Bab 3 - Monster

1989 Kata
Happy Reading Jangan lupa tinggalkan Vote dan Komentar. ? *** Jim menatap lurus ke depan. Tak peduli dengan kehebohan mahasiswi yang terjadi disepanjang dia melangkahkan kaki melewati koridor universitas yang terkenal di negeri dengan julukan The Smoke ini. Dia baru masuk universitas sekali, dan siswi menyebalkan yang berani meninggalkan kelasnya, sudah membuatnya menjadi bahan tontonan publik. Bagaimana tidak? Layaknya seperti pria kurang kerjaan, saat ini dia tengah menarik kursi mahasiwi itu ke tengah lapangan basket yang sialnya berada di lantai bawah. Belum kesialan baru di mana dia mendapati jika lift tidak bisa digunakan. Akhirnya, mau tidak mau dia harus melewati tangga darurat dengan raut wajah kesal menahan marah. Rasanya, ingin sekali dia menyantap mahasiswi itu mentah-mentah. "Benar-benar hari yang menyebalkan." Jim menghela napasnya kasar. Salahnya juga kenapa harus merepotkan dirinya dengan hal tak penting ini. Akan tetapi, demi menjaga kedisiplinan serta predikat dosen killer yang harus dia dapatkan selama beberapa bulan ke depan agar tak ada seorang pun yang berani macam-macam, memberi mahasiswi itu hukuman tentulah tidak boleh dia sia-siakan. Biar semua orang tau, siapa pun yang berani mengusik ketenangannya selama menjadi dosen pengganti di universitas ini, akan mendapat hukuman setimpal seperti mahasiswi pemilik kursi ini. Jim melepaskan pegangannya pada lengan kursi yang dia jinjing sehingga membuat kursi itu tergeletak cukup sadis. Baginya, membawa kursi itu sampai ke tengah lapangan tidak ada apa-apanya, pun mengangkat 20 kursi sekalipun, ototnya lebih dari mampu untuk melakukannya. Akan tetapi, untuk ukuran seorang mahasiswi yang lemah, pastilah hukuman yang dia berikan kali ini akan memberikan efek jera. Tak lama kemudian, beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang penasaran akan kelanjutan drama baru antara dosen baru itu dengan pemilik kursi yang tak lain adalah Angelina, mulai berdatangan. Mereka bahkan memadati kursi penonton seolah ingin menyaksikan sebuah pertandingan. Hal baru ini tentu saja membuat mereka penasaran, apa saja yang akan dilakukan oleh dosen baru yang mendikte dirinya sebagai dosen anti masalah itu ketika bertemu dengan si biang masalah yang sampai saat ini belum kelihatan batang hidungnya. "Kemana perginya Angelina? Kenapa dia belum muncul juga?" "Si Levy sudah memberitahunya atau belum sih?" "Aduh, malah aku yang deg-degan menunggu kelanjutan drama ini." Bisik-bisik di kursi tribun memadati. Rasa tak sabar menunggu Angelina datang, bahkan sampai membuat mereka melihat ke beberapa pintu masuk. Tak ingin melewatkan satu detik pun dari kelanjutan drama ini berlangsung. Jim mulai jengah menunggu. Dia pun melihat jam tangan elegan yang melingkar di pergelangan tangannya yang menunjukkan jika dia sudah menunggu sekitar setengah jam yang lalu dan ini sangat membuang-buang waktu. Jika bukan karena sebuah tantangan, mana mau dia menyibukkan diri dengan menjadi dosen dan berhadapan dengan manusia-manusia kekanakan seperti yang berada di depannya sekarang? Pekerjaan kantornya menunggu dan jauh lebih menghasilkan dari pada ini semua. Sebenarnya, tanpa gelar dosen pun dia sudah berhasil membuat semua orang tunduk dan tak berani walau untuk sekadar mengangkat kepala. Tapi sekarang? Lagi, lagi rahang Jim mengetat. Kelas sudah bubar sejak 45 menit yang lalu dan waktu istirahat juga sudah hampir habis. Tapi kenapa pemilik kursi itu belum juga menampakkan diri? Dia sudah merelakan waktu, tenaga, dan juga menjadi bahan tontonan para mahasiswi yang membuatnya jengah. Lalu berada di mana pemilik kursi sekarang? Apa dia takut, sehingga tak berani menemuinya? Jim memilih duduk di salah satu kursi yang berada di sana. Mengatur pernapasannya yang mulai berembus kasar karena rasa jengkel yang membuat kepalanya berasap. Baru kali ini ada seseorang yang berani mempermainkannya dan itupun sebanyak 2 kali dalam sehari. 15 menit Jim hanya akan menunggu si mahasiswi pembangkang itu selama 15 menit. Jika dalam waktu 15 menit si pembangkang itu belum juga menemuinya di sini, maka jangan salahkan dia jika surat peringatan pertama akan melayang ke depan pintu rumahnya. "Whoo ... sepertinya, akan terjadi masalah besar." "Ya. Mahasiswi yang masuk ke dalam list hitam Mr. Jim belum juga datang." Mendengar grasah-grusuh para mahasiswa di sana jelas saja membuat kekesalan Jim meningkat 3 kali lipat. Jika saja, dia tidak menjaga citranya, sudah dia teriaki para mahasiswa itu untuk kembali ke kelas. "Ya Tuhan, ada apa dengan hari ini?" sekali lagi Jim membatin frustasi. Dia pun melarikan tatapannya ke sembarang arah. Berharap mahasiswi itu datang dan membuat kekesalannya mereda dengan minta maaf. Namun, tiba-tiba saja terdengar langkah kaki mendekat. Hal itu pun, membuat Jim menolehkan kepalanya ke asal sumber suara. Mendadak manik matanya berkilat tajam begitu siluet yang mendatanginya adalah seorang mahasiswi. Mahasiswi yang sudah pasti membuatnya darah tinggi. Tangan Jim yang berada di dalam saku celana mengepal begitu mahasiswi itu semakin mendekat. Dia tengah bersiap untuk melontarkan kata-kata mutiara yang sudah membuat panas rongga d**a. Namun, pada kenyataanya adalah Jim harus mendapati jika keberadaanya kembali dipermainkan. “Maaf, Mr. Sa--saya hanya ingin memberi tahu jika te--teman saya tidak bisa menemui Anda. Dia sudah--” “Cukup!” Mahasiswi yang tak lain adalah Levy, jelas saja tersentak saat mendengar suara Jim yang sarat akan ancaman menakutkan. Tak jauh berbeda dengannya, para penonton yang memadati tribun pun mendadak hening tanpa bersuara. Mereka tau, jika pria jangkung yang berdiri di sana tengah marah besar. Hukuman yang ingin dosen itu tunjukkan di hari pertamanya mengajar, malah gagal total karena si korban memilih lari tunggang langgang. “Dia akan menerima surat peringatan pertama dari saya. Menggenapi surat ke tiga, maka bersiaplah untuk dikeluarkan dari universitas ini detik itu juga!" Jangankan Levy, semua mahasiswa yang berada di sana ikut menelan salivanya kasar. Wajah mereka mendadak pias. Ancaman seperti ini, belum pernah ada selama mereka menjadi mahasiswa. Sekarang, mereka hanya bisa berdoa semoga saja mereka tidak pernah berurusan dengan dosen menakutkan yang entah dari mana datangnya. *** Merebahkan dirinya di atas kasur, adalah hal yang paling Jim nantikan setelah seharian ini. Menerima tantangan dengan menjadi dosen pengajar, ternyata bukan perkara mudah. Apalagi, di hari pertama dia masuk universitas, ada saja ulah-ulah para bocah yang membuatnya kesal. Jim bangkit dari posisinya tadi kemudian mengambil botol air mineral yang ada di atas nakas kemudian meneguknya hingga tandas. Perutnya bergemuruh hebat karena dia belum makan apapun sejak tadi siang. Di tempat ini pun dia tidak bisa menemukan apa-apa untuk dia makan karena dia tidak lagi memiliki pelayan seperti biasa. Mulai sekarang, dia harus melakukan semuanya sendirian. Mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci baju dan lain-lainnya. Lantas kenapa semua ini bisa terjadi? Tentu saja karena tantangan dari paman Peter dan juga Davio yang mau tidak mau harus dia jalani. Sekalipun enggan, sensasi dunia baru ini harus dia jelajahi sampai di titik akhir. Sampai dirinya berhasil keluar sebagai pemenang dan mendapatkan kuasa penuh atas perusahaan ayahnya. Langkah kaki Jim menapaki lantai yang dingin. Tubuh atletis nya yang hanya memakai celana denim selutut, menampakkan sebuah d**a bidang yang yang liat. Sebuah pemandangan indah yang menggiurkan walaupun sangat disayangkan ada bekas cakaran yang tertinggal di sana. Jim tersenyum kilas ketika mengingat siapa pelakunya. Namun, mengingat insiden yang terjadi sudah membuatnya dan si pelaku terpisah jauh oleh rentang jarak, waktu, dan kebencian, tentulah membuat rasa bersalah itu tak terhindarkan. “Angel ...” Bibir tipis Jim terangkat membentuk senyuman miris. Andai saja, masa lalu itu tak pernah terjadi? Andai dia tak se b******n itu mempermainkan perasaan Angelina yang begitu mudah dia bodohi, mungkinkah gadis manja itu masih bisa dia peluk sampai sekarang? Menjadi satu-satunya saudara wanita yang dia punya, sekaligus sahabat untuk dia jadikan tempat berkeluh kesah. Tetapi yang dia lakukan malah .... Jim memejamkan matanya sejenak. Semua mimpi itu sudah hancur karena keberengsekan yang dia lakukan. Dan untuk meminta maaf rasanya percuma karena selama 5 tahun terakhir tak pernah ada lagi pertemuan. Angelina menghilang. Seolah tertelan bumi dan sulit untuk dia temukan. Jim mendekati nakas kemudian mengambil kotak kecil yang sering kali dia bawa ke manapun dia menjejakkan kakinya. Sebuah kotak berwarna biru yang entah sudah berapa tahun dia simpan tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. Setelah memandangnya lamat dia pun membawa kotak kecil itu mendekati ranjang. Kotak kecil yang tak lain adalah kotak musik milik Angel yang di dalamnya berisi penari balerina dan seorang pangeran yang pernah dia rusak sehingga membuat Angel menangis histeris kala itu. Diam-diam, dia berusaha memperbaiki kotak musik itu tapi tidak bisa. Akhirnya, dia membeli kotak musik yang sama dan berniat memberikannya pada Angel setelah hari kelulusan. Tapi sayang. Semuanya hancur berantakan karena Angel mendadak pergi dan menghilang. “Apa kau masih sama? Masihlah gadis yang manja dan naif seperti dulu?” Lirihnya dipenuhi rasa bersalah. Apalagi saat dia memutar kotak musik itu dan terdengarlah suara musik indah yang mendayu-dayu sehingga membuat rasa bersalahnya pada Angelina kembali muncul. “Andai saja waktu bisa ku putar kembali, aku tidak akan pernah menjadi pria berengsek yang membuatmu terluka, Angelina.” Jim meremas tangannya kuat. Dengan cepat, dia menutup kotak musik itu dan mengembalikan ke tempatnya. Rasa bersalah selalu membayanginya padahal jelas-jelas masa lalu itu terjadi akibat ulah Angel yang menantangnya. Dan sekarang, entah apa yang terjadi padanya? Tiba-tiba saja pengaruh Angel kembali menariknya ke tengah-tengah jurang rasa bersalah dan penyesalan yang sudah dia coba lupakan. Jim mengambil kaos dan memakainya dengan tergesa. Dia butuh udara segar untuk menghilangkan kepenatannya. Tapi, begitu dia ingin mengambil kunci mobilnya, sebuah buku bergambar yang dia letakkan di atas nakasnya jatuh ke lantai kemudian terbuka dan menampakkan gambar monster berwarna biru yang diberi nama “Daddy” di bawahnya. Alis Jim menukik sebelah. "Apakah mahasiswi ini sangat anti dengan laki-laki sehingga menyerupakan ayahnya sebagai monster?" ujar Jim tak habis pikir. Dia pun menutup buku gambar itu dan meletakkannya kembali. Besok pagi, mahasiswi itu pasti akan mengambil barang-barang yang dia sita hari ini. *** “Angel, ada pelanggan yang mencarimu!” Suara seorang waitres laki-laki berusia 27 tahun yang selalu menjadi teman bercandanya saat di restoran, membuat Angel meninggalkan adonan kue nya. “Siapa, Mike?” tanya Angel sambil melepaskan sarung tangannya, “tumben ada yang mencariku?” “Entahlah,” jawab Mike dengan asal, “temui saja dulu. Siapa tau penting.” “Tidak apa-apa aku pergi? Aku merasa tidak enak pada yang lain!" Elak Angel. Bagaimana pun dia selalu memosisikan dirinya sama seperti pelayan yang lain, meskipun Mike yang notabene bukan hanya waitres melainkan sebagai pemilik restoran, sering kali mengistimewakan dirinya. “Tidak apa-apa, Angelina. Lagipula, Aku kan bos nya. Jadi, tenang saja. Sekarang, pergilah dan temui orang yang mencarimu, ” ucap Mike sebelum melanjutkan. “oiya, dia duduk di kursi paling ujung.” “Baiklah, Pak Bos! Terima kasih banyak." Angelina menyerah kemudian membuka pintu pembatas antara ruang dapur dan resto depan. Hari masih sore dan kebetulan tak begitu banyak pengunjung saat ini. Menjelang malam, barulah restoran yang menjadi tempatnya bekerja selama ini akan mulai ramai di datangi. Manik mata Angel mengarah ke satu persatu meja yang berada di pojok ruangan. Dan kebetulan sekali, meja yang berada di paling pojok sebelah kanan ditempati oleh seseorang. Dia yakin, orang itulah yang mencarinya. Angel melangkah mendekati meja. Bersamaan dengan itu, jantungnya mulai berdetak tak karuan. Pasalnya, dia jarang sekali bertemu dengan orang lain karena dia pun tidak mengenal banyak orang di kota ini sekalipun dia sudah menetap selama 5 tahun lamanya. Selain itu dia tidak mengetahui bagaimana rupa pelanggan yang mencarinya, karena orang itu memakai penutup kepala. "Aneh-aneh saja. Apa pula yang membuat orang itu mencariku?" batin Angel begitu dia sampai di dekat meja. Setelahnya, dia berusaha tenang kemudian memberanikan diri untuk bersuara. "Permisi, Tuan. Apa benar Anda yang mencari saya? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Angel to the point. Untuk berbasa-basi pun hanya akan membuang-buang waktu. Pria itu mendongak. Manik matanya yang tajam, tentu saja membuat Angel nyaris jantungan. “Sampai kapan kau akan bersembunyi seperti ini, Angelina?” *** Info : Novel ini update rutin di aplikasi k********a ya. Bagi kalian yang minat untuk membaca kelanjutannya, silakan kunjungi akunku di k********a dengan nama pena dan judul cerita yang sama. Tambahan informasi lagi, cerita ini bisa kalian baca sampai tamat hanya dengan Rp. 55.000 (paket bayar sekali dan baca sampai tamat) atau satuan juga (bayat per post dengan nominal harga mulai Rp. 2000-3000). Jadi untuk siapa pun, yang masih berminat mengunjungiku di k*********a, terima kasih banyak ya. Sehat selalu di manapun kalian berada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN