Daffa sangat gelisah saat diberi kabar bahwa Raya tengah sakit. Padahal acara disini masih belum selesai dan ia tak mungkin kabur dari acara ini.
Ya ... minggu ini Daffa tengah berada di Surabaya dengan sang kakak karena urusan keluarga juga kunjungan bisnis milik keluarganya. Sebenarnya ia sangat malas mengikuti ajakan ini karena ia hanya menyusahkan kakaknya dan tak bisa melakukan apapun karena ini bukan passion-nya.
"Udah lah, Mas, lain kali nggak usah ajak aku. Toh, aku nggak ikut bantu apa-apa," gerutunya.
"Tujuan Mas ajak kamu itu biar kamu bisa mengamati sambil belajar. Oke, Mas tau ini bidang kamu banget, tapi setidaknnya kamu bisa, Daf, kalau sewaktu-waktu kamu mendapat jatah memimpin perusahaan," ucap Kakaknya yang mulai ceramah.
Deva memang kakak yang baik, ia akui itu. Meski terkadang sikapnya menyebalkan dan acuh, tapi diam-diam perhatian untuknya selalu tercurah besar.
"Aku udah enjoy sama bisnis ku sendiri, jadi urusan perusahaan, Mas aja yang atur, aku angkat tangan." Jawabnnya santai.
Deva hanya menanggapi ucapan Daffa dengan kekehan dan kembali terfokus pada ponselnya.
"Dih, bisa ketawa ternyata. Aku kira mas lupa cara ketawa."
Deva auto memandang sinis Daffa.
"Apaa?!!!" ucap Daffa nyolot saat mendapat tatapan sinis dari kakaknya.
"Nggak jelas kamu tuh."
"Mas Deva yang gaje!"
"Biasa aja tuh."
Daffa tak menjawab dan memilih mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Posisi keduannya kini berada di teras penginapan yang tak terlalu besar bentuknnya tak jauh beda dengan rumah sewa, karena tempat yang mereka kunjung adalah pemukiman yang berada di pinggiran kota.
Malam ini adalah malam ke 3 mereka berada di kota ini dan Daffa sudah tak sabar ingin cepat2 pulang.
"Mas, kalau lagi keluar kota gini terus Kak Dea sakit, perasaan mas gimana?"
"Khawatir," jawab Deva singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
"Buru-buru pengen cepet pulang apa santai aja nunggu kerjaan selesai?"
"Ya buru-buru lah, ada-ada aja kamu."
"Aku juga gitu, Mas. Sekarang Raya lagi sakit dan aku pengen pulang!"
Daffa mendongak dan menatap ke arah Daffa. "Sakit apa?"
"Aku nggak tau, dia baru kabari aku tadi," jawab Daffa dengan suara lesu.
"Terus kamu pengen pulang?"
Daffa berdecak kesal. Kakaknya ini memang tak peka atau pura-pura tak peka sih?
"Ya iya lah!"
"Ini udah malam, besok aja. Posisi Raya sekarang dimana biar Dea yang cek kondisinya." Tanya Deva penuh perhatian. Berbeda dengan orang tuannya yang tak setuju dirinya berhubungan dengan Raya, kakaknya mendukung sepenuhnya hubungannya dengan Raya.
"Di apartemen aku."
"Oke nanti mas hubungi Dea. Cari tiket dulu besok kamu bisa pulang."
"Jangan bilang Papa, mas."
"Nggak lah."
"Makasih, mas tumben banget baik," ucapnya sambil cengengesan. Meski jarang berinteraksi namun Daffa selalu mampu mencairkan suasana canggung diantara mereka.
"Tidur sana, besok bangun pagi!"
"Siap!" Setelah itu Daffa langsung masuk kedalam penginapan dan menuju kamarnya.
Sesampainnya di kamar dirinya tak langsung tidur, melainkan video call dengan Raya yang terlihat lemas dan pucat.
Melihat kondisi Raya yang seperti itu, ingin rasanya Daffa memeluk erat tubuh kekasihnnya.
Sedangkan di lain tempat, Raya tengah merasakan rasa mual yang menyerangnya pagi ini, sampai membuat nya lemas seketika. Sebenarnya bukan hanya pagi ini ia mengalami mual-mual hebat seperti ini, tapi sudah lebih dari 3 hari ia mengalami nya.
Dengan perlahan ia berjalan menuju ranjangnya dan mengambil handphone nya untuk menghubungi Daffa lagi. Tadi malam, Daffa memberi tahu kalau ia akan langsung kembali pagi ini juga dan Raya sangat berharap Daffa bisa secepatnya datang.
Namun, nomor Daffa tak bisa dihubungi. Mungkin Daffa tengah berada di dalam pesawat.
Raya berbaring di atas ranjangnya dengan perlahan. Hari ini Karin tidak menemaninnya karena ada acara dengan pacarnya. Sedangkan kakak ipar Daffa akan kesini nanti setelah Alfa pulang bimba.
Raya hanya bisa menahan kepalanya yang berputar dan perutnya yang bergejolak sampai Daffa datang.
Beberpa jam kemudian Raya mencoba menghubungi Daffa kembali, siapa tahu pesawat Daffa sudah landing.
Beruntung, baru saja Daffa landing dan mengaktifakan ponselnnya. Dan kini, Daffa sudah on the way menuju apartemen.
Dengan sabar Raya menunggu dan tak memutuskan panggilan telfonnya karena dia merasa sangat amat kesepian dan tersiksa dengan kondisinya saat ini.
Raya tersenyum hangat dan langsung menyambut pelukan Daffa. "Maaf, aku tinggalin kamu lama," ucap Daffa sambil mengusap kepala Raya penuh sayang.
Raya tak menjawab dan terus mengeratkan pelukannya. Baru beberapa hari di tinggal tapi rindunya sudah menggila.
"Gimana, kamu sakit apa?" Tanya Daffa tanpa melepas pelukannya.
"Dari kemaren aku mual-mual terus." Jawabnya dengan sangat pelan.
"Ke dokter ya, kan kata kamu kemarin belum sempat cek up." Ucapnnya.
Dengan kuat Raya menggelengkan kepalanya, sejak dulu ia sangat menghindari rumah sakit. Karena menurutnya, rumah sakit adalah tempat paling mengerikan di dunia.
"Yaudah makan dulu ya aku tadi beliin kamu bubur ayam di jalan." Daffa membuka bubgkus bubur ayam dan mulai menyuapkan pada Raya.
Namun, saat suapan pertama masuk kedalam mulutnya rasa mual nya kembali terasa dan berujung memutahkan bubur di mulut nya begitu saja sampai mengenai celana Daffa.
"Maaf tiba-tiba aku mual banget," Ucapnya merasa bersalah dan langsung mengambil tisu untuk membersihkan sisa mutahannya yang ada di celana Daffa Daffa.
"Udah nggak papa sekarang minum terus makan lagi ya," ucap Daffa sambil menahan tangan Raya yang membersihkan sisa mutahannya. Dengan sabar ia menyuapi Raya kembali.
"Sejak kapan kamu mual-mual gini?" Tanya Daffa penasaran, karena setahunya kekebalan tubuh Raya sangat kuat dan jarang sekali sakit.
"Dua hari lalu, tiap pagi mual terus aku."
"Bolos kuliah dong? Terus Karin kesini nggak?"
"Iya Karin tiap hari temenin aku tapi hari, ini dia lagi liburan sama pacarnya." Jawab Raya sambil bersandar di d**a Daffa.
"Makannya udah ya, aku mual banget," ucap Raya saat Daffa akan menyendokan bubur kembali.
"Dikit lagi ya?"
Raya tetep menggeleng karena rasa mualnya tak bisa ditahan saat ada makanan masuk.
Daffa meletakkan bubur di nakas dan mengambil gelas yang sudah berisi air dan memberikan pada Raya.
"Yaudah kamu istirahat lagi." Daffa membaringkan Raya ke ranjang. ia pun juga mengikuti berbaring di samping Raya sambil mengusap kepala Raya penuh sayang.
"Aku pengen buah yang seger jambu air, semangka, mangga, kali aja abis itu mual ku hilang" Ucapnya manja.
"Dimana beli nya?"
"Toko buah lah!"
"Ini masih pagi, Raya. Kamu juga nggak mau makan, nanti perut kamu tambah sakit." Peringat Daffa.
"Yanggg ... pokoknya aku mau semangka!" Rengek nya.
"Iya iya nanti aku cariin tapi sekarang istirahat dulu biar ilang mualnya.
"Ambilin minya kayu putih dong." Pinta Raya.
Daffa bangkit dan langsung mengambil minyak kayu putih yang Raya ingin kan.
"Mau di oles dimana?" Tanya Daffa.
"Sini," jawabn Raya sambil mengusap perutnya sendiri.
Daffa membuka beberapa kancing piyama Raya dan mulai mengusap perut Raya dengan minyak.
"Udah, sekarang kamu tidur lagi biar mualnya ilang."
Raya pun mencoba memejamkan matanya dan segera tidur sebelum Daffa mengomel lebih panjang.
Sedangkan Daffa, dirinya tengah berfikir cukup keras dengan apa yang di alami Raya saat ini. Ia tidak bodoh, ia tau betul tanda-tanda orang hamil itu seperti apa, dan kini ia sangat takut jika hal ini terjadi. Ia benar-benar belum siap luar dalam kalau Raya harus hamil duluan.
Sambil menunggu Raya tidur, Daffa membersihkan sisa mutahan Raya dan membersihkan kamarnya.
Setelah selesai dengan kamarnya Daffa beralih menuju dapur dan memasak. Ia tak menghiraukan rasa lelahnnya setelah perjalanan jauh.
Bel apartemen-nya berbunyi, dengan cepat Daffa langsung membuka pintu dan melihat siapa yang datang.
"Loh kamu udah sampai, Mas Deva mana?" Ternyata tamu Daffa adalah Nadea — kakak iparnya.
"Mas Deva masih disana, aku pulang duluan kak,"ucapnya sambil mempersilahkan Dea dan Alfa masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
"Gimana Raya? aku tadi mau kesini tapi Alfa nggak mau di tinggal."
"Kak."
"Kenapa?"
"Orang hamil tiap pagi mual-mual kan?"
"Ada yang iya ada yang enggak. Hamil Alfa dulu kakak nggak ngerasain apa-apa cuma ngidam aja, hamil anak kakak yang keguguran dulu tiap pagi mual terus nggak bisa ngapa-ngapain." Jelas Dea.
"Aku takut Raya hamil."
"Hah?!" ucap Dea terkejut.
"Dia mual, lemes, pucat, pusing. Itu tanda-tanda orang hamil."
"Belum tentu, Daf."
"Iya kak, semoga jangan aku belum siap," ucap Daffa sambil menundukkan kepalanya.
"Kalau belum siap rubah gaya pacaran kamu. Tau nggak, kalian itu udah kayak suami istri! kakak kamu sering ngomel-ngomel lihat tingkah kalian. Kalau Raya benar-benar hamil kalian bakal repot!"
Daffa mengembuskan nafas berat. Benar yang dikatan kakak iparnya. Semua akan runyam bila Raya hamil dahulu karena sedikitpun mereka belum mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga.
"Aku akan hati-hati kak."
"Yasudah kalau ada apa-apa langsung hubungi kita."
Daffa mengangguk.
"Kakak pulang dulu ya, nanti kalau Mas Deva udah pulang kesini lagi. Alfa, salim dulu sama om."
Alfa mencium punggung tangan Daffa dan menghampiri mamanya kembali.
"Yasudah, kita pulang dulu ya, sampaiin salam kita le Raya."
"Iya mbak terimakasih." Daffa mengantar kakaknya sampai depan pintu.
Setelah Raya bangun ia harus mengajaknya ke dokter untuk segera memastikan keadaannya. Kalau positif dirinya harus segera memikirkan jalan keluar, kalau negatif dirinya harus lebih berhati-hati lagi.
Sore ini Daffa membawa Raya ke klinik terdekat, meskipun ia harus merayu habis-habisan sang kekasih.
Daffa menunggu dengan cemas di depan ruang periksa karena ia tidak sanggup kalau harus masuk. Jantungnya benar-benar berdetak sangat cepat kala Raya baru saja keluar.
"Gimana?" Tanyanya panik.
"Asam lambung aku naik jadi mual-mual gini." Jawab Raya sangat melegakan Daffa yang sedari tadi terus gelisah.
"Yaudah sekarang kita pulang." Daffa merengkuh pinggang Raya dan berjalan keluar klinik.
Setelah diberi obat agar tak terus-terusan merasa mual, Raya mendadak menjadi rakus dan ingin makan banyak.
Tujuan mereka setelah ini adalah kafe miliknya agar Raya bisa puas makan apapun yang ia inginkan.
Sesampainya di kafe, dengan semangat Raya mencomot semua makanan yang kini terhidang didepan nya.
"Yangg ingat BB." Peringat Daffa untuk yang kesekian kalinya.
"Daffa ku, aku lagi laper banget pliss deh diem aja daripada aku mual-mual kayak tadi."
"Untung kamu pacar aku." Gumam nya.
"Ray." Panggil nya.
"Hemm?"
"Aku tadi sempat ngira kamu hamil." Ucap Daffa langsung menghentikan aktivitas Raya.
"Gila kamu aku aja nggak kepikiran."
"Abisnya mirip tanda-tanda orang hamil sih." Jawabnya santai.
"Kalau pun iya aku nggak bakalan bisa pertahanin janin aku." Jawabnya membuat Daffa terkejut.
"Kamu mau gugurin? Dosa Ray ingat dia nggak berdosa!" Tegur Daffa.
"Bukan aku, tapi papi." Jawabnya pelan. "Kamu tau sendiri papi seperti apa, dia ngga bakal sudi liat aku hamil diluar pernikahan apalagi sama kamu papi kan nggak suka sama kamu!" Lanjutnya dengan suara bergetar.
"Stop udah ya, yang penting sekarang kamu nggak hamil."
"Tapi aku takut kalau sewaktu-waktu terjadi."
Dengan sigap Daffa langsung memeluk Raya yang mulai menangis.
"Aku ngga mau pisah sama kamu," ucap Raya pelan dan mengeratkan pelukannya.
****
Kondisi Raya sudah kembali sehat, dan mereka mendapat undangan party dari salah satu teman Daffa di sebuah bar terkenal di kota-nya.
Sudah biasa bagi mereka berjoget-joget ria di dalam club' malam seperti saat ini. Keduanya dengan setengah sadar terus meliuk-liukkan badannya mengikuti irama musik dari DJ.
"Sayang pulang yuk!" Teriak Daffa kencang pada Raya yang masih tidak mau berhenti.
Akhirnya Daffa mengangkat tubuh Raya karena jika dibiarkan mereka bisa sampai pagi.
Daffa yang 75% masih sadar mengendarai mobilnya kencang menuju apartemen nya. Sedangkan Raya kini tengah meracau tidak jelas karena sudah banyak minum.
Daffa menoleh saat ponsel didalam tas Raya berbunyi. Dengan perlahan ia mengambil ponsel itu dari dalam tas dan melihat siapa yang menelfon nya.
Ia terkejut saat melihat tulisan 'papi♥️ is calling' sangat tidak mungkin kalau ia mengangkatnya, jadi ia biarkan begitu saja.
Sesampainnya di apartemen, Daffa mengangkat tubuh Raya sampai ke dalam apartemen dan membaringkannya di ranjang.
Dengan sabar Daffa menghadapi Raya yang terus menggoda keimanannya, karena mulutnya tak henti-hentinya mengeluarkan desahan dan memanggil-manggil namanya dengan s*****l. Itu benar-benar mengundang nafsu Daffa.
"Kamu sangat menyiksaku sayang!" Sekuat tenaga Daffa mencoba menahan nafsunya saat ia melepas dress yang Raya kenakan, terlebih tubuh Raya yang tak bisa diam.
Kalau saja Raya tidak sedang masa subur mungkin ia sudah melakukan sekarang juga.
Akhirnya ia selesai menggantikan dress mini dengan piyama, ia pun ikut berbaring disamping Raya dan memeluknya erat.
"Sleep well sweetheart." Daffa mengecup kening dan bibir Raya bergantian dan bergabung ke alam mimpinya.
***
Paginya saat Daffa terbangun dari tidurnya, ia tidak mendapati Raya tidur disampingnya.
Ia melihat jam nya ternyata sudah pukul 10. Kali ini ia lebih santai karena tidak ada kelas dan hanya meeting di restoran barunya.
Ia mengambil handphone nya yang berada di atas nakas. Ia membuka chat dari Raya yang berisi 'Sayang maaf aku tinggal, papi aku pulang jadi aku juga harus di rumah. Nanti siang aku ke kafe mu, see you♥️'
Satu chat kembali masuk kedalam handphone nya.
'tadi aku udah buat roti bakar, dimakan ya.'
Daffa hanya membaca semua chat yang dikirim Raya, bukannya dia marah hanya saja percuma kalaupun ia membalas Raya tidak akan membalas chat nya karena ia tengah quality time dengan papi nya.
Dengan malas ia melangkah ke kamar mandinya dan mencuci mukanya agar lebih segar. Setelah itu ia mengambil roti bakar yang sudah Raya siapkan untuk nya.
Raya adalah sosok yang sangat perhatian, bahkan perhatiannya melebihi ibunya sendiri. Oleh karena itu ia lebih nyaman bersama Raya daripada dengan ibu, atau keluarga nya sendiri yang selalu menuntut nya.
Kali ini ia tidak menggunakan setelan terlalu formal karena ia hanya meeting dengan kariawannya saja.
Setelah memarkirkan mobil sport nya di depan restoran seafood yang baru saja ia buka tempo hari lalu.
Ternyata para karyawan nya sudah berkumpul dan sudah menunggunya. Ia pun memberikan senyum hangat yang di balas dengan senyum tak kalah hangat pula. Selama ini ia di cap sebagai bos paling baik dan dermawan karena sering memberikan bonus untuk para karyawan yang kerja dengan bagus.
Setelah satu jam lebih ia meeting ia kembali ke kafenya karena tadi Raya sudah berjanji akan menemuinya disana.
Saat diperjalanan kakak laki-lakinya yaitu Devatara menelfonnya.
"Ya?"
"Mama sakit kamu di suruh pulang." Ucapnya dari sebrang.
"Gue sibuk, baru buka cabang." Jawabnya acuh, se-acuh orang tuanya padanya.
"Jadi kamu milih kerjaan daripada mama? Keterlaluan!" Bentak Deva pada adik bungsunya.
"Mereka juga mentingin kerjaan daripada gue, jadi impas kan?!" Daffa langsung mematikan sambungan telfonnya, mengobrol dengan kakaknya membuatnya semakin membenci keluarga nya, terutama kakak nya yang selalu mendapat perhatian lebih.
Sesampainya di kafe, suasananya sudah ramai karena ini akhir pekan. Daffa tersenyum senang, Ia juga berharap usahanya bisa terus berkembang sampai ia pantas meminta Raya pada orangtuanya untuk ia jadikan istri.
***