Jantungku berdegup sangat kencang ketika kami berjalan menuruni anak tangga dari lantai tiga bersama-sama. Berulang kali aku meyakinkan diri untuk tetap teguh pada pendirianku. Aku harus jujur pada Mahesa kalau aku sudah menikah. Rantai ambigu ini harus segera diputus dari sekarang sebelum terjalin semakin panjang.
Mahesa membukakan pintu mobil untukku. Setelah aku masuk, dia setengah berlari ke sisi lain mobil lantas masuk dan duduk di kursi kemudi. Tampak biasa saja, seperti kami sedang ingin pergi untuk makan siang tempo hari.
"Kita cari tempat yang enak buat ngobrol, ya." Mahesa berbicara sambil melihat ke belakang mobil melalui spion kanan.
Apa lagi yang bisa kukatakan selain mengiyakan ucapannya. Kami memang memerlukan tempat yang nyaman untuk membicarakan masalah sesensitif ini. Bila perlu tempat yang hanya ada kami berdua.
Eh? Jangan!
Tempat di mana hanya ada kami berdua terdengar begitu horor di telingaku. Hh … dasar otak! Kenapa berpikir yang tidak-tidak di saat yang tak tepat?
Oke, lupakan saja tentang apa yang sempat melintas di kepalaku. Kembali pada Mahesa.
Perlahan dia memundurkan mobil, keluar dari pelataran ruko dan mulai mengaspal. Suasana sangat canggung. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi yang aku pikirkan saat ini adalah bagaimana nanti aku akan mulai mengatakan yang sebenarnya. Kalimat apa yang paling pas untuk menjelaskan statusku pada Mahesa.
Kuputar otak mulai dari kanan ke kiri, terus ke belakang dan ke depan. Namun rasanya semua kosakata untuk mengungkapkan maksudku itu mendadak lenyap dari memori otak. Seperti ponsel yang di-restart. Hilang semua. Atau memang sekosong itu otakku hingga mudah saja terjebak dalam perasaan ambigu semacam ini.
"Kamu mau makan dulu?" tanya Mahesa.
"Belum lapar, sih," jawabku.
“Kamu ada ide, kira-kira tempat yang nyaman untuk ngobrol itu di mana?” Lelaki itu bertanya tanpa melihat padaku. Pandangannya fokus pada jalanan padat di depan kami sambil sesekali melirik kaca spion.
Kugigit bibir untuk menutupi kebingungan.
“Mh … aku … nggak tahu. T-terserah kamu aja.” Aku berpaling sambil memejam dan menipiskan bibir. Kesal. Bisa-bisanya aku tergagap hanya karena pertanyaan semacam itu?
"Kalau gitu, kita cari coffee shop aja gimana?" Dia menoleh sekilas padaku lalu kembali fokus melihat ke depan.
"Boleh," jawbaku. Setidaknya di coffee shop nanti tidak hanya ada kami berdua. Itu lebih baik dari apa yang kupikirkan.
Mahesa melajukan mobil ke sebuah coffee shop yang searah dengan rumahku. Aku pernah dua kali ke coffee shop itu bersama Gilang. Tempatnya memang enak untuk mengobrol. Kalau aku sama Gilang lebih memilih duduk lesehan di lantai satu, Mahesa membawaku ke lantai dua. Kami duduk di meja yang paling ujung, persis di sebelah sepeda ontel tua yang di gantung di dinding.
Lampu berwarna kuning yang terpasang di beberapa sudut membuat pencahayaan menjadi redup, menciptakan suasana yang terasa hangat. Ah, andai saja kami sedang berkencan, ini bisa jadi kencan yang romantis.
Ah, sial! Kenapa otakku serusak ini? Ya, Tuhan! Yang datang bersamaku ini bukan pasanganku, bukan suamiku. Hh … setan-setan di kepalaku sulit sekali dienyahkan.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Mahesa yang membuatku terhenyak.
"Samain aja," jawabku.
Mahesa memesan dua kopi, kentang goreng, dan waffle untuk kami. Seperginya pelayan coffee shop, untuk kesekian kalinya kami terjebak dalam suasana canggung. Aku menunduk sambil meremas-remas jemariku yang berkringat dan terasa sedingin es di kutub utara.
"Zi," panggil Mahesa.
Kuberanikan diri mengangkat pandanganku padanya. Wajah Mahesa tampak serius, dan itu membuatku semakin gugup. Apa ini sudah saatnya? Dia atau aku dulu yang harus bicara? Ah, sepertinya dia. Lelaki itu yang memanggilku lebih dulu, ‘kan? Aku? Mana berani membuka pembicaraan. Mulutku tekunci rapat sejak tadi. Seolah pertanyaan dari Mahesa adalah kunci untuk membuka mulutku agar berbicara.
"Kamu tahu kenapa sampai sekarang aku masih sendiri?"
Aku masih diam, tidak menjawab apa pun. Namun dalam diam itu, hatiku terus menjerit, mencoba menyangkal spekulasi yang muncul di dalam otak. Dan jeritan di dalam hati ini semakin kencang saat Mahesa meraih tanganku lalu menggenggamnya. Jantungku seperti diremas-remas. Tiba-tiba saja aku merasa kesulitan untuk bernapas seolah sentuhan tangannya menyedot seluruh oksigen yang ada di sekelilingku.
Dia tersenyum tipis, sangat tipis hingga nyaris tak terlihat andai tidak diperhatikan baik-baik. Dan aku baru saja memperhatikannya sedetail itu. Aduh, bodohnya aku! Ini hanya akan membuatku semakin terpesona padanya.
"Karena aku masih nungguin kamu, Zi."
Saat itu juga, jantungku rasanya seperti ditarik keluar. Tubuhku mendadak kaku, pandanganku terus mengarah pada kedua netranya yang menatap sayu kepadaku.
Apa aku sudah mati sekarang? Barangkali beberapa saat lalu aku kehabisan napas dan akhirnya mati tanpa kusadari.
"Aku masih cinta sama kamu, Zi.”
Pandanganku mulai kabur. Okay, aku bisa merasakan pipiku basah. Kurasa aku menangis. Lidahku terasa kelu tak mampu membuat Mahesa berhenti membicarakan soal perasaan.
“Setelah kita mutusin buat pisah, aku diterima kerja di Prisma Group. Aku bekerja keras berusaha memantaskan diri agar bisa melamar kamu.” Dia menggeleng sambil mendengkus pelan. “Tapi waktu aku datang lagi ke rumah kamu … orang tua kamu tetap menolak."
Ucapan Mahesa terhenti ketika pesanan kami datang. Aku bersyukur, setidaknya waktu yang singkat itu membuatku bisa menghirup oksigen dan tetap bernapas. Sepeninggal pelayan itu, Mahesa kembali menatapku dengan begitu dalam.
"Aku nggak nyangka kalau kita bakal bertemu lagi, bahkan berada di satu ruangan yang sama setiap hari seperti sekarang. Rasanya nyiksa banget, Zi. Aku pengin selalu dekat sama kamu, tapi aku juga takut. Aku takut kalau kamu bakal nolak aku."
Rasanya hatiku sudah mau menyerah. Aku tidak memungkiri kalau aku juga menikmati saat-saat bersama Mahesa. Membicarakan masa lalu, kenangan-kenangan lucu yang pernah kami jalani membuatku enggan untuk kembali ke masa sekarang. Setiap kami bersama, aku merasa seolah kami berada dalam satu lingkaran yang sangat nyaman, di mana hanya ada kami berdua.
"Apa aku masih punya kesempatan untuk bersama kamu lagi?" Mahesa menggenggam erat tanganku di atas meja sambil menatapku lekat.
Kenapa aku sulit sekali menjawab pertanyaan itu? Aku bisa saja langsung menjawab dengan tegas bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, tapi sesuatu dari dalam diriku mencoba menghalangi. Hingga beberapa saat, aku tetap diam tak kunjung menjawab pertanyaan mudah tersebut.
"Zi?" Mahesa memiringkan kepala. Kurasa dia mencoba mengingatkan kalau dia sedang menunggu jawabanku.
Kutarik napas dalam dan panjang lalu kuembuskan perlahan-lahan. Hal pertama yang kulakukan adalah melepaskan tanganku dari genggaman Mahesa lalu kuletakkan tangan itu di sebelah tangannnya. Aku yakin ini adalah keputusan yang tepat. Aku harus mengatakannya sekarang.
"Hes," ucapku dengan suara lirih yang mungkin hanya aku sendiri yang mendengarnya.
"Aku … sudah menikah," lanjutku sambil menunjuk cincin pernikahan yang melingkar di jari manisku dengan tatapan mata.
Sekali lagi aku merasakan pipiku basah, air mataku menetes lagi. Dadaku juga terasa sakit sekali saat mengatakannya. Seakan-akan aku baru saja menelan pecahan kaca yang menggores di segala tempat di dalam sana. Sakit sekali.
Entah perasaanku saja atau dia memang terkejut, sedikit syok mungkin. Namun yang jelas, wajahnya menunjukkan gurat kekecewaan yang begitu kentara. Ekspresi wajahnya sama seperti dulu waktu aku meminta kami untuk berpisah. Aku tidak akan salah ingat, aku tahu betul bagaimana raut wajah Mahesa saat menunjukkan emosi yang ada di dalam hatinya.
Dia terus menatapku untuk beberapa waktu. Hingga akhirnya dia menghela napas berat lalu menunduk. Tangannya yang ada di atas meja mengepal lemah.
"Apa laki-laki beruntung itu adalah yang kemarin sama kamu?" tanya Mahesa sembari mengangkat pandangan padaku.
Hatiku mencelos melihat caranya menatapku. Anehnya lagi, saat melihat kedua mata itu, hatiku terasa sakit. Aku berharap kalau aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku. Namun sayangnya, aku sangat mengenal perasaan ini. Aku terluka karena tidak bisa bersamanya lagi. Dan itu artinya perasaan yang selama ini aku kubur masih ada hingga sekarang. Selama ini aku tidak pernah berhasil memupus perasaan itu, aku hanya mampu menyembunyikannya di sudut hati yang terdalam. Jadi ketika seseorang yang memegang kuncinya hadir kembali, perasaan itu memberontak dan mendobrak dinding pertahananku.
Kutundukkan kepala dalam-dalam lalu berkata dengan lirih, "Maafkan aku."
Hening beberapa saat di antara kami. Aku masih menunduk dan menekan perasaan yang tidak seharusnya ada di dalam hatiku itu supaya tidak goyah. Tapi aku juga merasa lega karena aku sudah bicara jujur padanya. Sakit tapi lega. Paling tidak, aku tidak perlu menyembunyikan apapun lagi darinya.
Kudengar Mahesa menghela napas lalu berkata, "Aku terlambat."
Ucapannya itu membuatku mengangkat wajah. Dia menggenggam cangkir kopi dengan pandangan ke bawah. Meski bibirnya tersenyum, tapi yang kulihat dari wajah Mahesa bukan kebahagiaan melainkan kesedihan. Sesaat kemudian dia tersenyum lebih lebar sambil menatapku.
"Semoga kamu bahagia, Zi. Karena kebahagiannmu adalah kebahagiaanku juga."
Saat dia mengatakan itu, aku justru menangis hingga harus menahan isakan kuat-kuat. Air mataku seperti tidak bisa dicegah untuk mengalir lebih deras. Mahesa mencondongkan tubuhnya lalu menghapus air mataku dengan ibu jari. Sentuhannya terasa lembut, tapi seolah meninggalkan luka di setiap gesekan kulit kami.
"Jangan nangis! Kamu harus bahagia, Zi," kata Mahesa.
Tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Senyum yang dia berikan padaku terasa menyayat. Aku hanya bisa mengucapkan banyak kata maaf di dalam hati untuknya.
Mahesa mengantarku pulang setelah dia memaksaku menghabiskan pesanan kami. Dia juga berkali-kali mencoba menghidupkan suasana lagi dengan mengatakan lelucon-lelucon yang berhasil membuatku tertawa. Ya, semudah itulah Mahesa mengembalikan mood-ku dan semudah itu pula Mahesa membuatku tertawa, melupakan rasa sakit untuk sejenak.
"Kuharap apa yang kukatakan tadi nggak bikin kamu menjauhiku," kata Mahesa waktu kami hampir sampai di depan rumahku.
Aku menoleh padanya lalu tersenyum. "Kita tetap bisa berteman, kan?"
Dia membalas ucapanku dengan senyum tipis, persis saat mobil yang kami tumpangi berhenti di depan pagar rumahku. Mahesa memanggil lagi ketika aku melepas safety belt. Aku berpaling padanya.
"Zi ...." Mahesa melipat bibir, terlihat ragu untuk melanjutkan ucapannya.
"Apa?" tanyaku.
Pandanganku mengarah pada tangan Mahesa yang meraih tanganku lalu menggenggamnya. Dia membasahi bibir sambil menatapku dengan dalam. Apa lagi yang akan dia lakukan setelah suasana di antara kami terasa lebih baik?
"Aku akan tetap mencintaimu meski aku tidak bisa memilikimu," ucap Mahesa yang membuatku terpaku, menatapnya tidak percaya.
Sebelum aku membalas ucapannya, dia berkata lagi, "Kamu nggak perlu melakukan apa pun. Kamu juga nggak perlu membalasnya. Aku hanya tidak ingin memendam perasaan ini lagi, Zi. Rasanya nyiksa banget."
Mahesa mengakhiri ucapannya dengan kekehan, seolah ini bukan hal yang serius. Dia tidak tahu kalau ucapannya barusan memberi efek luar biasa pada diriku. Aku yang semula sudah mantap menganggap Mahesa sebatas teman jadi goyah lagi. Kukira dia akan menyerah dan berusaha melupakan perasaannya terhadapku. Namun yang terjadi sekarang, dia justru menawarkan cinta tanpa mengharap balasan dariku. Apa aku mampu menjalani hari-hariku yang seperti itu tanpa berpaling dari Gilang?