Chapter 11 - Penyelidikan

1087 Kata
Iwa membuka mata, ketika kepalanya terantuk kaca jendela ketika Mahesa menginjak rem mobil secara tiba-tiba. Ternyata Mahesa masih mengendarai mobil. Mata Iwa sulit terbuka, kepalanya terasa berat. Namun ia harus bangun karena Iwa ingin tau apa alasannya mengajak Iwa pergi sejauh ini pada jam yang tidak normal. Kalau begini terus, ia akan dianggap perempuan tidak baik sama seperti tadi ia diperlakukan. Mahesa mengamati mobil depan dengan seksama. Iwa ikut menatap ke depan. Tidak ada yang aneh menurut Iwa, hanya mobil yang sedang berhenti, dengan mesin mobil yang masih menyala. Tidak lama keluar perempuan yang berjalan mengikuti orang disebelahnya yang memegangi payung. Cuca di luar memang hujan, membuat jarak pandang Iwa maupun Mahesa sedikit terganggu. Mahesa mengarahkan kameranya ke luar, perempuan itu menyembunyikan wajahnya dengan  pouch. Sementara orang di samping wanita yang Mahesa poto itu belum jelas siapa dia. Wanita yang diamati Iwa dan Mahesa masuk ke sebuah restaurant. Mahesa mengalihkan pandangannya ke Iwa yang baru saja sadar dari tidurnya. "Sudah bangun?" tanya Mahesa menatap Iwa. Iwa mengangguk malu karena Mahesa sampai bertanya seperti itu, "aku ada tugas untukmu.." ucap Mahesa lagi. Iwa diam mengamati Mahesa yang memberikan arahan apa yang seharusnya Mahesa lakukan. Stelah mengerti semua arahan Mahesa, Iwa turun. Saat tuun dari mobil cuaca dingin menerpa tubuhnya. Angin saat hujan kali ini sungguh membuatnya kedinginan. Iwa memeluk tubuhnya sendiri sambil melihat ke dalam mobil. Di dalam mobil ada Mahesa yang menunggu hasil penyeliidikan Iwa. Iwa berjalan masuk ke retaurant itu. Seorang satpam melihat Iwa dengan tatapan penuh curiga. Karena restaurant tempat ia bertugas ini memiliki tamu dengan pakaian malam yang cantik dan anggun. Hanya Iwa yang msuk dengan baju kaos berwarna jingga dengan rok sebatas dengkul berwarna putih, yang sudah berubah warna menjadi coklat karena kotor, yang membuat penamplan Iwa mencolok adalah Iwa mengenakan sendal jepit masuk ke dalam retaurat. Satpam ingin melarang Iwa, namun ia melihat Iwa turun dari sebuah mobil mewah keluaran terbaru. Satpam mengurungkan niat menegur Iwa.  Iwa masuk ke dalam restaurat, seuai dengan arahan Mahesa, Iwa duduk mencari tempat duduk tidak jauh dari tempat duduk Syafa. Mata Iwa mengamati wanita bergaun biru itu lekat. Semakin mendekat, Iwa semakin yakin yang bersama Syafa adalah seorng perempuan berambut pendek. Sebelum memilih tempat duduk, Iwa dihadang oleh seorang wanita berkemeja hitam, "Maaf Ibu, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu lagi. Mahesa tidak mengatakan kalau ia akan dihadang terang-terangan seperti ini, "I-iya." Jawab Iwa berusaha menenangkan dirinya agar penyelidikannya berjalan lancar. Jam sudah menunjukkan angka dua dini hari. Namun restaurant ini sama seperti membuka usaha di jam biasa. Pengunjung restaurant ini cukup ramai. "Berapa orang ya Bu?" tanya perempuan pelayan itu lagi, Iwa pura-pura berfikir agar lebih meyakinkan lagi. "Sementara ini aku sendiri. Tapi, nanti akan ada seorang teman yang datang." Jawab Iwa sambil mengangguk. "Baik, silahkan ikuti saya." Jawab wanita itu meminta. Iwa melihat Syafa dan teman perempuannya duduk di kuris dengan meja berkapasitas empat orang, "Mbak." Panggil Iwa menghentikan langkah perlayan itu, "kemungkinan temanku bertambah satu yang datang. Jadi sepertinya tiga orang. Apa bisa aku duduk di sini saja?" Tanya Iwa menunjuk sebuah meja dan kursi yang berada tidak jauh dari Syafa. Saat ini posisi Iwa sudah tepat, kemungkinan ia bisa mendpatkan informasi lebih mengenai Syafa. Iwa duduk tepat di belakang Syafa. Iwa mulai mengambil posisi duduk dengan badan agak dimiringkan, agar posisi tubuhnya lebih dekat dengan Syafa. Ia ingat perkataan Mahesa tadi, ia mengatakan kalai bisa Iwa mendengarkan semua percakapan Syafa dan orang di sampingnya.  "Kalau itu kamu santai saja, suamiku itu lugu sekali!" ucap Syafa yang terdengar di telinga Iwa. Iwa tidak menyangka kalau Syafa memiliki volume suara berat dan keras. Syafa berbicara biasa saja, sama seperti Iwa sedang marah.  Iwa mengerutkan alis, suaa lawan bicaranya tidak jelas terdengar, karena sepertinya wanita berambut pendek di hadapannya itu memiliki suara yang lebih kecil dibandingkan dirinya.  "Kamu kenapa?" tanya Safa lagi. Iwa melirik ke Syafa yang kini memegangi kening lawan bicaranya, "aduh, kamu demam sayang?" tanya Syafa lagi, terdengar dari nada bicaranya Syafa khawatir.  "Sayang? Apa sapaan dengan teman para wanita kaya seperti itu?" tanya Iwa dalam hati.  "Kan aku sudah katakan, kalau kamu tidak perlu khawatir. Aku mencintaimu dengan tulus. Pernikahanku dengan Mahesa si metroseksual itu memang hanya di atas kertas, hanya di dalam buku nikah. Aku tidak memiliki perasaan apapun.." ucap Syafa. Kedua alis Iwa terangkat, Iwa menelan ludah, mendengar perkataan Syafa barusan. "Cinta? Kenapa dia bilang, cinta ke sesama perempuan?" Iwa mulai sedikit mengambil kesimpulan, namun ia tidak mau menduga-duga, yang jelas, Iwa sudah tau kalau Syafa tidak mencintai Mahesa. Kasihan lelaki berhidung mancung yang sedang menunggunya di mobil itu, ia jelas sedang mengkhawatirkan istri yang ternyata tidak mencintainya.  "Kisah cinta kita ini terlarang. Jadi, kita nikmati saja sayang. Yang jelas, aku akan memenuhi segala keperluanmu, segala kebutuhanmu.." ucap Syafa lagi. Sayang sekali, Iwa tidak bisa mendengar dengan jelas perkataan lawan bicara Syafa. Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang pelayan memberikan menu. Begitu juga di meja Iwa,  "Selamat malam Mbak, ingin pesan apa?" tanya pelayan itu. Iwa menarik buku menu itu perlahan. Iwa melihat daftar makanan dan minuman berharga fantastis, bahkan harga satu menu makanan sama dengan haraga tiga bulan kamar kosnya. Itu gila bagi Iwa.  "Hm, aku tunggu teman-temanku yang lain saja ya Mbak." Iwa menyeringai seraya mendorong buku menu yang diberikan pelayan menjauh darinya.  "Baiklah kalau begitu."  Iwa mengangguk. Iwa kembali mendengarkan perkataan Syafa dan kekasih sesama jenisnya itu. "Aku rencananya akan pulang besok. Tapi, agak siang juga gak apa-apa. Suamiku gampang sekali aku bodoh-bodohi." Syafa kembali mengeluarkan kalimat yang membuat Iwa menelai air liurnya berkali-kali. Entah apa yang ada di benak Syafa. Ia cantik, memiliki suami yang sangat tampan, kaya dan baik hati. Selain itu juga memiliki oma mertua yang bahkan Iwa saja ia perlakukan lembut dan istimewa.  "Sayang, sebentar ya. Aku pingin pipis. Aku ke toilet dulu." Ucap Syafa manja. Ia mendorong kursi tempat semula ia duduk dan berjalan meninggalkan meja bundar tempat ia berbincang. Iwa mengamati sekeliling. Mahesa tadi berpesan, ia harus segera kembali kalau ia sudah mendapatgkan informasi. Iwa sudah cukup memgantungi informasi. Iwa sepertinya sudah saatnya pergi dari tempat duduk sebelum rencana Iwa diketahui.  Iwa beranjak bangun dan berjalan menuju pintu uatama tempat awal ia masuk ke restaurant. Iwa berjalan dengan cepat. Namun tiba-tiba..  "Aw!" Iwa merasa tangannya ada yang menarik. Tubuh Iwa nyaris terbanting. Mata Iwa membulat ketika mulut di dekap oleh telapak tangan lembut dan wangi.  "Siapa kamu bocah tengil?" tanya suara itu berat. Iwa terdiam, menatap mata orang di hadapannya itu menatapnya dengan sinis. Iwa mengurungkan niatnya berteriak ketika benda pipih dan dingin, menempel di leher kanannya.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN