bab 11

1283 Kata
Mungkin Jonathan hanya menganggap seperti ciuman biasa, tapi tidak dengan Maira. Jantungnya berdegup kencang, persendiannya lemas. Bahkan Maira hampir saja terjatuh, jika tidak ditahan oleh Jonathan. "Maaf, kamu pasti terkejut. Kita memang harus membiasakan diri seperti ini, bukan?" Jonathan masih mendekatkan wajahnya. Jaraknya masih sangat dekat, bahkan mungkin lelaki itu bisa mendengar suara detak jantung Maira yang berdegup kencang. "Aku akan menahan diri, kalau kamu belum terbiasa." Bisik Jonathan. Lelaki itu melepas tangan dari pinggang Maira, lalu berjalan terlebih dulu meninggalkannya menuju kamar. Sementara Maira masih berdiri mematung, mengatur degup jantungnya. Ya ampun! Nyaris saja. Perlakuan Jonatha semakin hari, semakin berubah. Berubah lebih baik tentu saja. "Apa kamu membutuhkan seorang asisten? Aku lihat kamu mulai kewalahan kalau harus menyiapkan semuanya sendiri, termasuk mengurus rumah." Jonathan menawarkan jasa asisten rumah tangga, untuk membantu Maira. Setelah menikah Maira selalu pulang tepat waktu. Ia tidak pernah lagi lembur. Hal tersebut dikarenakan Maira merasa memiliki tanggung jawab mengurus rumah dan tentu saja suami. "Tidak perlu, aku bisa mengerjakannya sendirian." Balas Maira. Untuk saat ini Maira memang merasa tidak begitu memerlukan jasa asisten rumah tangga. "Tapi aku merasa bersalah kalau kamu bekerja di kantor dan juga di rumah. Pasti sangat lelah." Jonathan mengusap puncak kepala Maira dengan lembut. "Begini saja, bagaimana kalau kita mencari jasa asisten yang hanya datang satu minggu sekali saja. Untuk meringankan pekerjaanmu." Saran Jonathan. "Boleh. Aku setuju." Mungkin dengan adanya seorang asisten, Maira tidak perlu lagi memikirkan bagaimana membagi waktu antara mengurus suami dan rumah. Jonathan bukan tipe suami penuntut, meski begitu Maira senang setiap kali lelaki itu menghabiskan makanan yang dibuatnya. Meskipun selalu diakhiri dengan menyebut nama Maya. "Nanti aku cari tau agensi penyalur asisten rumah tangga yang terpercaya. Aku tidak mau asal mempekerjakan orang, apalagi untuk mengurus rumah." Maira hanya menganggukan kepala. Ia menyerahkan semuanya pada Jonathan. Setelah selesai sarapan, keduanya lantas berangkat kerja bersama. Maira pun mulai memberanikan diri turun di lobi utama, bukan lagi lobi belakang dimana ia akan berjalan setelah mobil Jonathan sampai. "Sepertinya pernikahan kalian berjalan lancar." Leni membawa dua cup kopi panas dan cemilan. "Menu baru di restoran bawah. Katanya enak." Leni menyodorkan wadah berisi makanan. "Gorengan?" Tanya Maira, sambil mengamati bentuk dari makanan tersebut, bentuknya bulat lonjong. "Iya. Gorengan orang kaya, sebiji dua puluh ribu. Kalau beli di Abang keliling bisa dapat sekantong gede." Leni menjelaskan. "Cobain aja, enak dan yang paling penting terbuat dari daging ayam tanpa udang." "Itu yang paling penting." Maira pun akhirnya mengambil satu dan mencicipi. "Aku bisa mati, kalau makan udang. Beberapa waktu lalu saja aku hampir mati gara-gara makan udang." "Udah tau alergi, kenapa nggak hati-hati." Cibir Leni. Setiap pukul dua sore atau setelah mereka menyelesaikan pekerjaan yang cukup melelahkan, keduanya selalu menghabiskan waktu bersama menikmati kopi dan cemilan. Karena area kantor tidak memiliki taman, atau tempat khusus untuk beristirahat, mereka selalu menjadikan meja kerja Maira sebagai tempat berbincang santai. "Kamu lagi cari apa?" Leni menatap layar laptop Maira saat melihat informasi yang sedang dicari. "Pesugihan moderen?" Leni menoleh ke arah Maira dengan tatapan bingung. "Mitos, kebetulan aja lewat di beranda pencarian." Maira menggeser layar laptop, kembali ke setelan awal. "Mungkin untuk sebagian orang mitos, tapi ada juga yang masih percaya." Leni menyeruput pelan kopi panas miliknya. "Kalau aku tim percaya." "Kenapa percaya?" Kali ini giliran Maira yang terlihat begitu penasaran. "Aku pernah tinggal di salah satu komplek dimana beberapa penghuninya mengikuti aliran seperti itu. Biasanya mereka memang menempati satu kawasan yang sama. Sekitar tiga atau empat orang." Maira menyimak penjelasan Leni dengan serius. "Biasanya mereka saling mengenal satu sama lain, atau bisa saja tidak saling mengenal. Saling menjaga rahasia karena mereka tidak bisa membedakan mana kawan dan mana lawan." Dahi Maira kian mengerut. "Sulit dijelaskan Mai, yang pasti manusia haus kekuasaan dan memiliki jiwa iblis itu ada. Kita harus hati-hati, karena bisa saja mereka ada di dekat kita." Maira pun kembali membuka laptop dan mencari beberapa informasi yang sempat ditundanya karena kedatangan Leni. "Kenapa kamu tertarik dengan hal seperti itu?" Leni menggeser duduknya lebih dekat. "Kamu mencurigai sesuatu?" Selidik Leni. "Hanya sedikit curiga. Aku tidak bisa menyimpulkan apapun, apalagi karena aku tidak memiliki banyak bukti." Maira tetap menatap ke arah laptop, tanpa menghiraukan tatapan bingung Leni. "Kamu mencurigai suamimu?" Maira menolen. "Bukan. Tapi aku mencurigai Mamah Tara." "Kenapa?" Maira tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aku pun tidak tau, hanya pikiranku saja. Lagipula aku tidak memiliki banyak bukti dan bisa saja kecurigaanku ini berujung fitnah." Maira menghentikan pencariannya, dan kembali fokus pada kopi yang kini sudah tidak panas lagi. "Kecelakaan Kak Maya sedikit janggal menurutku. Kecelakaan tunggal dengan tidak ada saksi di lokasi kejadian, bahkan lokasi tersebut tidak terdapat CCTV sama sekali. Mungkin hanya kebetulan, tapi beberapa hari sebelum kecelakaan itu terjadi Mamah Tara terlihat begitu khawatir. Dia selalu cemas bahkan terkesan begitu protektif terhadap Kak Maya, seolah ia sudah mengetahui kecelakaan itu akan terjadi." "Ibumu sangat kaya?" "Tidak terlalu." "Orang yang seharusnya kamu curigai bukan Ibumu, tapi suamimu. Dia memiliki kekayaan diatas rata-rata." Maira kembali mengerutkan kening, ia tidak menyadari hal tersebut. Mungkin karena selama ini Maira begitu dibutakan cintanya sendiri. "Nggak mungkin. Kekayaan Jonathan berasal dari beberapa perusahaan yang berada dibawah naungannya. Kekayaannya bisa dipertanggung jawabkan." Maira mengelak. "Benar juga. Jonathan memang sejak masih dalam kandungan sudah kaya raya, apalagi sekarang saat semua bisnisnya dan perusahaannya berjalan lancar. Duitnya tidak bisa dihitung jari." Leni mengangguk-anggukan kepalanya. "Hampir saja aku mencurigai Jonathan." Leni menggaruk kepalanya. Maira hanya tersenyum samar. Jika Leni hampir saja mencurigai Jonathan, lain halnya dengan Maira yang justru mulai merasakan kecurigaan dalam hatinya. Apakah Jonathan memang termasuk salah satu dari anggota komunitas itu? Entahlah, Maira tidak tau. "Malam ini aku ingin makan steak." Ucap Jonathan saat mereka berada dalam satu mobil yang sama, hendak pulang. "Bagaimana kalau kita masak sendiri, dan beli bahan-bahannya dulu." Ajaknya. "Boleh." Maira setuju. Selama perjalanan Jonathan menyebutkan beberapa bahan yang diperlukan, Maira tidak perlu mencatat, semua dihafalnya di luar kepala. Jonathan mungkin tau segala hal yang disukai Maya, tapi Maira pun tau banyak hal tentang apa yang disukainya. Termasuk soal makanan kesukaan Jonathan. "Kamu benar-benar paham soal masakan." Jonathan kagum melihat bagaimana Maira begitu cekatan memilih bahan makanan, dari mulai bumbu sampai memilih daging merah. Jonathan sampao berdecak berulang kali melihat bagaimana Maira belanja. "Sudah selesai." Ucap Maira, setelah mereka berdua melewati rak terakhir. "Mau es krim? Aku bisa belikan untumu selagi menunggu antrian." Maira menganggukan kepalanya, setuju. "Tunggu sebentar, aku akan membelinya." Lelaki itu pun pergi meninggalkan Maira di depan kasir. Maira dan satu petugas memasukan barang belanjaan kedalam kardus, sementara satu petugas lainnya mentotal jumlah harga yang harus di bayar. Tiba-tiba dari arah belakang muncul seorang pengunjung lainnya membawa troli berisi banyak makanan. Langkhanya sangat cepag, sehingga ia tidak bisa menahan berat troli saat mendekati Maira. Alhasi troli tersebut menabrak tubuh Maira hingga ia mengaduh kesakitan. "Maaf, kamu nggak apa-apa?!" Ternyata yang membawa troli tersebut adalah seorang lelaki. Ia langsung menghampiri Miara untuk menolongnya. Maira yang tidak sempat menghindar pun terpental dan hampir terjatuh. Beruntung ia masih bisa berpegangan pada salah satu pembatas yang ada tak jauh dari tempat Maira berada. "Nggak apa-apa." Balas Maira. Padahal ia merasa nyeri di bagian pahanya. "Maaf, saya benar-benar tidak sengaja." Ucapnya penuh sesal. "Tidak apa-apa." Jonathan melihat keributan dimana Maira berada,ia pun segera berlari untuk memastikan. "Maira." Panggil Jonathan setelah beberapa orang mengerubungi Maira. "Ada apa? Kamu nggak apa-apa?" Tanya Jonathan khawatir. "Nggak apa-apa. Hanya insiden kecil." Balas Maira. "Kenapa sampai terjatuh," Jonathan meraih satu tangan Maira agar wanita itu bisa berdiri. Tapi sepertinya sakit yang dirasakan Maira cukup serius. Ia meringis kesakitan. "Siapa yang melakukannya?!" Tanya Jonathan lagi. Maira pun menoleh dan menunjuk ke arah orang yang menabrkanya menggunakan troli belanjaan. Tapi Maira tidak melihat orang itu lagi, padahal baru beberapa waktu lalu orang itu masih berdiri tak jauh dari tempatnya berada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN