Pesona Pagi Hari

1193 Kata
Mantion Casablanka Apartement. “Dia udah bangun belum ya? Hmm males banget gw sebenernya. Mana gw juga belum sarapan lagi,” gerutu Kevia saat dia turun dari mobil. Pukul 7 pagi Kevia sudah ada di tempat parkir salah satu apartemen mewah yang ada di Jakarta. Pagi ini dia harus membangunkan Sean dan juga menyiapkan apa pun yang dibutuhkan oleh pemuda tampan itu. Sebenarnya Kevia sangat malas apa lagi ini harus membuatnya bangun dan berangkat kerja lebih pagi. Kevia berharap akan ada sedikit belas kasihan pada tugasnya yang berat saat ini. Dan dia berharap agar Sean tidak terlalu membebaninya dengan permintaan yang tidak masuk akal. Profesionalisme Sean sangat diharapkan oleh Kevia saat ini. Nit ... nit ... nit. Claak! Kevia menekan sandi pintu unit apartemen milik Sean yang sudah diberitahukan kepadanya. Saat dia masuk, lampu ruang tengah masih gelap, sepertinya Sean memang masih tidur. Setelah melepas sepatu dan berganti sendal rumah, Kevia segera masuk untuk mencari catatan yang dijanjikan oleh pemilik rumah. “Ya ampun ini kenapa berantakan banget ya. Nyalain lampu ga ya?” “Nyalain aja deh. Gelep,” ucap Kevia sambil menekan saklar lampu. “Matiin lampunya! Buka gorden aja. Lu pikir Bapak lu yang bayar listrik!” Terdengar suara teriakan dari dalam kamar yang masih tertutup pintunya. Kevia kaget dan tangannya reflek mematikan saklar lampu yang masih dia pegang. Sungguh reaksi yang luar biasa sangat cepat begitu ruangan itu menyala dan terang benderang. “Eh busyet! Udah bangun ternyata si anjing gila itu,” ucap Kevia pelan. “Maaf, Bos. Ga tau. Saya buka horden aja ya.” “Buat kopi dan juga sarapan?” “Haah ... maaf, Bos. Saya ga salah denger kan??” “Kalo salah denger bearti kuping lu rusak!” “Eh setan! Kalo bujan karena atasan gw, udah gw sikat lu!” gerutu Kevia sambil memukul-mukul angin. “Iya, Bos. Bakal saya buatin.” Kevia masih menggerutu saat dia berjalan menuju ke dapur. Sudut mata Kevia menangkap ada kertas yang menempel di pintu lemari es. Dia segera mengambil kertas itu yang ternyata adalah catatan penting untuk Kevia selama ada di apartemen Sean. Gadis itu membaca dengan sangat perlahan dan berulang kali, takut ada yang tertinggal seperti tipuan kemarin. “Oh jadi sarapannya itu cuma kopi ama ipad. Kok bisa ya ada orang makan ipad pagi-pagi. Sarapan orang kaya emang beda.” “Eh apa ini ... masa gw juga yang di suruh beresin cucian kotor buat di ambil tukang laundry. Emang selama ini siapa yang beresin? Eh bentar deh, kalo pakaian kotor kan bearti ntar ada itu ya, uuch ... ukurannya seberapa ya?” “Eh ya ampun, Kev! Sadar lu. Udah travelling aja pagi-pagi,” ucap Kevia sambil memukul kepalanya sendiri agar dia sadar dengan apa yang baru saja dia pikirkan. Sambil menunggu mesin kopi selesai membuat kopi, Kevia membuka horden tebal yang menutupi kaca besar apartemen ini. Kaca yang sekaligus pintu keluar menuju balkon utama apartemen. Ada sebuah sofa malas dan beberapa tanaman hias yang tampaknya sudah lama tidak terurus. Kevia mengambil gelas yang dia isi air untuk menyiram tanaman itu. Tidak lupa dia mengambil lap untuk membersihkan daun itu dari debu yang menempel. “Bunga mahal kok ga di rawat. Sayang banget. Tapi yang suka bunga itu, dia ato pacarnya ya? Eh mantan maksudnya.” “Mantan gw. Buang aja semua bunganya. Ga ada yang bakal ngerawat!” celetuk Sean dari belakang Kevia. “Eh, Bos. Selamat pagi, Bos. Maaf itu sarapannya belum siap, kopinya masih di giling.” “Hemm.” “Tapi, Bos. Ini boleh biar di sini aja ga? Saya suka taneman, biar bagus aja balkonnya.” “Terserah. Jangan lupa beresin baju kotor. Siapin aja keranjangnya depan pintu, ntar ada yang ambil. “Keranjangnya di mana?” “Dalam kamar mandi luar. Deket dapur.” “Ok, Bos.” “Siapkan sarapan, gw mau mandi dulu.” Sean melangkah ke dapur. Dia segera menghilang dari pandangan Kevia yang masih ada di balkon. Gadis yang kini menjadi asisten pribadinya itu sedang merawat tanaman yang hampir saja mati. Usai merawat tanaman, Kevia segera kembali masuk ke dalam apartemen. Dia ingin menyiapkan kopi dan iPad untuk sarapan atasan tampannya itu. Tapi langkah Kevia terhenti saat dia akan masuk ke area dapur. Ada pemandangan luar biasa yang ada di depan mata Kevia saat ini. Tampak Sean sedang minum air putih di dalam botol. Pemuda itu bertelanjang d**a menampakan body luar biasa dan perut rata yang sangat menggod. Jakunnya yang naik turun membuat dentuman jantung Kevia tidak menentu, dia seperti sedang melihat malaikat yang minum di depan lemari es. Kevia sering melihat Dito berpenampilan seperti ini. Tapi saat melihat Sean, Kevia merasakan getaran yang berbeda. Damage yang diberikan oleh Sean terlalu kuat untuk ditolak. ‘Waah ... itu badan apa bukan ya? Gila ... dulu gw tidur ama yang beginian? Kenapa gw ga inget smaa sekali ya,’ gumam Kevia penuh kekaguman. “Ngapain lu liatin gw kaya gitu? Bagus ya badan gw?” “Haah?? Eh maaf, Bos. Enggak kok ... biasa aja.” “Biasa aja? Kalo biasa aja, kenapa mulut lu sampe ngangak begitu?” “Siapa yang ngangak? Bisa aja. Ga tuh.” Kevia sol cuek dan segera melangkah ke dalam dapur. Dia tidak ingin Sean tahu kalau saat ini jantung Kevia sedang tidak bersahabat. Dia takut Sean juga akan melihat semburat merah yang ada di wajahnya. Setelah meletakkan lap dan juga gelas bekas menyiram, Kevia mengambil mug untuk membuat kopi. Dia segera berdiri di depan mesin kopi yang siap dia seduh. Tiba-tiba Kevia merasa ada orang yang berdiri di belakangnya. Aroma wangi segar maskulin langsung saja menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya. Aroma yang segera saja menghapus jejak wangi kopi di hidung Kevia. “Bikin kopi pake gelas ini aja. Ini milik gw. Kalo lu mau kopi juga, pake yang lu pegang juga ga papa,” ucap Sean sambil mengulurkan tangan meraih lemari yang ada di atas kepala Kevia. Kevia refleks menunduk. Dia takut puncak kepalanya akan terkena pintu yang terbuka itu. Dia takut Sean memang sengaja 8ngin mencelakinya. “Ngapain lu kaya gitu?” ucap Sean yang merasa b****g Kevia kini menyentuh tubuhnya. “Takut kena pintu itu,” jawab Kevia sambil tetap di posisi sedikit menekuk lututnya. “Kena kepala lu? Ga usah ngelawak lu. Berdiri yang bener!” Kevia pun mengikuti apa yang di katakan oleh Sean. Dia segera meluruskan lututnya secara perlahan takut dia akan membentur pintu. Posisi Sean masih membuatnya sangat tidak nyaman tapi dia ingin terus seperti ini. “Apanya yang ngebentur kepala lu! Liat ini, jauuh ...” ucap Sean sambil menunjukkan fakta kalau Kevia itu pendek. “Iissh ... biar saya mungil tapi saya ngangenin.” “Kalo lu ngangenin, ga mungkin lu di buang pacar lu! Buruan bikin!” Sean segera memberikan mug yang ada di tangannya itu pada Kevia. Dia akan segera mandi karena sebentar lagi sopir akan datang menjemput dia. Sean segera masuk kembali ke dalam kamarnya. “Ya ampun, itu orang manusia apa bukan ya? Galak, ketus, nyebelin dan aduuh ... ganteng banget kalo dia berantakan gitu.” “Eh ya ampun ... ga ganteng! Ga ganteng sama sekali! Enggak sama sekali! Astaga gw khilaf.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN