"Non Nara nggak apa-apa?" Nara yang baru masuk ke dapur mengerutkan keningnya.
"Aku baik-baik aja Bi. Kenapa?"
"Tadi pagi Bibi liat ada banyak bercak darah di lantai. Non Nara bener nggak apa-apa?" Nara terdiam.
Itu bercak darah Naka semalam. Entah berperang dimana pria itu. Jika pun ada negara atau kota yang mesti di perjuangkan Hana pasti akan memberi tahunya di bagian mana. Tapi akhir-akhir ini semua Negara juga baik-baik saja. Naka anaknya memang suka aneh-aneh.
Bi Ira yang melihat Nona nya terdiam mendekat. Dia benar-benar khawatir takut terjadi sesuatu pada Nona mudanya. Tapi Nara punya peraturan, semua penghuni di rumah di larang masuk ke kamarnya. Makanya Bi Ira dari tadi hanya bisa diam sambil memasak memikirkan bagaimana nasib Nona nya.
"Non." Bi Ira mengguncang lengan Nara.
"Ah, apa Bi?"
"Non beneran nggak apa-apa?"
"Nggak apa Bi."
"Terus semalem bercak darah apa?"
"Semalem Naka dateng, kayanya dia jatoh atau apa, aku juga nggak tahu."
Bi Ira terkejut, "Loh ada Den Naka?"
"Masih tidur dianya."
"Kok nggak bangunin Bibi, Non?"
"Yah nggak apa-apa, semalem aku juga belum tidur Bi."
"Tapi Den Naka baik-baik aja?"
"Baik kok cuman luka biasa."
Luka biasa katanya. Itu luka jika di biarkan bisa infeksi. Nara mau tidak mau harus berbohong. Bagaimana pun pasti Bi Ira akan bertanya-tanya padanya lalu masalah pernikahan nya akan kembali di bahas. Nara tidak ingin memikirkan dulu pernikahan mereka. Untuk sekarang dia lebih memilih fokus kesembuhan Naka. Nanti siang Nara sudah berbuat janji dengan Dokter nya. Tidak peduli Naka setuju atau tidak, pria itu harus di periksa. Lukanya mengerikan sekali.
"Syukur Alhamdulillah Non kalau gitu. Ya udah mau sarapan apa?"
"Aku sereal aja Bi. Kalau buat Naka tolong bikinin nasi goreng, nanti anterin ke kamar aku yah Bi."
"Iya siap Non." Nara berbalik pergi meninggalkan Dapur.
"Eh Non, ini nasi gorengnya juga anterin ke kamar Non?"
Nara menghentikan langkahnya, "Iya Bi, tolong yah."
Setelah itu Nara buru-buru berlari takut di tanya lebih lanjut kenapa Nasi Gorengnya di antara kan ke kamarnya. Untuk semalam Naka sendiri yang meminta tidur bersama. Yah Nara sih tidak masalah, dia oke, oke saja selagi ada keuntungan untuknya. Semalam tidurnya benar-benar nyenyak. Naka memeluknya membuat Nara enggan melepas. Jika saja alarm kamarnya tidak berbunyi tidak akan bangun dia sampai nanti malam atau bisa juga besoknya.
Bi Ira yang melihat Nona nya pergi buru-buru hanya bisa menggelengkan kepala. Tidak apa-apa. Nara sudah besar. Apapun yang Nara pilih itu sudah menjadi keputusannya. Bi Ira hanya bisa mendoakan apapun yang Nara ambil semoga ke depannya menjadi kebahagiaan nya.
Nara masuk ke kamar lalu menutup pintunya kuat. Naka yang mendengar dentuman kuat itu sontak membuka matanya. Tubuhnya bahkan langsung bangun saking kagetnya. Nara yang melihat Naka bangun, buru-buru meloncat ke atas ranjang. Memeluk Naka lalu menepuk-nepuk punggungnya.
"Maaf, maaf, maaf, pasti kaget yah, ayo tidur lagi." Naka mengusap wajahnya kasar.
"Gua bukan bayi."
"Uh cup cup cup anak Ibun ayo bobo lagi."
"Nara?!"
"Ya ampun iya, iya, iya maaf." Nara memeluk Naka erat.
Sungguh dia tidak sengaja tadi menutup pintu terlalu kencang. Naka sempat bilang jika dia tidur lebih senang ruangan yang kedap suara supaya tidak mengganggunya. Kamarnya memang kedap suara tapi Nara sendiri yang berbuat ulah.
Naka memijat keningnya. Pusing sekali kepalanya gara-gara terkejut. Dia mengusap wajahnya sekali lagi lalu menoleh menatap gadis yang memeluknya dengan bibir terpaut.
"Maaf yah nggak sengaja." ujar Nara saat melihat tatapan dingin Naka.
"Lo nggak suka gua tidur disini?"
"Nggak, bukan gitu ih. Tadi tuh gua kebawah minta sarapan sama Bibi terus yah gua minta di bawa ke atas, yah gitu deh pokonya."
"Gitu gimana?"
"Malu Naka." Nara menenggelamkan wajahnya di bahu Naka.
Naka menggeleng, dia menyadarkan tubuhnya di kepala ranjang. Matanya kembali terpejam. Dia kekurangan tidur dan si bodoh Nara malah membangunkannya. Biasanya Naka jika sudah pulang kerja dia akan tidur seharian penuh, membiarkan perutnya keroncongan asalkan tenaganya kembali pulih. Sekarang baru tidur 3 jam sudah di bangunkan.
Nara yang melihat Naka mengusap punggungnya. Kasihan sekali Naka, pasti dia kesal padanya. Yah Nara minta maaf, dia benar-benar tidak sengaja tadi. Salahkan juga Bi Ira karena telah membuatnya malu. Suara ketukan pintu membuat Nara menoleh. Dia melepaskan pelukannya lalu turun dari ranjang. Dengan pelan dia membuka pintu kamarnya.
"Ini Non sarapannya."
"Oh iya terima kasih Bi." Nara membuka pintu kamarnya lebih lebar namun tidak sampai membuat Bi Ira melihat Naka di dalam. Dia menerima nampan itu dengan hati-hati.
"Bisa nggak Non?"
"Bisa Bi, bisa. Sekali lagi terima kasih." Setelah itu Nara kembali menutup pintunya. Tangannya bergetar membawa nampa lalu menyimpannya di meja.
"Naka ayo sarapan dulu." Naka berdecak.
"Bisa nggak Lo keluar aja, gua beneran mau tidur."
"Iya nanti aku keluar tapi kamu sarapan dulu. Setelah sarapan nya habis kamu bebas mau tidur sepuasnya." Membuka mata lalu menatap sarapan yang Nara bawa.
"Bawa kesini sarapannya."
"Mau makan di situ?"
"Iya, kenapa? Nggak boleh?"
"Sejujurnya iya tapi nggak apa-apa buat anak Ibun nggak masalah." Sambil tersenyum lebar Nara memberikan sepiring nasi goreng pada Naka.
Naka menerimanya.
Cup
Nara mencium Naka lalu cengengesan. "Kamu gemesin."
Nara akan berbalik namun Naka menahan lengannya. Nara menoleh dan tubuhnya di tarik hingga kini dia berada di pangkuan Naka.
"K-kenapa?" tanya Nara gugup.
"Nggak."
"Ya udah kamu sarapan dulu nanti ke buru dingin." Nara akan bangkit namun Naka menahannya.
"N-naka?" Naka menatap Nara, matanya berpindah pada bibir tipis itu.
Tangannya sebelah merambat ke tekuk. Mendorong kepala Nara hingga bibir keduanya beradu. Jantung Nara berdegup kencang saat Naka mengulum bibir bawahnya. Pipinya memanas sampai ke telinga. Nara mengalungkan tangannya. Matanya terpejam lalu membalas ciuman Naka walaupun tidak seburuk waktu itu.
***
"Ngapain sih harus ketemu Dokter segala? Gua nggak apa-apa." Naka menarik tangannya kasar dari genggaman Nara.
"Sebentar yah, tolong." Nara benar-benar tidak bisa membiarkan luka Naka di diamkan begitu saja.
"GUA BILANG NGGAK USAH KINARA?!" Teriakan Naka tentu saja membuat mereka menjadi pusat perhatian.
Wajah Nara memerah menahan malu dan ingin menangis. Baru kali ini dia di bentak oleh orang lain di hadapan banyak orang. Rasanya malu dan ingin menangis. Tapi Nara tidak bisa pergi begitu saja sebelum Naka di periksa.
Naka yang melihat Nara ikut terdiam. Dia melihat melalui ekor matanya. Mereka sudah benar-benar menjadi pusat perhatian. Menghela napas, dia menarik Nara pergi ke tempat yang gadis itu inginkan. Nara hanya menundukkan kepalanya sepanjang mereka berjalan. Naka berdecak di dalam hati. Lukanya ini baik-baik saja, jadi tidak perlu lebay harus membawanya ke rumah sakit. Harusnya tadi Naka menolak saat Nara mengajaknya pergi. Naka pikir Nara memintanya diantarkan belanja, tahunya jika pergi ke rumah sakit lebih baik pulang sendirian.
Nara mengusap air matanya saat tidak sengaja setitik air mata jatuh ke pipinya. Dia tidak bisa menahan tangisnya. Yah, Nara itu cengeng. Apa-apa yang menurutnya melukai hati dia akan menangis. Alasan kenapa Nara melindungi dirinya dengan sifatnya itu, inilah dia. Hanya orang-orang terdekatnya yang tahu bagaimana asli sifat Nara.
"Nara." Suara itu membuat Nara mengangkat kepalanya lalu menarik kedua sudut bibirnya.
"Hallo Dok." Naka menoleh terkejut menatap Nara yang tersenyum lebar.
Nara melepaskan cengkraman Naka lalu mendekat ke arah Dokter Wiliam. Dokter pribadinya beberapa tahun ini.
"Gimana sehat kan?"
"Harus dong."
"Syukur deh. Lain kali kalau apa-apa itu bilang sama saya jangan nyakitin diri sendiri." Nara melotot kan matanya lalu menggelengkan kepala kecil yang tentu membuat William sang Dokter paham.
"Ah haha jadi siapa yang mau di periksa?" Naka menatap keduanya dengan datar.
Maksudnya menyakiti diri sendiri apa? Apa yang Nara sembunyikan darinya?
Nara membalikan tubuh lalu tersenyum, menarik Naka mendekat. "Kenalin Dok, ini namanya Naka, calon suami aku."
"Woah nggak ada angin nggak ada hujan langsung kenalin calon suami. Saya William, Dokternya Calon Istri Kamu." Willian menyodorkan tangannya.
Naka menyambutnya, "Naka."
Keduanya menarik tangan. Nara melingkarkan tangannya di lengan Naka dan William yang melihat itu tersenyum kecil.
"Ya sudah ayo kita ke ruangan saya." Keduanya masuk ke dalam.
Nara bernapas lega. Setidaknya William itu pria peka. Jangan sampai William mengatakan hal yang tidak ingin Nara dengar. Apapun yang terjadi Nara tidak ingin William membuka mulut termasuk pada Naka sekalipun. Biarkan ini menjadi urusan dirinya sendiri.
***
"Lo punya hubungan sama manusia itu?" Nara menoleh menatap Naka yang sekarang menurunkan lengan kemejanya.
Nara yang melihat itu membantu mengancingkan nya. "Manusia siapa?"
"Dokter yang periksa tadi."
"Yah hubungan antara Pasien sama Dokter." Naka mengangguk.
"Mau selingkuh sama dia juga gua nggak peduli."
Nara menatap Naka bingung. "A-aku selingkuh sama siapa?"
Naka tidak menjawab. Dia sibuk menatap ke depan karena mobil siap meninggalkan rumah sakit. Sejak tadi Naka sama sekali tidak membuka suara. Sekalinya membuka suara, kenapa begitu menyeramkan? Naka cuman mengangguk-angguk saja saat Dokter William mengatakan tentang lukanya. Naka tidak pernah menjawab saat Dokter William menanyakan beberapa bekas lukanya itu. Dan Nara lah yang menjawabnya walaupun dia tidak tahu jawabannya itu benar atau tidak.
"Lo kalau suka sama Dokter itu mending nikah sama dia aja."
"Nggak ada loh Naka. Aku sama sekali nggak punya hubungan apa-apa sama Dokter William."
"Terserah."
"Ya udah nanti aku ganti Dokter kalau kamu nggak suka."
"Itu malah makin yakinin gua kalau Lo sama dia punya hubungan."
"Nggak ada. Tanya sama Hana dan Adi kalau kamu nggak percaya." Kembali Naka tidak menjawab.
Nara menatap Naka lama lalu tiba-tiba bibir itu tertarik. Pipinya yang tembem menutupi matanya. Tangannya mencolek lengan Naka.
"Cemburu yah?"
"Nggak."
"Ngaku aja deh." Colek Nara sekali lagi.
"Emang nggak."
"Ngaku nggak?" ujar Nara geregetan.
"Gua nggak cinta sama Lo, ngapain harus cemburu."
Deg
Rasanya ada sesuatu yang mendobrak hatinya dengan kuat membuat Nara langsung memalingkan wajahnya cepat. Dobrakan di pintu hatinya begitu kuat sampai membuat Nara meremas rok yang di pakainya. Kata-kata Naka barusan terlalu kasar sampai membuat Nara buru-buru mengatur napasnya.
"N-naka boleh berhenti dulu di SPBU?" ujar Nara dengan suara bergetar. Beruntung mereka melewati SPBU. Naka tanpa banyak tanya langsung berbelok menghentikan mobilnya di arena sana.
Nara membuka safety belt nya, keluar mobil buru-buru lalu berlari pergi ke kamar mandi. Nara memuntahkan semua isi di dalam perutnya di iringi air mata yang mengucur deras. Kata-kata Naka barusan terngiang-ngiang di kepalanya.
'Gua nggak cinta sama lo'
"Ah ya Tuhan." Nara memukul-mukul dadanya yang terasa menyakitkan.
"Jangan sekarang tolong." Nara terus menepuk-nepuk nya kuat.
Ini terasa menyakitkan. Nara menarik napas untuk mengontrol emosi dan rasa sakitnya. Dia membuka tasnya, meraih satu botol kecil, mengeluarkan isi dan meminumnya. Nara bahkan tidak sempat untuk membeli minum selain minum air kran yang ada disana. Nara terduduk di lantai, matanya terpejam. Hingga beberapa menit.
"Mbak." Suara itu membuat Nara membuka matanya.
"Mbak baik-baik aja?"
"Ah hehe iya baik kok."
"Ya udah ayo Mbak berdiri, ngapain duduk di lantai gitu." Nara menerima uluran tangan itu.
Sesak itu hilang dan Nara bernapas lega.
"Terima kasih Mbak."
"Sama-sama Mbak. Kalau gitu saya duluan." Nara mengangguk sambil tersenyum.
Setelah di rasa tidak ada siapapun, dia meremas rambutnya. Menarik tasnya kasar dan keluar. Lalu memberikan beberapa lembar uang 100 ribuan pada petugas disana.
"Mbak ini kebanyakan."
"Nggak apa-apa."
"Terima kasih Mbak." Nara mengangguk.
Dia melihat Naka yang sedang menegak air minum. Sakit sekali rasanya mendengar kata-kata itu tapi dia tersenyum saat mata mereka bertatapan.
"Udah yuk." ujar Nara sambil masuk ke dalam mobil.
Naka sebenarnya pria peka. Dia melihat senyum itu hanya untuk menutupi sesuatu darinya. Naka menyusul Nara masuk ke dalam mobil. Dia melihat Nara sedang memasang Safety belt nya. Tangannya terlihat bergetar dan Naka membantunya.
Nara tersenyum, "Makasih."
Gua harus liburan. Gua harus nyari ketenangan untuk sementara waktu. Nggak bisa. Gua nggak boleh kambuh kaya barusan. Ya Tuhan, kesel, bete, sebel kenapa rasanya sakit nya dua kali lipat?