Rich Women 12

1669 Kata
"Aku gendutan yah kayanya?" Pertanyaan itu membuat Naka mendongak. Dia meneliti dari atas kebawah lalu mengangguk. "Naka ih?!" "Nggak." "Tapi ini agak sesak Gaun nya." Nara harus menahan napas saat memakai Gaunnya. Perasaan baru Minggu kemarin dia mencoba Gaunnya tapi masa dalam seminggu tubuhnya gendutan. Perasaan Nara kalau makan juga malemnya sering meminum suplemen. Kenapa sekarang Gaunnya terasa begitu kekecilan? "Kak gimana dong?" Nara merengek pada Delisa. Delisa melirik Naka. Rasa ingin mencekik pria itu sudah di atas kepala. Delisa berusaha mempercantik gaun itu tapi dengan seenaknya Naka memintanya merubah. Lalu sekarang Delisa harus mengatakan apa pada Nara? Mana dari tadi raut muka Nara sudah siap menangis. "Ganti lagi aja Gaunnya." "Tapi ini udah cocok loh sama aku." Kan, Delisa sudah tidak bisa mengatakan apapun. Nara sudah meneteskan air mata. Bahkan sekarang sudah duduk di lantai. Delisa menghela napas, jika bukan karena uang rasanya dia ingin menendang Naka keluar dari butik nya. Sayangnya penawaran Naka membuka peluang untuknya berkarya di luar negri sana. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Delisa harus bersabar demi kelancaran bisnis nya. Semenjak Naka memperkenalkan butiknya pada teman-temannya, orang-orang sekarang banyak berkunjung ke butiknya. Pesanan membludak sampai Delisa harus merekrut beberapa karyawan. "Cari yang lain aja." ujar Naka. "Naka kamu nggak ngerti banget sih. Aku udah jatuh cinta sama ini Gaun." "Makanya jangan gendut." Nara mengigit bibir bawahnya. Dia juga tidak mau gendut. Nara juga sering menimbangnya jika sudah makan banyak tapi tetap saja hasilnya masih mentok di angka idealnya. Beberapa pengunjung bahkan memperhatikan mereka. Karena melihat Nara yang duduk di lantai. "Kita undur aja pernikahannya." ucapan Nara tentu saja membuat Naka tersenyum kecil. "Ya udah." Nara meminta tolong pada Delisa untuk membantunya berdiri. Delisa tidak tega melihat raut kecewa Nara. Naka benar-benar menyebalkan. Padahal jika mengatakan langsung pada Nara untuk mengundurkan pesta pernikahan mereka, pasti Nara juga mengerti. Naka slalu saja mengambil keputusan sendiri tanpa meminta runding terlebih dulu. Inilah alasan kenapa Delisa ingin mencekik pria itu. "Aku tetep pake Gaun ini yah Kak tapi tunggu dulu aku turunin berat badan." Mata Delisa membulat. Gila saja. Mau menurunkan berat badan berapa kilo lagi Nara? Tubuh Nara itu bisa di katakan sudah bagus. Tinggi Nara juga sebanding dengan para model di luaran sana. Mau sekurus apa lagi gadis ini? Delisa menatap Naka untuk berbicara tapi pria itu tidak mengatakan apapun selain kembali lagi membaca majalah di tangannya. Delisa bisa apa? Dia hanya mengikuti langkah Nara lalu menendang kaki Naka saat berjalan di depan pria itu. Amit-amit, Delisa berharap dia tidak mendapatkan pria semacam Naka. Mereka sampai di ruang ganti. Nara melepaskan Gaunnya lalu kembali memakai pakaiannya. Tidak ada obrolan di dalamnya selain beberapa pegawai yang hilir mudik merapihkan gaun-gaun yang sempat Nara pakai. "Nara." "Ya Kak?" Katakan atau tidak yah? Delisa menatap wajah Nara, gadis ini mungkin terlihat angkuh dan sombong namun matanya tidak bisa berbohong ada rasa kecewa disana. "Nggak perlu diet yah, nanti aku usahain buat rubah lagi Gaun nya." "Eh, nggak usah Kak, nggak apa-apa kok. Lagian akhir-akhir ini juga aku banyak makan jadi emang perlu diet." Delisa mendekat lalu menggenggam tangan Nara. Nara yang mendapat genggam itu terdiam mematung. Genggaman ini, kenapa hangat sekali rasanya? Nara menatap tepat di mata Delisa. "Jangan diet yah, biar urusan Gaun aku yang urus. Kamu makan aja sesuka hati kamu tanpa mikirin ukuran Gaunnya." "Tapi Kak ...." Kepala Delisa menggeleng, "Nggak, pokonya sampai kamu diet aku beneran marah dan bakal aku robek Gaun nya." Mata Nara membulat lalu menggelengkan kepala heboh, "Iya, iya, iya, nggak akan diet aku. Tapi tolong jangan di robek Gaun nya, aku seneng banget sama itu Kak." Nara semenjak pertama kali memakainya dia sudah jatuh cinta. Dia berharap di pesta pernikahan nya ini memakai Gaun itu. Tapi ternyata kenapa malah jadi begini? Pernikahan mereka bahkan hanya tinggal menghitung hari, tahunya Gaun miliknya bermasalah. *** "Lo harusnya bilang sama Nara, Naka kalau emang pengen dimundurkan jadwal nikahannya. Gua rasa Nara nggak akan marah atau pun kecewa. Lo tahu Nara bahkan mau diet padahal berat badan dia udah ukuran normal." Naka yang mendengar omelan Delisa memutar bola matanya. Cerewet. Itu satu kata untuk Delisa. Lagian siapa juga yang mau memundurkan Pernikahan mereka jika Naka tidak memiliki urusan lain. Naka memundurkan acara pernikahan mereka memang ada alasan tersendiri dan untuk alasan itu cukup dia yang tahu. "Bisa diem nggak sih Lo?" "Nggak bisa! Lo nggak kasihan sama Nara? Dia keliatan bahagia banget mau nikah sama Lo tapi kenapa reaksi Lo begini banget sih?" "Karena emang di awal gua cuman manfaatin dia." Mata Delisa membulat. Dia melempar buku yang ada di depannya, "Gila yah Lo. Gimana bisa Lo ngomong seenaknya gitu tanpa mikirin perasaan Nara?" "Emang dia mikirin perasaan gua?" Delisa bangkit dari duduknya lalu duduk di samping Naka. Mereka sudah kenal lumayan lama jadi hubungan mereka bisa di bilang dekat tidak, di sebut tidak mereka dekat. "Naka ini pernikahan loh, Lo nggak bisa seenaknya begitu." "Yah emang ini pernikahan." "Kenapa Lo santai banget sih? Kalian itu nikah bukan buat sehari doang loh. Kalian bakalan hidup berdua bertahun-tahun. Kalau di awal nggak serius gini, nasib kalian berdua gimana nantinya?" Naka tidak menjawab. Dia menikahi Nara memang ada maksud tertentu. Terserah mereka yang mendengar kejujurannya ini mau berkomentar seperti apa tapi yang jelas jangan sampai Nara tahu tentang niatnya menikahi gadis itu. Delisa benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran Naka. Nara, gadis yang baik. Tatapannya terlihat begitu tulus setiap menatap Naka. Kenapa gadis sebaik Nara harus mendapatkan pria semacam Naka? "Pernikahan gua biar jadi urusan gua. Lo cuman bantu buat persiapan, selebihnya cukup diam nggak usah ikut campur." Setelah mengatakan itu Naka pergi meninggalkan Delisa. Alasan kenapa Naka malas untuk membuka diri. Karena mereka akan berlomba untuk menasehati dirinya seakan-akan mereka tahu bagaimana dia. Naka paling tidak suka jika mereka yang so tahu tentang pribadinya. Yang tahu bagaimana dia, dirinya sendiri. Keputusan yang di ambilnya ini sudah dia pikiran matang-matang. Bagaimana nanti ke depannya biarkan berjalan semestinya. "Jangan sia-siakan perempuan yang mencintai Lo dengan tulus Bayanaka. Sampai Lo kehilangan ketulusan itu, Lo bakalan hancur sampai titik terdalam." ucapan Delisa membuat dia menghentikan langkahnya. Naka menyeringai, tanpa berbalik dia berucap. "Kita lihat nanti siapa yang paling hancur." Setelah itu Naka pergi, benar-benar sudah tidak terlihat sama sekali punggungnya. Delisa mengusap wajahnya, kasihan sekali Nara. Ingin sekali Delisa mengatakan kebenaran itu namun siapa dia? Naka itu pria yang paling gila, bisa-bisa jika Delisa membongkar rahasia itu dia yang mendapatkan masalah. Ancaman Naka tidak pernah main-main. Delisa hanya bisa berdoa untuk kebaikan Nara, apapun yang nanti gadis itu dapatkan di pernikahan mereka semoga keduanya menemukan titik bahagia masing-masing. *** "Han, gua gendutan nggak sih?" tanya Nara pada Hana yang sibuk di depan laptopnya. Setelah mereka pulang dari feeting baju, Naka mengantarkannya pulang. Katanya pria itu ada urusan mendadak hingga mau tidak mau Nara mengiyakan. Nara sudah mulai terbiasa sekarang di tinggal begitu saja tanpa ada kabar. Hana menatap tubuh Nara, "Nggak. Gendutan darimana?" "Serius?" "Iya. Bukannya Lo rutin banget yah ngecek timbangan?" "Tapi masalahnya baju pengantin gua kekecilan padahal Minggu kemarin waktu di coba agak longgar tau." Hana terdiam. Tubuh Nara sama sekali tidak berubah. Masa dalam beberapa hari itu Gaun sudah kekecilan. "Timbangan punya Lo rusak kali." "Masa sih?" Nara meninggalkan kaca full body itu lalu bergerak ke arah tempat dimana timbangan miliknya berada. Nara menimbang berat tubuhnya dan angka nya tetap sama. Jika timbangan ini rusak mungkin sekarang timbangan itu akan berputar ke angka lain. Nara turun lalu kembali menaikinya dan tetap masih sama. "Nggak kok Han. Kalau pun rusak pasti angkanya muter." Hana bangkit berdiri, dia mendekat lalu mencobanya. Masih sama dengan angka biasanya. Turun lalu naik lagi dan tetap sama. "Iya bener sih. Tapi masa dalam beberapa hari itu Gaun nggak muat." Nara mendudukkan dirinya di ranjang, wajahnya cemberut. "Nggak tahu ah bete banget, sebel, kesel, nggak suka. Jadi ini siapa yang salah?" Hana mendekat lalu duduk di samping Nara. "Gua boleh nanya nggak Ra?" "Apaan?" "Ini Lo sama Naka seriusan nggak sih nikah?" Pertanyaan Hana sontak membuat Nara membalikan tubuh sepenuhnya pada Hana. "Lupa. Gua mau cerita itu sama Lo." Beruntung Hana mengingatkan nya jadi Nara bisa bercerita sekarang. "Cerita apa?" "Gua juga sebenarnya mikir, kok tiba-tiba Naka setuju nikah sama gua. Padahal udah jelas kan di awal dia tuh nolak gitu. Terus kemarin waktu kita lagi makan, kita bahas kalau udah nikah gua pengen punya 4 anak. Terus Naka bilang apa?" "Apa?" "Dia mau Childrenfree dong." Mata Hana membulat. Childrenfree? Maksudnya tidak ada anak gitu di dalam rumah tangga Naka dan Nara? Kok bisa Naka berpikir ingin Childrenfree. Padahal orang-orang di luaran sana yang berniat menikah seenggaknya memiliki 1 anak saja sudah cukup. Ini dari sisi negatifnya tapi jika dari sisi Positifnya mungkin Naka memiliki trauma atau ada masalah dengan anak-anak. Tidak tahu. Tapi ini juga yang mau Hana bahas. Serius tidak tentang Naka yang mau menikahi Nara. Kenapa tiba-tiba sekali? Pasti memang ada tujuan lain Naka menikahi Nara. "Lo udah ngobrol berdua sama dia?" "Udah. Tapi respon dia tuh sulit banget di tebak. Kemarin juga gua curhat sama Bi Ira tentang Naka yang nggak bisa jujur sama gua. Terus Bi Ira bilang mending gua pikirin baik-baik karena gimana pun kita bakal hidup berdua." "Bener yang di bilang Bi Ira. Mending Lo pikir-pikir lagi deh Ra, bukan maksud gua nggak seneng liat sahabat gua mau Nikah, bukan. Tapi coba deh sebelum nikah Lo lebih deketin diri ke Naka supaya tahu apa yang di lakuin Naka di luaran sana. Kalau di kampus kita udah tahu kegiatan dia padat tapi di luar kita nggak tahu dia sibuk apa selain kerja part time di kafe dan tukang ngutang sana sini." Penjelasan Hana masuk akal juga. Sepertinya pernikahan mereka berdua terlalu terburu-buru sampai Nara tidak memikirkan bagaimana nasib Pernikahannya. Dari posisi Nara tentu dia mencintai Naka tapi di posisi Naka hal itu masih abu-abu. Nara masih harus meraba perasaan Naka padanya. Ih ngeseliin. Gua harus apa kalau udah gini? Bete banget loh ah. Udah pusing sama masalah Gaun sekarang pusing mikirin tujuan Naka nikahin gua karena apa? Bete ih. Kesel lah. Nggak tahu. Mau liburan aja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN