Rich Women 8

1309 Kata
Nara tertawa melihat beberapa anak kecil bermain bersama dengan keluarganya. Gemas sekali melihat mereka berkumpul, berjalan, lalu berbicara dengan bahasa mereka. Orang Tuanya pun tertawa saat melihat salah satu anaknya mengusik anak lainnya sampai menangis. Lucu sekali mereka pikir Nara. Naka yang melihat makanan Nara tidak di sentuh sama sekali menatapnya. Apalagi sekarang? Saat Naka akan membuka mulut, dia menatap Nara yang tertawa dengan mata tertuju pada sekelompok keluarga. 3 meja dari tempatnya ada anggota keluarga yang sedang berkumpul dengan anak-anak kecil meramaikan meja mereka. "Makan Kinara." ujar Naka yang sontak membuat Nara menoleh. "Apa?" "Makan." Nara menatap beberapa hidangan yang ada di atas meja. Loh, sudah sampai? Nara pikir pesanan yang di inginkan nya belum sampai. "Eh ku pikir pesanan nya belum sampai." "Lo terlalu fokus sama hal yang nggak penting." "Nggak penting?" "Liatin mereka sampai mata mau copot." "Kamu bilang nggak penting?" "Yah iya, terus apalagi?" "Itu penting Naka. Kamu emang nggak liat mereka hidup bahagia, ada Ibu, Ayah dan Anak." Naka menyimpan sendok nya, "Terus?" "Kamu nggak ngerasa iri atau apa gitu?" "Nggak." Nara menatap Naka tidak percaya. Nara saja melihat interaksi keluarga itu rasanya iri sekali karena tidak mendapatkan momen bersama dengan Keluarganya. Nara bahkan tidak ingat memori masa kecilnya. Nara hanya bisa melihat foto saat dimana Ibunya memangkunya di usia 4 tahun. Selebihnya tidak ada album foto atau lainnya. "Kenapa?" "Buat apa gua ngerasa iri kalau nanti kita bisa lakuin semuanya." Nara terkejut. Setelah mengatakan itu Naka kembali pada makanannya. Tunggu, barusan Naka bilang apa? Nara tidak salah dengarkan? Sungguh? Pipi Nara tiba-tiba terasa panas. Membayangkan mereka akan hidup bahagia dengan keluarga kecil merasa rasanya membuat hatinya berbunga. Nara menopang dagunya, membayangkan jika mereka memiliki 4 orang anak dengan tingkah yang menggemaskan. Pagi-pagi Nara akan membuat sarapan untuk Naka setelah itu membangunkan Anak-anak dan Suaminya. Mereka akan berkumpul di pagi hari dengan keributan anak-anak nya menanyakan barang mereka. Nara tersenyum yang tentu senyumnya itu di lihat oleh Naka. "Ck! Nggak usah ngebayangin yang belum tentu indah." "Apa sih kamu?!" "Ekspetasi itu kadang nggak sesuai sama realita." "Yah makanya kamu harus wujudkan." "Tentang?" "Masa depan kita lah." "Ini kita mau nikah, terus apalagi?" "Anak dong." Naka terdiam. Anak? Bahkan Naka sama sekali tidak terpikirkan akan memiliki anak. Anak tanggungjawab nya besar. Memiliki anak di usia muda bahkan tidak ada dalam bayangan nya. Jangankan memiliki anak, menikah di usia sekarang saja Naka rasa itu sudah salah besar. "Nggak usah ngomongin itu." ujar Naka yang membuat Nara mengerutkan kening. "Ih bete banget kamu. Aku suka anak kecil Naka, paling nggak aku mau anak 4." Uhuk Naka tersedak mendengar ucapan Nara. 4 anak katanya? Gila. Bagaimana bisa Nara menginginkan anak sebanyak itu? 1 saja belum tentu bisa mendidiknya, ini Nara minta 4. Gadis gila. "Eh, eh, minum, minum, minum." Nara menyodorkan gelas pada Naka. Naka menerimanya lalu menegak nya pelan. Gadis ini ada-ada saja pikirannya. Naka menikah dengannya saja harusnya sudah bersyukur. Kenapa malah minta ada anak di pernikahan mereka? Harus Naka bicarakan tentang masalah ini. "Bisa nggak kalau kita Childrenfree?" Bodoh! Harusnya bukan itu yang keluar dari mulut Naka. "Hah?" Nara menganga mendengar ucapan Naka. Childrenfree? Maksudnya mereka nggak mau punya anak gitu? Ih mana bisa! Nara menikah dengan Naka yah dia menginginkan keturunan. Nara menikah dengan Naka yang ingin hidup bahagia seperti pasangan lainnya. Nara mencintai Naka yang tentu saja mereka harus hidup sampai tua bersama. "Maksud gua yah kita nggak usah punya anak dulu lah, nikah aja belum kan." Nara mendelik, "Ucapan pertama itu kejujuran dari hati, males ah." "Kita masih muda Nara. Perjalanan kita masih panjang, kuliah kita aja masih belum selesai dan Lo udah mikirin mau punya anak 4. Anak 1 aja belum tentu ke urus bego." "Aku sanggup kok ngurus anak. Kalau bisa kita punya anak ngalahin gen halilintar." Sinting. Gadis ini memang benar-benar gila. Mengenalnya sejak SMP tentu saja Naka tahu bagaimana sifat dan sikapnya. Nara bukan gadis yang main-main akan ucapannya. Nara akan dengan senang hati melakukan apa yang menurutnya sudah di susun dengan matang dalam pikirannya. Contohnya sekarang, Nara ingin menikah dengannya dan itu harus di wujudkan. Butuh bertahun tapi sekarang Nara bisa mendapatkan nya. Dan bodohnya Naka mengiyakan karena memang ada niat juga dia memanfaatkan Nara. "Udah gila Lo." "Kamu harus kabulin, yah minimal 4 anak." "Nggak usah mikirin anak dulu bisa nggak sih?" "Nggak bisa! Ih ngeseliin banget, tau ah bete, kesel, sebel, nggak suka." Nara bangkit berdiri, menggeser kursinya kasar sampai menjadi pusat perhatian. Nara meraih tas nya lalu pergi meninggalkan Naka yang menghela napas. Naka menatap ke samping, dia meringis melihat anak-anak itu mulai menangis. Sejujurnya Naka membenci adanya anak dalam kehidupannya. *** Nara duduk merenung. Hana yang melihat kelakuan Sahabatnya mengerutkan kening, kenapa lagi dengan Nara? Hana ingin bertanya namun dia masih bekerja. Tidak mungkin dia meninggalkan meja kasir di saat ada banyak pelanggan. Dan entah kenapa hari ini yang datang ke Kafe dua kali lipat banyaknya. Biasanya Hana bekerja santai, pengunjung yang datang juga hanya beberapa dan dia bisa santai. Nara menatap ponselnya. Yang dilakukannya hanya menscroll aplikasi sosial medianya. Tidak ada hal yang menarik. Keluar dari aplikasi lalu menyimpan ponselnya kasar. Nara menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya. Dia masih terngiang-ngiang dengan percakapannya dengan Naka. Matanya menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Hah, hanya itu yang Nara lakukan. Nara merasa kesal, sebal dan marah. Bagaimana bisa Naka mengatakan Childrenfree padahal Nara menyukai anak kecil? Apa salahnya memiliki anak di hubungan pernikahan mereka? Apa memang sesulit itu untuk mengasuh seorang anak? Yah Nara juga tahu dia tidak berpengalaman tapi kan memang yang namanya Keluarga harus saling dukung. Nara hanya punya Bi Ira, Hana dan Adi, mereka bertiga sudah dia anggap keluarga jadi yah pasti dia mendapat dukungan juga. Dentingan ponsel miliknya membuat Nara mengintip. Tangannya dengan malas menarik benda kotak itu. Notifikasi menampilkan pesan dari Naka. Nara mencibir. "Bodo amat yah Naka. Mau pergi ke neraka sekali pun juga nggak peduli. Terus aja ngilang kaya siluman. Di tanya mau kemana juga balesnya rahasia." Nara membalik ponselnya. Kafe yang tentu saja tenang dan damai ini begitu sunyi hingga suara bantingan di meja Nara membuat semua pengunjung menatapnya. Hana meringis, kan Nara kalau sudah marah-marah seperti itu pasti tidak baik-baik saja. Ini juga kenapa pengunjung makin kesini, malah makin ramai. Aduh kalau begini Hana mana bisa membujuk Nara. "Temen kamu Han?" Hana menoleh lalu meringis. "Iya Mas." "Udah biasa yah begitu?" "Maksudnya gimana?" "Setiap dateng pasti aja marah-marah atau kalau nggak marah-marah yah teriak nggak jelas." "Mas ngatain temen saya gila gitu?" "Eh, nggak, maksud saya bukan begitu." Dipta menggoyangkan tangannya. "Terus apa?" Dipta menggaruk rambutnya, "Temen kamu itu unik. Dateng, duduk di pojokan, terus bibirnya manyun, nggak lama langsung ngomel, terus nggak lama lagi dia senyum-senyum kalau liat ponsel. Moodnya gampang berubah yah." Hana menatap Dipta dengan pandangan datar. "Tolong yah Mas ekspresi nya kondisikan. Saya bener-bener ngeri liat Mas merhatiin sahabat saya segitunya." Dipta mengerjapkan mata, "Hana tolong jangan salah paham." Hana bukan cemburu. Dia hanya merasa memang Dipta akhir-akhir ini slalu mengajaknya berbincang. Dipta juga entah kenapa slalu ada di Kafe terus, biasanya 1 bulan itu hanya 4 kali pertemuan. Ini Hana bahkan bisa melihat Dipta setiap hari. Dipta itu Bos yang royal, sayangnya di mata Hana pria itu menyebalkan. Hana kesal pada Dipta pun memiliki alasan jelas. Dimana saat itu Dipta tidak sengaja memegang barang pribadinya dan sampai sekarang Hana slalu merasa was-was takut jika pria itu diam-diam memiliki otak s**********n. Dipta benar-benar merasa tidak ada maksud apapun. Sungguh, sama sekali dia tidak ada niatan jahat pada siapapun. Mungkin gara-gara kesan pertama mereka yang tidak baik, Hana slalu menatapnya dengan pandangan penuh curiga. Saat itu Dipta tidak sengaja karena isi tas Hana berhamburan. Dipta hanya ingin menolong yang malah berakhir mendapat tamparan dari Hana. Sekarang pun walaupun Hana bekerja di Kafe miliknya tetap saja gadis itu tidak terlalu menggubris nya. Dipta juga bingung bagaimana menyakinkan Hana jika dia tidak bermaksud jahat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN