Chapter 6 - Pilihan Pekerjaan

1437 Kata
Iwa masuk perlahan, mendekati sebuah meja yang di baliknya sudah duduk seorang lelaki gagah mengenakan jas berwarna silver. Lelaki itu Iwa perkirakan usianya sepuluh sampai dua puluh tahun lebih tua darinya. Ini mungkin cucu yang Oma Aning pernah katakan. "Ada perlu apa, dik?" tanya Mahesa menatap Iwa dari ujung kepala sampai ke kaki. Penampilan Iwa jauh di bawah standar pakaian yang sering digunakan wanita pada umumnya Mahesa temui, Iwa hanya menggunakan baju kaus dengan celana jins biru usang, dan sendal selop merah muda yang telapaknya sudah menipis. "Sebelumnya saya minta maaf sudah mengganggu waktunya, Pak. Perkenalkan, nama saya Raiswara, bisa dipanggil Iwa." Iwa membuka perkenalan dirinya dengan sangat sopan. Mahesa yang semula masih menandatangani beberapa berkas, meletakkan bolpoin nya dan mulai memperhatikan Iwa. Etika Iwa sangat baik, diluar dugaan Mahesa sebelumnya, "Saya kemarin bertemu dengan Oma Aning di pasar, kebetulan saya sebelumnya bekerja menjadi kuli angkut di pasar." sambung Iwa. "Kuli angkut?" Mahesa terpana mendengar pengakuan Iwa. Iwa menganggukkan kepala, "dengan badan mungilmu ini, kamu bisa jadi kuli angkut?" tanya Mahesa kurang percaya. "Semampu aku saja, Pak. Kalau hanya sepuluh kilogram beras, aku masih sanggup." Iwa menjawab jujur. "Sepuluh kilogram, sendiri?" tanya Mahesa lagi, ia takjub dengan kekuatan wanita berbadan buntat di depannya. "Terkadang, tukang becak atau supir ojeknya gak tega membiarkan aku mengangkat sendiri. Jadi, mereka membantu." ucap Iwa lagi. "Oh ya, sampai lupa, silahkan duduk Iwa." Mahesa mempersilahkan Iwa duduk. Iwa menyeringai menampilkan gingsul dan lesung pipi yang membuat senyumnya terlihat manis. "Baik, Pak. Terimakasih." Iwa duduk. Kali ini Iwa berada tepat di hadapan Mahesa. Mahesa begitu wangi, hidung Iwa sudah mencium wangi parfum Mahesa walaupun duduk berjarak seperti ini. Mahesa sama seperti Oma Aning, ia sangat baik dan santun. Iwa semakin memperbanyak berdoa, semoga Mahesa menerimanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. "Iya Oma," Mahesa terlihat sedang berbicara di ponselnya, Iwa tau, itu pasti Oma Aning. "Ini, ada Iwa di sini." ucap Mahesa lagi, "Iwa, yang Oma temui di pasar." Mahesa mencoba kembali mengingatkan. "Baiklah, Oma. Akan Mahesa bicarakan lagi dengan Iwa." Mahesa terlihat mengangguk-angguk. Lalu ia menutup sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke saku jasnya. "Hm, aku memang butuh asisten, di rumah sudah ada asisten rumah tangga. Dua orang. Satu bertugas membenahi rumah, sementara yang satu untuk memasak dan keperluan lain." jelas Mahesa. Iwa lemas mendengar nya. Kemarin seingat Iwa, Oma Aning ingin menjadikan Iwa asisten si rumah Mahesa. Kalau Mahesa sudah memiliki dua asisten rumah tangga, apalah daya, kemungkinan Iwa tidak akan diterima dengan alasan ia tidak memerlukan nya. "Hm, sebelumnya, apa pendidikan terakhirmu?" tanya Mahesa lagi, "SMA, Om. Eh, Pak." Iwa menutup mulutnya. Astaga! Iwa! Dasar Iwa si makaroni keriiiing! Bisa-bisanya salah panggil Pak Mahesa dengan sebutan Om. Aduuuh, jangan sampai Pak Mahesa berfikiran aku cabe-cabean yang doyan om-om. Iwa memaki dirinya berulang kali. Iwa menunduk, meremas telapak tangan satu sama lain. "Apa saja yang kamu bisa saat sekolah di SMA dulu?" tanya Mahesa lagi. Iwa berfikir keras. Iwa tidak menyangka wawancara menjadi asisten rumah tangga saja pertanyaan nya seperti ini. "Hm, aku bisa komputer, aku juga jago akutansi, aku lulusan terbaik saat kelulusan SMA dulu." Ucap Iwa bangga. Iwa membalikkan badan, membuka tas kecil yang ia bawa, dan mengambil sebuah kertas yang sudah ia lipat menjadi kotak persegi seukuran ponsel. Iwa membuka lipatan itu, dan menyodorkannya ke Mahesa. "Ini buktinya, Pak. Ini penghargaan dari sekolah karena nilai aku tertinggi se-Ibu kota. Bapak orang pertama yang aku perlihatkan ini." jelas Iwa. Mahesa meraih kertas yang sudah membentuk petakan itu. "Kemana orang tuamu? Kenapa aku bisa jadi orang pertama yang melihat?" tanya Mahesa. "Ibu sudah meninggal, kalau Ayah, masih hidup tapi tidak sempat melihat ini. Ayah, hm, sibuk bekerja, Pak. He.. he.." Iwa mengembangkan senyum terpaksa. Ia tidak ingin Mahesa tau, kalau Hendrawan adalah pemabuk dan penjudi. Mahesa akan menganggap Iwa jelek kalau ia sampai tau yang sebenarnya. "Kalau aku bertanya, kamu lebih senang mana, di terima sebagai staff di kantor ini, sebagai cleaning service atau sebagai asisten pribadiku?" Mahesa memberikan penawaran. "Staff cleaning bergaji lumayan besar di kantor ini. Setiap bulan, mereka dapat santunan, dan uang insentif lainnya." jelas Mahesa, "sementara asisten pribadiku, hanya setara dengan gaji asisten rumah tangga di rumah. Kerjanya tidak menentu, terkadang ikut aku survey lapangan, panas. Terkadang, kamu harus mengangkat beberapa tumpuk berkas, selain itu kamu harus jeli mengatur waktuku." Iwa tidak menyangka kalau ia ditawari bekerja seperti itu. Tidak ada yang pas, ia tadinya ingin menjadi asisten rumah tangga saja agar ia bisa menginap dan terlepas dari kontrakan kardus yang punya ibu kos yang galak seperti singa bila ia terlambat membayar setiap bulannya. "Hm," Iwa berfikir lagi. "Staff cleaning libur setiap akhir pekan. Sementara kalau menjadi asistenku, kamu harus tetap bekerja. Bahkan, kalau aku harus pulang malam, kamu harus ikut." Mahesa kembali menjelaskan. "Kalau begitu, hm," Iwa membulatkan tekad, "aku memilih menjadi asisten pribadi Pak Mahesa saja." Iwa memberikan keputusan. "Kamu yakin?" Mahesa meyakinkan. Iwa mengangguk pasti. "Kalau begitu, berikan alasanmu." Aduh, baru di wawancara aja udah pance* banget ini bos. "Aku ingin mencari pengalaman dan belajar banyak dari cara kerja Bapak. Karena cita-cita aku ingin sukses kedepannya." Iwa memberikan alasan. Dalam hati Iwa tersenyum bangga, ingin rasanya Iwa menepuk-nepuk d**a dan membusungkan d**a ke depan, namun ia urungkan. "Kalau staf cleaning maksudmu tidak memberikan pengalaman dan pembelajaran?" tanya Mahesa lagi. "Pengalaman bersihkan meja? Pengalaman menyapu dan bersih-bersih? Aku sudah banyak pengalaman kalau begitu mah." Jawaban Iwa membuat Mahesa mengulum senyum. Sejak awal kedatangan Iwa, mata Mahesa tidak bisa lepas menatap wajahnya yang manis. Mahesa berulang kali meyakinkan kalau Iwa masih anak-anak, tidak sepatutnya ia mengagumi anak di bawah umur. "Berapa usiamu sekarang?" tanta Mahesa. "Dua puluh dua tahun, tiga hari lagi aku ulang tahun, Pak." Iwa menjawab. Mahesa kali ini tertawa ringan, tidak bisa lagi ia tahan. "Ya. Baiklah." Mahesa berusaha mengendalikan tawanya. "Besok kamu sudah mulai bisa bekerja. Syaratnya kamu hanya harus meninggalkan KTP dan Ijazahmu di sini." jelas Mahesa. Iwa menggigit bibir. Mahesa yang menangkap respon aneh Iwa mengerutkan alis, "Kenapa, Iwa?" tanya Mahesa lagi. "Begini, Pak. Hm, awalnya aku kira Ijazah, apalagi KTP tidak diperlukan untuk sekedar menjadi asisten rumah tangga." Iwa berkata pelan, "Lho, tapi kan kamu akan menjadi asisten pribadiku. Setingkat di atas asisten rumah tangga. Dan, itu salah satu syaratnya." Iwa memajukan bibirnya, "Ada masalah?" tanya Mahesa lagi, "Pak Mahesa, mohon maaf. KTP dan Ijazah aku ada, tapi untuk saat ini sedang dikarantina." Iwa berkata sangat pelan. "Apa? Karantina? Maksud kamu?" "Aku belum membayar uang kos selama empat bulan. Saat terlambat dua bulan, pemilik kos meminta KTP aku sebagai jaminan. Lalu, dua bulan berikutnya, ia meminta Ijazah yang di tahan." Iwa menjelaskan dengan malu-malu. "Hppffhh, hahaha.." tawa Mahesa pecah. Iwa bingung, padahal ia menceritakan ini berharap Mahesa akan ikut berempati dan sedih. Karena Iwa sungguh tidak bermaksud membuat lelucon konyol yang dapat membuat Mahesa tertawa sampai wajahnya memerah seperti itu. "Aduuuh," Mahesa mengusap air matanya, "Maaf, maaf.." Mahesa terlihat menghapus air mata yang ada di pelupuk matanya karena tertawa terbahak. "Kalau begitu, berapa bayaran kos mu selama empat bulan. Aku akan membayarkannya dulu. Kamu harus ambil ijazah itu." Mahesa memberikan penawaran. Mata Iwa terbelalak lebar mendengar tawaran Mahesa. "Benar, Pak? Potong gaji gitu maksudnya?" tanya Iwa tidak percaya. Mahesa hanya menjawab dengan anggukan. Ia membuka laci mejanya. "Berapa empat bulan uang kosmu?" tanya Mahesa. "Delapan ratus ribu, Pak." jawab Iwa. Mahesa yang tadinya berniat mengambil tumpukan uang yang ada di laci meja kerjanya, mengurungkan niat. "Berapa?" Mahesa kembali meyakinkan, "Delapan ratus ribu rupiah, Pak." Iwa mengulangi perkataan nya. "Yang aku tanya, empat bulan. Semua." Mahesa memperjelas maksudnya. "Iya, delapan ratus ribu itu untuk empat bulan. Perbulannya dua ratus ribu rupiah." Iwa menjabarkan. "Apa? Kamu tinggal di kandang kucing?" tanya Mahesa lugu, ia terkejut membayangkan nominal yang sangat tidak sesuai untuk tempat tinggal manusia. Beberapa waktu lalu, ia baru saja membeli bahan untuk aquarium, dengan harga berpuluh-puluh kali lipat dari harga kos Iwa. "Aku manusia, Pak." Mahesa tersadar, karena ia baru saja membuat Iwa tersinggung. "I-iya. Maaf. Ini, ini uangnya. Ini aku berikan lebih. Kamu belikan baju kerja, rok kerja, kemeja, dan sepatu." Mahesa memberikan tiga tumpuk uang. Iwa terpaku melihat tumpukan itu digeser ke arahnya. "Kenapa diam? Ambil." Mahesa mendorong uang itu semakin mendekat ke Iwa. Iwa menggeleng, "Kenapa?" tanya Mahesa. "Ini tidak dipotong uang gaji." Mahesa menambahi. Iwa menelan ludah. Kalau Hendrawan sampai tau, uang ini pasti akan langsung habis untuk ia main judi. "Kenapa Pak Mahesa sangat percaya kepadaku?" tanya Iwa penuh selidik. Mahesa terdiam, seperti tersadar dengan apa yang dikatakan Iwa barusan. Benar kata Iwa, Mahesa bisa sangat percaya dengan Iwa, padahal ia belum mulai bekerja. "Karena, aku tau, pilihan Oma Aning, tidak pernah salah." Ucap Mahesa sambil tersenyum. d**a Iwa berdetak, Mahesa sangat manis. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN