang tuanya. Dan, keduanya hanya mengindikkan bahunya.
Ia pun hanya bisa menghela napas berat. Membuat yang lain hanya tertawa.
Selesai mengobrol dan juga makan malam bersama.
Kanaya minta izin lebih dulu untuk istirahat.
Dan Aries langsung mengantarnya ke kamar mereka.
Jika di rumah kedua orang tua, tidak mungkin mereka pisah kamar. Jadi, mau tidak mau harus satu kamar.
"Yaya?". Kanaya menoleh.
Aries terkekeh sendiri. "Enak juga manggil nama itu". Kata Aries kemudian. "Ah,. Tapi gak juga. Lebih suka manggil kamu, Naya". Lanjut Aries bergumam sendiri.
Kanaya tidak terlalu memperdulikan ya. Aries menggendong Kanaya ke atas kasur. Kemudian menarik selimut. Ia duduk di tepi ranjang di samping Kanaya yang juga sedang duduk bersandar.
"Aku mau ngomong". Kata Aries menatapnya.
Tatapan mata laki-laki itu terlihat serius, membuat Kanaya mengernyit heran.
"Tentang pertanyaan kamu tadi siang". Ujar Aries dengan nada serius. "Kemana aku akan membawa pernikahan ini". Kini Kanaya mulai ikut serius.
"Jujur aku masih belum tau. Karena ada banyak hal yang belum bisa aku selesaikan. Ini semua tidak mudah. Aku butuh waktu. Tapi, aku gak mau kita pisah.". Jelas Aries menatapnya. "Aku bingung harus bagaimana, ini semua terlalu sulit dan ngebuat aku frustasi. Ada banyak hal yang ngebuat kepala aku mau pecah, Nay. Aku butuh waktu untuk menjelaskan semua ini pada Dara. Aku harus cari waktu yang tepat. Dan harus pelan-pelan. Dara punya penyakit jantung akut. Dia gak boleh terlalu syok. Jadi, tolong sabar sebentar. Aku janji bakal selesaikan semuanya.".
"Kenapa kita gak pisah aja? Bukanya itu lebih gampang?". Tanya Kanaya menatap Aries.
Laki-laki itu diam, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Aku gak tau, tapi kita .. aku gak mau kita pisah.". Kata Aries dengan tatapan mata yang begitu yakin.
Laki-laki itu menyentuh tangan Kanaya. Mengenggamnya dengan lembut. Kemudian menatap mata istrinya.
"Maaf kalau ini terlalu egois, tapi aku gak mau kita pisah. Aku mau pernikahan ini tetap berlanjut.".
Kanaya hanya membalas tatapan mata itu. Dengan beribu pertanyaan yang kini muncul di kepalanya. Namun, tidak ada satupun yang bisa ia keluarkan.