Maira terbangun saat merasakan sebuah tangan melingkar erat di pinggangnya. Secara perlahan ia menggeser tangan tersebut agar tidak menimbulkan gerakan yang membuat di pemilik tangan terbangun. Sayangnya baru saja Maira menggeser sedikit tangan itu, ia sudah kembali mengeratkan pelukannya.
"Aku sangat lelah." Ucapnya. Suara khas bangun tidur.
"Aku butuh istirahat." Lanjutnya.
Maira merasakan hembusan hangat nafas Jonathan menyentuh kulit punggungnya. Lelaki itu memeluk sekaligus menyembunyikan wajah di balik punggung Maira.
"Jangan kemana-mana, tetap seperti ini. Ada Asti yang mengerjakan semuanya." Sepertinya Jonathan membaca pikiran Maira, dimana ia tengah bersiap untuk keluar kamar. Akhirnya Maira mengurungkan niat, ia tetap membiarkan Jonathan kembali tidur dengan posisi memeluknya dari belakang.
Maira hanya mengusap pelan punggung tangan Jonathan hingga akhirnya ia mendengar dengkuran halus, pertanda lelaki itu kembali terlelap.
"Kenapa kamu membiarkanku tidur sampai pukul sebelas?" Keluh Jonathan ketika ia melihat jam dari ponselnya.
"Aku pikir kamu butuh istirahat, karena baru pulang tugas dari luar kota."
Jonathan tersenyum samar. "Benar." Ia mengusap puncak kepala Maira, "Aku akan segera mandi, setelah itu kita sarapan bersama."
Maira menganggukkan kepalanya, sementara Jonathan beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi.
Asti di usianya yang masih terbilang muda, wanita itu begitu cekatan dalam bekerja. Setiap harinya ia datang pukul enam pagi dan pulang pukul empat sore. Asti tidak tinggal di kediaman Maira, wanita itu hanya datang di pagi hari dan pulang setelah memastikan semua pekerjaannya selesai.
Selain pandai membersihkan rumah, Asti juga pandai memasak.
"Masakan kamu enak."
Puji Maira.
"Terima kasih, Bu." Asti tersenyum samar.
Asti jarang menunjukan diri saat Maira dan Jonathan ada di ruang tamu. Wanita itu hanya akan datang ketika Maira atau Jonathan memanggilnya.
"Ini sayur apa?" Tanya Maira pada satu piring tumis sayur.
"Tumis sayur,"
Maira tau itu tumis sayur, tapi ia tidak lantas menikmatinya. Maira memeriksa apa saja yang ada di dalam tumis sayur tersebut, karena bisa saja Asti memasukan bahan makanan yang akan membuat alerginya kembali kumat.
"Tanpa udang." Ucap Asti.
"Oh iya. Saya alergi udang, jadi tolong pisahkan masakan yang terbuat dari udang untuk saya."
"Baik ,Bu." Asti pergi meninggalkan Maira di meja makan, tapi setelah wanita itu pergi Maira menyadari satu hal. Asti sepertinya tau alergi yang dideritanya, sebab wanita itu langsung menyebut udang, saat Maira memperhatikan tumis sayur.
"Bagaimana kondisi kakimu?" Jonathan akhirnya keluar setelah membersihkan diri.
"Sudah lebih baik. Hanya tinggal lebam nya saja. Tapi sudah tidak sakit." Balas Maira.
"Syukurlah."
"Sebelum kondisi kakimu benar-benar baik, kamu belum boleh berangkat ke kantor."
Maira ingin membantah, karena kondisi kakinya sudah lebih baik. Bahkan Maira sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Tapi Maira tidak ingin memberikan kesan seperti wanita pembangkang di mata Jonathan. Akhirnya ia pun menganggukan kepalanya, menyetujui ucapan Jonathan.
"Berlama-lama di rumah sedikit membosankan, rencananya besok aku akan pergi." Maira memberanikan diri mengutarakan niatnya.
"Kemana?"
"Ke rumah Ibu."
"Ibu? Mamah Tara? Dia masih di Singapura."
Maira tersenyum samar. "Bukan Mamah Tara, tapi Ibu. Ibuku."
Jonathan mengerutkan kening, pertanda tidak mengerti.
"Kak Maya belum cerita kalau aku dan dia beda Ibu?" Selidik Maira, dan saat Jonathan menggelengkan kepalanya Maira akhirnya tau bahwa lelaki itu benar-benar tidak mengenal dirinya dengan baik.
"Aku dan Kak Maya satu ayah, beda Ibu. Dan, sejak kecil aku memutuskan untuk tinggal bersama Mamah Tara. Rencananya besok aku akan datang menemui Ibu, karena sudah sangat lama kami tidak bertemu."
Penjelasan singkat yang membuat Jonathan akhirnya sadar, mengapa Tara selalu membandingkan Mair dan Maya. Ternyata mereka bukan saudara kandung.
Perlahan Jonathan pun sadar mengapa Tara bersikeras untuk menjadikan Maira sebagai pengantin pengganti untuk Maya.
Jonathan menoleh dan memperhatikan wajah Maira dengan seksama. Terbesit rasa bersalah yang kini mulai mengganggunya. Maira, wanita itu tidak tau apapun, bahkan saat bahaya mengancamnya sekalipun.
"Baiklah, kamu boleh pergi. Tapi sebelum aku pulang, kamu sudah harus ada di rumah."
Maira mengangguk patuh.
Jonathan memilih duduk di salah satu sofa di bagian belakang rumah, lebih tepatnya di dekat kolam renang. Sementara Maira memilih bersantai di depan televisi. Jonathan meraih ponsel dan mengetik sebuah alamat yang pernah diceritakan Maya beberapa waktu lalu, sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi.
Maya sering mengatakan bahwa dirinya diikuti oleh seorang lelaki misterius. Maya juga sempat mengalami berbagai kejadian aneh yang membuatnya ketakutan. Awalnya Jonathan tidak mempercayainya dan menganggap Maya hanya berhalusinasi saja. Hingga suatu hari Maya memberikan sebuah alamat situs web lengkap dengan kata sandinya.
Setelah kecelakaan yang dialami Maya, Jonathan pun akhirnya mulai percaya meski tidak sepenuhnya percaya. Lantas untuk menambah rasa percaya dalam hatinya, Jonathan pun membuka sebuah situs misterius, dan baru bisa terbuka setelah ia memasukan sebuah kata sandi rahasia.
Situs tersebut bernama money monkey atau disingkat MM. Jonathan mulai berselancar di situs tersebut dan mencari beberapa informasi mengapa dan apa saja kegiatan orang di dalam organisasi tersebut. Nafas Jonathan tertahan saat ada nama Maya dan Maira masuk kedalam daftar list target selanjutnya. Target dimana Maya atau Maira akan menjadi tumbal.
"Hei,, bangun." Jonathan mengusap lembut pundak Maira, saat melihat wanita itu tertidur di sofa, dekat televisi.
Maira hanya menggumam pelan dengan satu tangan mengusap lengannya. Sepertinya wanita itu kedinginan.
"Jangan tidur disini, tidurlah di kamar."
Lagi-lagi Maira hanya menggumam.
Jonathan pun tersenyum samar, lalu mengusap lembut wajah Maira.
"Maafkan aku," bisiknya sangat pelan. Lalu Jonathan pun meraih tubuh Maira dan membawanya ke dalam kamar.
Seperti yang sudah direncanakan, Maira pergi setelah Jonathan berangkat ke kantornya. Maira menggunakan mobil miliknya, menuju sebuah pemakaman khusus yang selama beberapa tahun menjadi tempat tinggal sang Ibu.
Iya, Ibu kandung Maira sudah lama tiada. Ia meninggal dalam sebuah kecelakaan yang merenggut nyawanya.
Maira membeli buket bunga mawar putih. Bunga kesukaan Ibu.
Maira dan Roy sengaja memilih tempat pemakaman yang jauh dari pemukiman dan memiliki pemandangan yang begitu indah. Rasanya Maira sedangkan berada di sebuah negeri dongeng saat mengunjungi makam Ibu. Karena selain indah, juga sangat sejuk dan memanjakan mata.
"Bu, Maira datang." Maira menyapa sebuah batu nisan, dimana tertulis nama sang Ibu.
"Sudah lama kita nggak bertemu. Maira kangen." Maira meletakan bunga mawar putih diatas pusara sang Ibu.
"Bu, Maira sudah menikah. Lihat ini," Maira menunjukan jari manisnya dimana tersemat sebuah cincin indah bertahtakan berlian.
"Cincin pernikahan Maira. Cantik sekali bukan?" Maira menoleh dan menatap kagum pada cincin di jari manisnya.
"Maira bahagia, karena akhirnya Maira menikah' dengan seseorang yang sangat Maira cintai. Namanya Jonathan. Maira janji, suatu hari nanti akan memperkenalkannya pada Ibu."
Semilir angin berhembus lembut membelai wajah dan rambut Maira. Seberapa banyak pun ia bicara, nyatanya tidak ada jawaban selain suara angin dan binatang kecil penghuni area pekuburan. Maira memang senang saat ia bisa bercerita apa saja pada ibunya, meski hanya keheningan yang ia dapatkan. Tapi setidaknya Maira merasa lebih baik. Maira yakin sang Ibu pasti mendengarnya meski kini mereka berbeda alam.
Hampir tiga puluh menit Maira bermanja-manja di atas pusara sang Ibu, Maira mendengar ponselnya berdering. Awalnya Maira tidak berniat untuk menerima panggilan tersebut karena nomor yang tertera tidak memiliki nama. Artinya nomor tersebut baru dan bisa saja nomor orang asing yang hendak berniat jahat. Maira Mengabaikannya. Hingga saat ia melihat nama Jonathan muncul di layar ponsel, hendak menghubunginya. Maira segera menerima panggilan dari Jonathan.
"Dimana? Sudah pulang?" Tanya Jonathan dari seberang sana.
"Belum. Masih di tempat Ibu." Balas Maira.
Saat ia dan Jonathan sedang berbicara melalui panggilan telepon, Maira dibuat tidak tenang oleh nomor asing yang menghubunginya tadi. Meskipun Maira tidak berniat menjawab, tapi nomor tersebut justru mengirimnya sebuah gambar. Gambar yang membuat Maira begitu penasaran.
Maira menekan tombol speaker agar bisa mendengar suara Jonathan saat ia membuka pesan. Tapi apa yang Maira dapat setelah ia membuka pesan dari nomor misterius itu, Maira terkejut bukan main saat sebuah gambar mengerikan muncul.
Maira berteriak sekencang mungkin, bahkan tanpa sadar menjatuhkan ponselnya ke tanah.