L I M A

1889 Kata
Sedangkan disisi lain, Daffa yang tengah Raya cari-cari kini tengah berada di suatu ruangan yang hanya diterangi dengan cahaya yang tamaram. Bagi Daffa ini adalah tempat yang pas untuknya menenangkan diri untuk sementara, daripada ia harus mengorbankan Raya sebagai pelampiasan emosi nya. Mengingat memar di kedua pipi Raya membuatnya begitu menyesal telah melakukan hal itu pada wanita yang selama ini selalu sabar menghadapinya. Sebenarnya masalahnya bukan hanya karena ia dihina dan direndahkan oleh Papa nya kemarin malam. Namun, ada malasah yang lebih besar lagi daripada itu. Papanya sudah mulai berani merusak usaha yang ia rintis mati-matian selama ini karena saking inginnya ia kembali kerumah dan mengurus perusahaan. Bukti nyata kelicikan Papanya adalah, salah satu kafe nya sudah hampir gulung tikar, dan restoran yang baru saja ia resmikan mulai ada gangguan dan ia yakin itu semua adalah strategi yang Papanya buat agar ia tidak memiliki apa-apa lagi lalu kembali ke rumah dan bekerja di perusahaan nya. Daffa benar-benar frustasi dengan keadaan ini. Ia selalu dirundung rasa takut dan cemas saat memikikirkan usahanya selama ini akan hancur karena ulah orangtua nya sendiri. Raya tidak tahu menahu tentang masalah besar ini, yang ia tau bisnis Daffa selalu berjalan baik-baik saja dan terus berkembang. Karena Daffa sengaja menyembunyikan ini semua agar Raya tidak ikut kepikiran dengan rentetan masalah hidupnya. Ponsel yang ia letakkan di nakas samping ranjang kecil yang kini ia buat tidur terus bergetar menandakan adanya panggilan masuk. Tanpa melihatnya pun ia sudah tau kalau panggilan itu berasal dari Raya. Karena tak mau membuat kekasihnya cemas, akhirnya ia memilih mengirimkan pesan singkat tentang keadaanya saat ini. Aku baik-baik aja, jangan khawatir dan jangan tunggu aku pulang. Untuk beberapa hari aku nggak pulang Setelah pesan terkirim, ia langsung mematikan ponselnya sampai dirinya siap untuk kembali melihat dunia yang terlalu kejam untuknnya. Daffa memejamkan matanya dan berusaha menghilangkan pikiran-pikiran gila yang terus menerus menyiksannya. Ia mengingat-ingat bagaimana bahagianya kehidupannya dulu saat bersama mendiang kakek dan neneknnya. Dan sampai saat ini tempat yang berhasil membuatnya nyaman adalah rumah almarhum kakek dan neneknya yang sudah beberapa bulan ini kosong karena sudah tidak ada yang mengontrak lagi. Tidak ada yang mengetahui tempat ini selain keluarganya, bahkan Raya yang sudah bertahun-tahun menjadi kekasihnya tidak tahu tentang rumah masa kecilnya. Rumah ini termasuk rumah bangunan tua yang begitu klasik karena kakek nya selalu melarang saat orangtua nya ingin merenovasi dan merubah desain rumah tua ini. Kakeknya, orang paling sederhana dan dermawan, tidak seperti Papa nya yang sombong dan sering angkuh karena merasa dia paling tinggi dan bisa berkuasa. Kalau boleh memilih, ia ingin di didik oleh kakeknya daripada papanya yang hanya mengandalkan uang tanpa nilai-nilai kehidupan didalamnya. Tapi sayang nya kakeknya sudah pergi terlebih dahulu meninggalkan dunia beserta seluruh keluarganya termasuk dirinya. Dan kini, yang tersisa hanya rumah sederhana ini yang diwariskan untuk nya. Suatu saat ia ingin membangun rumah tangganya dengan Raya disini, meskipun hanya rumah sederhana ia akan menciptakan beribu kebahagiaan dan kesejahteraan untuk keluarga kecilnya kelak. Seperti halnya rumah tangga almarhum kakek dan neneknya dahulu. Meski ia tau langkahnya dan juga Raya akan berat untuk menuju pelaminan, ia akan terus berjuang dan berusaha untuk membawa Raya sampai ke pelaminan. Sungguh hanya Raya wanita yang ia cinta di Dunia ini. Lelah terus berfikir, akhirnya ia bisa tertidur dengan sangat pulas. *** Dua hari berlalu begitu cepat, kegiatan yang Daffa lakukan dua hari ini hanya keluar membeli makan di warung depan rumah setelah itu kembali mengunci diri di dalam rumah dengan ditemani rokok yang selalu ada di tangannya. Sejak saat itu Daffa mematikan ponselnya, ia juga tidak tahu dengan keadaan Raya saat ini. Karena merasa bosan ia mencoba mengaktifkan kembali ponselnya. Dan saat itu juga banyak pesan serta panggilan masuk dari kepala cabang restoran, kakak iparnya, teman-temannya, serta dari Raya yang menyumbang angka paling banyak. Namun, ada satu pesan baru masuk dan itu langsung menarik perhatiannya. Pesan itu berasal dari Karin yang menceramahi nya panjang lebar tentang keadaan Raya. Dan ada satu lagi pesan gambar masuk. Hati Daffa bergemuruh saat melihat foto Raya tengah terbaring lemah diatas tempat tidur dengan keadaan kacau, bahkan Raya masih mengenakan baju saat terakhir ia meninggalkan nya. Lagi-lagi Raya sakit, dan itu membuatnya sangat khawatir. Dengan gesit ia menyambar kunci mobilnya dan segera menuju apartemen nya, ia takut terjadi sesuatu dengan Raya karena terlalu mengkhawatirkan nya. Sesampainya di apartemen, Karin yang kini tengah menunggu Raya yang masih terlelap menghadiahi Daffa dengan tatapan sangat tajam. "Gimana keadaan Raya, Rin?" tanya Daffa sangat panik. "Emang lo masih peduli sama dia?" Daffa mengusap wajahnya gusar dan langsung mendekati Raya. Dengan lembut ia mengusap kening Raya yang terasa sangat panas, wajahnya juga terlihat sangat pucat. "Udah dibawa ke dokter?" Karin hanya menggeleng dan berjalan menjauhi ranjang mengemasi beberapa barangnya. "Dia cuma butuh lo! Gue pergi dulu!" Pamitnya setelah itu langsung berjalan keluar kamar. Daffa tak memperdulikan Karin dan tetap fokus pada Raya yang tetap memejamkan matanya. "Sayang bangun ... " Daffa menepuk lembut pipi Raya yang hangat, namun tak ada respon dari Raya. Sampai dengan terpaksa Daffa harus mencium dan melumat lembut bibir ranum Raya yang menggoda. Karena hanya cara itu Raya bisa membuka matanya. "Enghh ... " Lenguhan itu terdengar pelan dari bibir Raya. Dan perlahan mata indah itu terbuka sempurna. Daffa menjauhkan bibinya serta tubuhnya dan tersenyum ke arah kekasihnya. "Daffa?" ucap Raya dengan nada terkejut. Ia mencoba untuk bangkit dan duduk, namun Daffa kembali merebahkan tubuh Raya yang tampak lemas. "Maafin aku ya, kamu kayak gini pasti gara-gara aku." Daffa mengusap lembut kepala Raya sambil sesekali mengecup keningnya. "Lain kali jangan gitu lagi ya, aku takut," ucap Raya dengan mata berkaca-kaca. Daffa tersenyum dan menggeleng. "Asam lambung kamu kumat lagi ya?" tanya nya. "Mungkin iya." "Kita ke dokter yuk." Raya menggeleng dan malah menarik kaos yang Daffa kenakan sehingga jarak kedua semakin dekat. "Dokternya kan sudah ada disini, jadi aku nggak butuh dokter lain." Raya mulai melumat lembut bibir Daffa. Daffa tersenyum di sela ciumannya, dan melanjutakan kembali permainan yang sudah Raya ciptakan. *** Malam harinya Daffa terlihat merenung di atas ranjang. Perlahan Papa nya mulai menyerang habis-habisan semua bisnis yang ia rintis. Baru saja kepala cabang restoran nya memberinya kabar bahwa penjualan merosot jauh sehingga Daffa harus menanggung kerugian yang cukup besar. Tidak hanya itu, di salah satu kafenya ada pembeli yang berbohong bahwa ia mendapat makanan yang penuh rambut dan ada juga yang berkata bahwa makanan yang disajikan kafe-nya memakai bahan kadaluarsa. Ia tak tahu lagi kalau kejadiannya sudah sampai seperti ini. Padahal uang yang berada di rekening nya hanya cukup untuk membayar gaji semua karyawan dan untuk membayar beberapa cicilan yang harus ia tanggung. Ia harus kembali memutar otak agar bisnisnya bisa kembali lancar, dan ia tidak terlilit hutang semakin banyak. Kini hanya tersisa 2 kafe miliknya yang masih lancar. Tiga restoran yang memiliki omset paling besar sudah dihabisi Papa nya entah bagaimana caranya sampai dirinya bisa sampai lengah. "Sayang ... " panggil Raya lembut. Daffa menoleh pada Raya yang kini sudah berdiri disampingnya dengan secangkir kopi "Yaa?" "Nih katanya minta dibuatin kopi." Raya memberikan secangkir kopi hitam pada Daffa. Daffa menerimanya dan menyesap pelan kopi buatan kekasihnya itu. Rasa panas dan pahit bercampur didalam mulutnya, menimbulkan sensasi yang sangat ia suka. "Aku mau pulang, Papi sudah ada dirumah." Izin Raya. Daffa memandang Raya sendu, ia sangat membutuhkan Raya saat ini untuk bersandar walau sejenak Daffa akan lebih tenang kalau bersama kekasihnya. "Aku masih butuh kamu," ucapnya dengan nada lemas. Raya ikut naik keatas ranjang dan merengkuh tubuh Daffa dari samping. Semenjak pulang tadi siang, Daffa terlihat lemas dan banyak melamun. "Masalah kamu apa lagi sih Daf bilang sama aku." "Papa ku nggak pernah main-main, Ray. Dia ingin aku kembali ke rumah, dan semua bisnis aku dihancurkan." Raya tertegun mendengar pernyataan dari Daffa. Pantas saja dia terlihat sangat kacau beberapa hari ini. "Sekarang hutang aku juga semakin menggunung. Aku bingung kenapa aku dilahirkan dari keluarga yang kejam!" Daffa menggeram kuat dan menahan semua amarahnya. "Orang tua itu benar-benar ingin lihat aku hancur!" Nada suara Daffa semakin tercekat karena amarahnya. "Daffa udah!" Raya menangkup kedua pipi Daffa dan mengarahkan pada wajahnya. "Jangan khawatir aku bakal bantu kamu keluar dari masalah ini, aku juga akan terus di samping kamu bagaimana pun keadaannya. Aku yakin kamu pasti bisa." Ungkapnya tak main-main. Daffa terharu dengan ungkapan Raya, bahkan saat dirinya sudah jatuh Raya tetap mau menemaninya berjuang. "Terimakasih sayang." Daffa mengecup berkali-kali pipi dan kening Raya. "Ini sudah kewajiban aku buat selalu dukung kamu, meskipun kita belum ada ikatan apa-apa tapi rasanya aku sudah seperti istri yang selalu mendukung suaminya." Ucapan Raya begitu menyayat hati Daffa, sudah beberapa kali Raya selalu menyinggung masalah pernikahan namun ia masih belum juga mampu menciptakan pernikahan itu. Papi Raya tetap tidak menyukainya dan selalu menganggap-nya pria bau kencur, padahal mati-matian Daffa ingin bangkit dan berdiri sendiri dan membuktikan pada semua bahwa dirinya bisa. Ia tau perasaan Raya seperti apa. Tinggal berdua bertahun-tahun namun tak ada ikatan sah untuk keduanya bukan persoalan yang mudah. Sebagai wanita Raya juga ingin diresmikan dalam ikatan pernikahan. "Kamu yang sabar ya, sebentar lagi aku bakal bawa kamu ke pelaminan bagaimanapun caranya. Bahkan nikah lari sekalipun!" ucap Daffa sembari berjanji dalam hati. Ia tak peduli bagaimana caranya asalkan ia bisa menikah dengan Raya. "Aku belum bisa berharap banyak Daf, aku percaya kamu bakal nikahin aku. Tapi Papi aku? Dia bakal halalin segala cara buat pisahin kita." "Kita terus berdoa dan berusaha semoga akan ada jalan buat kita terus bersama selamanya. Aku cinta sama kamu." Pelukan keduanya semakin erat untuk menyalurkan energi satu sama lain. "Aku pulang dulu ya," ucap Raya agar Daffa bisa melepas pelukannya. Daffa melepas pelukannya dan menatap mata Raya dalam. "Tunggu aku ya, aku pasti akan sukses dan pantas menjadi pendamping kamu." Raya tersenyum dan mengangguk. Ia yakin Daffa bisa membuktikan semua ucapannya. "Aku pulang dulu, ya." Daffa mengangguk dan mengecup kening Raya sebelum ia pergi. Setelah kepergian Raya, Daffa menelfon beberapa sahabatnya dan mengajak mereka berkumpul. Ia benar-benar stres kalau terus berada di dalam apartemen dengan pikiran se-kacau ini. Setelah fix akan bertemu dimana, Daffa langsung berangkat. Semenjak ia banyak terkena masalah, ia juga sangat jarang bertemu dengan teman-temannya. Kini, mobilnya sudah berhenti di salah satu bar yang menjadi langganan mereka. "Woi!" Daffa menoleh ke arah Raffa yang sudah melambaikan tangan ke arahnya. Daffa menyalami ketiga temannya yang sudah datang dan duduk di samping Arga. "Bos kita, gimana bro usahanya? ajarin kita dong, biar jadi jutawan muda juga," ucap Arga. Daffa tersenyum miris. "Usaha gue lagi ada guncangan. Berattt bener hidup ini." "Sini-sini gue banyu nyangga, melas banget kayaknya." Sahut Raffa sambil tertawa. Daffa hanya tersenyum menanggapi guyonan Raffa yang terasa garing baginya. "Raya mana, tumben nggak nempel sama lo?" "Biasa bokapnya balik." Beberapa saat suasana menjadi hening, tak ada yang membuka suara. Brakk! Seluruh pasang mata langsung terfokus pada Arga yang tiba-tiba menggebrak meja. "Diem-diem baeee!" "Apasih b*****t!" Sahut Raffa. "Ini wine kita beli mahal-mahal nggak baik di anggurin." Daffa menuang wine itu ke gelas-nya serta teman-temannya. Malam ini Daffa sangat menikmati kebersamaannya dengan teman-temannya dan mabuk-mabukan bersama, melupakan sejenak masalah-masalah yang terus menghimpinya. *** menghimpirenamarang jangan lupa follow ig
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN