Jika Demon terduga memiliki gangguan jiwa sehingga mampu melakukan pembunuhan brutal, tentu hal lain sedang menimpa ayah tiri Noi. Pria yang merupakan angkatan bersenjata tersebut ternyata memang sedang menerapkan orientasi seksual keliru, menganggap anak di bawah umur sebagai sesuatu yang sangat menarik. Menyukai putri dari istri yang baru dinikahi.
Pedofilia adalah kelainan mental, tepatnya kelainan seksual. Berupa nafsu atau ketertarikan seksual terhadap remaja atau anak-anak di bawah usia 14 tahun, Radi Joansyah memang p*****l. Hal tersebut merupakan penyakit, tetapi tetap saja dosa jika terus menerus dilakukan. Seolah enggan disembuhkan, menganggap satu kelainan sebagai hal paling tak bisa diatasi.
Pedofilia biasanya terdeteksi oleh diri sendiri setelah masa puber, saat orientasi seksual seseorang terfokus pada anak-anak, bukan orang dewasa. Saat semua terjadi, mereka akan menyalurkan hasrat bagaimana pun caranya. Cukup menjijikkan!
Para pengidap sebenarnya menganggap gairah mereka salah dan ilegal untuk dipenuhi. Maka dari itu, sebagian selalu mengontrol diri dan mencari cara aman untuk memuaskan hasrat. Beberapa kasus dari kekerasan pada anak-anak sering melibatkan penyakit kejiwaan yang lain seperti skizofrenia dan distorsi-distorsi kognitif.
Di sisi lain, beberapa kasus kriminal pada anak sebenarnya bukan merupakan p*******a. Pengidap dapat mengidap penyakit kejiwaan lain seperti kecemasan, depresi parah, gangguan suasana hati, dan penggunaan stimulan yang berlebihan. Hanya saja, sering dikaitkan dengan istilah tersebut.
Penyebab p*******a masih belum dapat diketahui dengan jelas, karena penyakit psikologis ini belum banyak dipelajari lebih lanjut. Kesulitan untuk menentukan penyebab yang pasti juga didasari oleh perbedaan karakteristik dan latar belakang pada setiap orang. Sebab, tidak semua pengidap memiliki ciri-ciri gejala serupa.
Diduga penyebab utama dari kondisi ini datang dari psikologi sosial, bukan biologis. Faktor yang memengaruhi kepribadian pengidap adalah latar belakang keluarga yang tidak normal. Dilecehkan pada usia dini juga dapat menjadi penyebabnya.
Masalah pada otak adalah penyebab yang paling diterima di antara faktor-faktor tersebut. Pada orang normal, melihat anak-anak membuat otak mereka secara spontan menghasilkan gelombang saraf untuk meningkatkan insting-insting melindungi dan menyayangi; pada p*****l, gelombang saraf tersebut terganggu dan berakibat meningkatnya gairah seksual.
Lalu, apa Oktavano dan Radi merupakan predator bernama p*****l? Mereka menyerang bocah yang sama di waktu bergiliran. Jika bukan, apa hanya sebatas khilaf? Satu kesalahan yang menimbulkan bencana di masa depan.
Adrian menutup wajah dengan kedua tangan, mengusap kasar setelah membaca berkas yang diberikan Anggriawan. Laporan tertulis mengenai keterangan para saksi yang berhasil dikumpulkan. Berbagai penjelasan terkait keluarga Okta dan Radi.
“Sepertinya ibu mertuamu tahu tentang kelakuan suaminya, menyetubuhi Daisy setelah gadis kecil itu melaporkan perbuatan tetangga polisi pada sang ayah. Bermaksud menunjukkan organ vital sebagai bukti, tetapi pria biadab itu malah terangsang.” Bell menjelaskan, cukup menorehkan luka di hati Adrian.
Gadis tujuh tahun yang sedang mencari perlindungan pada orang terpercaya justru diperlakukan tidak senonoh, lepas kandang singa masuk mulut buaya. Begitulah yang terjadi, tidak bisa dibiarkan. Ia harus mengungkap kebenaran itu pada publik. Namun, kasus dari 18 tahun lalu tidak ada di kantor polisi mana pun.
“Sialan!” Adrian membuang seluruh benda di atas meja, membuat Bell kaget. Wanita itu mengerutkan kening, menunggu penjelasan sang pria. “Pasti berat, kalian tentu menjalani waktu penuh derita selama ini. Maaf, hadir terlambat.”
“Aku gak menderita, bukan Bell yang dilecehkan. Daisylah korbannya.”
Adrian hanya memandang iba, memperhatikan ekspresi penolakan yang sedikit lucu. Bagaimana bisa satu orang merasa tidak mengalami peristiwa sama? Tentu sangat berat.
Pria itu mendekat, jongkok di hadapan Bell yang masih membuang wajah. Meraih kedua tangan sang wanita, mau tidak mau ia menoleh perlahan. Disambut tatap lembut sang polisi, ciuman mesra di kedua punggung tangan.
“Siapa pun kamu, aku tetap cinta. Kalian satu, seburuk apa pun masa lalu, wanita di depanku ini adalah satu-satunya yang ada di hati. Jadi, berhentilah menyiksa diri ....”
Wajah Bell membeku, tak mampu memberikan tanggapan pada ketulusan yang tersaji di depan mata. Tiada kepalsuan, hanya sorot manis disertai keseriusan. Degup jantung lebih cepat, merasa dunia sekitar sedang bersorak. Momen menyenangkan membuat suasana hati membaik, tanpa sadar segaris senyum tercipta.
Adrian bernapas lega, pertama kali menyaksikan senyuman Noi hadir dalam diri Bell. Benar, dia harus mendamaikan empat identitas dalam diri wanitanya. Memulai dari awal, pengobatan secara benar dan berkala.
Adrian akan memulainya, melakukan beberapa terapi demi kebaikan sang wanita tercinta. Jika selama ini hanya ditenangkan dengan obat-obatan, pria tersebut akan membawa sang istri pada ahlinya. Daisy harus sembuh, kembali menjadi sosok Noi yang tak memiliki beban.
“Apa begini caramu memanggil Noi?” Senyumnya berganti seringai, Bell mendorong Adrian yang segera berdiri. Pria itu mencoba menjelaskan situasi, bukan demikian. Tidak seperti perkiraan.
“Bell, aku mau kalian berdamai. Menghentikan penyiksaan diri, bukan salahmu. Tidak juga Daisy berperan sebagai karakter bodoh yang jahat, bukan tentang Nirmala dan kembaran Gara. Semua demi kebaikan tubuh ini, tak peduli bernama siapa ... keadilan harus ditegakkan!”
“Lalu, dunia akan tahu jika Daisy dijadikan b***k s*x oleh dua aparat negara?” serang Bell enggan setuju, turut berdiri dengan wajah beringas. Dia mulai emosi.
“Kebenaran akan menang, para Iblis harus dikirim ke Neraka. Tolong, bantu kami.”
“Kalian hanya berpikir tentang kebenaran, keadilan, dan hukum. Bagaimana dengan perasaan korban? Apa kamu pikir, Daisy akan senang ketika aibnya dikuliti semua orang?”
Adrian terdiam, menunduk. Tidak tahu harus berbuat apa. Bell benar, terkadang korban bungkam bukan karena tak berdaya. Ada banyak pertimbangan yang dipikirkan, rasa malu sebagai seorang wanita. Kehormatan utama bukanlah konsumen publik.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan untuk kalian?”
“Bunuh dua predator itu!”
Adrian tercekat, Bell tak main-main dengan ucapannya. Wanita itu tersenyum miring, melaserkan tatap mengerikan. Bukan lagi pandangan jinak seperti biasa.
Mereka berbeda, tetapi memiliki dendam serupa. Benar, tujuan mekanisme pertahanan dibentuk hanya untuk menghindari ingatan buruk. Namun, keinginan dalam hati tetap sama, membalas perbuatan pelaku kejahatan.
Ardian masih geming, mengamati wajah Bell yang semakin menunjukkan ekspresi misterius. Apa yang sedang ia pikirkan? Semoga tak ada rencana jahat dalam benak wanita tersebut.
“Bell,” panggilnya perlahan, memaksa wanita itu beralih menghadiahkan tatap lurus.
“Apa lagi?”
“Aku ingin bertemu Daisy.”
Kedua bola mata membulat sempurna, tak menyangka jika keinginan Adrian adalah menemui pemilik asli tubuh. Identitas yang sangat sulit menampakkan diri, apa yang sedang direncanakan polisi tersebut? Bell mulai bertanya-tanya.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Apa pun demi kebaikan kalian, membunuh ... jika memang perlu!” tandas Adrian serius, tersenyum tegas pada Bell. Wanita itu hanya bengong, tak mengira jika ada sisi jahat dalam diri sang polisi.
Tidak segera menjawab, menimbang dengan penuh dilema. Daisy bukan kepribadian yang akan muncul hanya dengan dipanggil, butuh cara khusus. Apa Adrian akan mampu melakukannya?
“Kamu yakin akan menemui Daisy?” Bell mencoba memastikan, Adrian pun mengangguk mantap. “Jika begitu ... mintalah bantuan Jev Indra. Hanya laki-laki itu yang mampu memanggil Daisy keluar dari persembunyiannya.”
Giliran Adrian yang membulatkan mata, tak menyangka jika jawaban dari pertanyaannya justru harus menghadirkan nama paling tak ingin ditemui. Pria ganjen dengan pesona tenang yang mematikan. Kenapa harus muncul nama Jev Indra?
***