Aldebaran menengadahkan kepalanya menatap gedung hotel yang menjulang tinggi. Ia lalu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 6.40 malam. Yang mana, Aldebaran tiba 20 menit sebelum jadwal temunya.
Sekali lagi, Aldebaran menghela napas panjang kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam hotel tersebut. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya bahwa tidak akan terjadi sesuatu pada pertemuan tersebut.
‘Tenanglah, Al. Ini hanya pertemuan biasa. Kau sudah ratusan kali melakukan ini. Tenanglah, tenang,’ batin Aldebaran.
Ting!
Aldebaran langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift begitu pintu lift terbuka. Ia lalu menekan tombol 14 dan pintu kembali tertutup. Tak lama kemudian, pintu lift kembali terbuka setelah Aldebaran tiba di lantai tujuannya.
Tanpa menunggu lama, Aldebaran keluar dari lift lalu mencari kamar tujuannya. Hingga kaki Aldebaran berhenti di depan kamar nomor ‘14007’. Aldebaran lantas merapikan penampilannya sebelum menekan bel kamar di hadapannya.
Ting tong!
Ting tong!
Ceklek.
Aldebaran cukup terkejut saat pintu di hadapannya langsung terbuka setelah ia menekan bel. Bisa ia tebak kalau orang tersebut telah menunggu kedatangannya.
“Pak Aldebaran?” tanya pria yang membukakan pintu tersebut.
“Benar,” jawab Aldebaran.
“Apa Anda bisa menunjukkan KTP Anda?” tanya pria itu yang membuat Aldebaran bingung. “Maaf. Tapi, ini sudah merupakan prosedur kami. Tolong kerja samanya.”
Tanpa mengatakan apa pun, dengan ragu Aldebaran langsung mengeluarkan dompet dari saku celananya kemudian memberikan KTP-nya pada pria tersebut. Seusai memeriksa validasi KTP Aldebaran, pria itu langsung mengembalikan KTP Aldebaran.
“Selamat datang, Pak Aldebaran. Saya Marcus Thuram yang berbicara dengan Anda di telepon,” ucap pria bernama Marcus tersebut sembari mengulurkan tangannya pada Aldebaran yang langsung dibalas oleh pria itu.
“Silakan masuk. Pak Ardi telah menunggu Anda,” pinta Marcus.
Dengan segan, Aldebaran pun melangkahkan masuk ke dalam kamar yang sangat luas tersebut. Kaki Aldebaran lalu berhenti beberapa langkah dari seorang pria berusia 50-an yang tengah duduk di kursi. Tanpa menebak pun, Aldebaran bisa tahu kalau pria tersebut adalah Ardi Widoyonho.
“Selamat malam,” sapa Aldebaran sembari membungkukkan tubuhnya.
“Malam,” balas Ardi. “Apa kau yang namanya Aldebaran?”
“Benar, Pak,” jawab Aldebaran.
“Ternyata kau masih sangat muda,” gumam Ardi seraya mengangguk-anggukan kecil kepalanya. “Oh! Duduklah,” pintanya sembari menunjuk sebuah kursi di sisi kanannya.
“Baik,” ucap Aldebaran kemudian duduk di kursi yang Ardi tunjukkan untuknya.
“Sudah berapa lama kau bekerja menjadi penerjemah?” tanya Ardi.
“Kurang lebih sudah hampir 5 tahun,” jawab Aldebaran.
“Wow! Cukup lama juga. Lalu, berapa usiamu?” tanya Ardi.
“27 tahun, Pak,” jawab Aldebaran.
“27 tahun? Kau tidak membohongiku? Wajahmu terlihat lebih muda dari usiamu,” gurau Ardi.
“Saya akan menganggap itu sebagai pujian,” ujar Aldebaran seraya mengulas senyum tipis.
“Jadi, apa kau langsung bekerja setelah lulus kuliah?” tanya Ardi.
“Benar, Pak. Tapi, bukan sebagai pekerja tetap. Saya memutuskan untuk hanya menjadi seorang freelancer,” ungkap Aldebaran.
“Kenapa? Bukankah memiliki pekerjaan tetap lebih baik dari pada menjadi seorang freelancer? Kau bisa memiliki pendapatan setiap bulannya.”
“Saya tidak terlalu suka menetap di satu tempat dan terikat waktu. Terlebih, saya bisa menyalurkan hobi fotografi saya kapan pun.”
“Ya. Aku mengerti pemikiran anak muda sepertimu yang lebih suka dengan kebebasan tanpa terkekang di dalam satu tempat. Tapi, apa kau tidak berkeinginan untuk menjadi pekerja tetap?”
“Untuk itu, saya masih belum memikirkannya.”
“Maaf, mengganggu Anda, Pak,” sahut Marcus menginterupsi percakapan antara Aldebaran dan Ardi. Perlahan, Marcus mendekatkan wajahnya ke telinga Ardi lalu membisikkan sesuatu pada pria itu.
“Langsung antar masuk begitu dia tiba di sini,” pinta Ardi.
“Baik, Pak,” ucap Marcus kemudian keluar dari kamar tersebut.
“Tidak perlu khawatir. Marcus hanya memberitahuku kalau tamuku telah berada di bawah,” celetuk Ardi ketika melihat raut tegang di wajah Aldebaran.
“Ah! Baik,” ucap Aldebaran kemudian langsung mengatur posisi duduknya agar lebih tegap.
Setelah menunggu beberapa saat, pintu kamar kembali dibuka dan Marcus masuk bersama tiga orang pria. Pria yang berada di tengah bersetelan merah maroon, sementara dua lainnya bersetelan hitam bertubuh kekar dan keduanya masing-masing membawa 2 buah koper hitam.
‘Siapa orang ini? Kenapa harus pakai pengawal?’ batin Aldebaran penasaran.
Sontak, Ardi dan Aldebaran berdiri dari duduk mereka untuk menyambut ketiganya. Lebih tepatnya menyambut pria bersetelan merah maroon tersebut.
“Senang bertemu dengan Anda, Mr. Widoyonho,” sapa pria yang memakai setelan merah maroon seraya mengulurkan tangannya pada Ardi. Aldebaran pun langsung melakukan tugasnya dengan membisikkan terjemahan ucapan pria tersebut kepada Ardi.
“Senang bertemu dengan Anda juga, Pak Lion D’Amelion,” balas Ardi sembari membalas uluran tangan pria bernama Lion tersebut.
-------
Alasya bersenandung ria sembari memakai heels-nya. Selesai memakai heels, Alasya melangkahkan kaki menuju meja komputernya lalu mengambil earpiece rakitannya dan langsung memakai earpiece tersebut ke telinganya.
Setelah selesai bersiap-siap, Alasya langsung melangkahkan kakinya menuju lift lalu masuk ke dalam. Seulas senyum lantas terukir di wajah Alasya ketika melihat penampilannya yang begitu menawan melalui pantulan kaca pintu lift.
Malam ini, Alasya terlihat sangat seksi dengan dibalut dress pendek berwarna merah tanpa lengan, serta heels dengan warna senada. Tak lupa dengan rambut yang dibiarkan terurai dan sedikit teracak hingga membuat Alasya terlihat lebih seksi.
Alasya lalu melangkahkan kakinya keluar dari lift begitu tiba di basement kemudian masuk ke dalam salah satu koleksi mobilnya yang berwarna merah. Karena malam ini, Alasya ingin terlihat berani dengan menggunakan barang serba merah untuk menjalankan misi.
Walaupun keberaniannya tersebut tidak akan terekam dalam rekaman cctv yang telah Alasya retas terlebih dahulu. Tidak mungkin ia melupakan hal sepenting itu.
Tanpa menunggu lama, Alasya langsung melajukan mobilnya meninggalkan area basement dan membelah jalanan Washington DC yang malam ini cukup padat.
“Blue Hat : Aku penasaran. Apa sekarang Black Alpha sudah berada di lokasi?” Sontak, Alasya mengulas senyum ketika mendengar hal tersebut melalui earpiece-nya.
“Green Fly : Mungkin. Apa lagi, target kita sudah hampir tiba di lokasi. Bisa jadi Black Alpha sudah tiba lebih dulu di sana.”
“White Cat : Sudah pasti. Black Alpha tidak pernah melakukan kesalahan. Jadi, sudah pasti dia sudah berada di lokasi lebih dulu untuk memantau target.”
“Red Spider : Kalian sedang asyik mengobrol di sini. Apa semua tugas kalian sudah selesai? Kalian sudah memastikan kalau tidak ada masalah dan semuanya bisa berjalan lancar?”
“Sudah kuduga. Red Spider memang sangat bisa diandalkan,” gumam Alasya seraya mengangguk-anggukan kepala.
“White Cat : Kenapa kau serius sekali, Red Spider? Kami, ‘kan, hanya mengkhawatirkan Black Alpha.”
“Blue Hat : Benar. Apa lagi, selama ini Black Alpha tidak pernah terjun langsung ke medan perang. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?”
“Red Spider : Kalian tenang saja. Black Alpha tidak mungkin mengajukan diri untuk langsung terjun ke medan perang kalau tidak memiliki persiapan yang matang. Jadi, lebih baik kalian berhenti mengobrol dan fokus pada tugas masing-masing. Pastikan kalau semuanya benar-benar berjalan lancar sampai misi selesai.”
“Memang. Red Spider tidak perlu diragukan lagi,” gumam Alasya bangga.
Tak lama kemudian, akhirnya Alasya tiba di lokasi tujuannya yang merupakan salah satu hotel terkenal di kawasan tersebut.
Setelah memarkirkan mobilnya di basement, Alasya langsung keluar dari mobil lalu masuk ke dalam lift.
“White Cat : Target sudah tiba di depan lobi.” Alasya lantas menyeringai ketika mendengar laporan tersebut.
Alasya lalu menekan earpiece-nya sebanyak dua kali lalu berkata, “Aku juga sudah tiba di lokasi. Terus pantau target.”
-------
Tok... Tok... Tok...
“Masuk!” pinta Tony yang tak lama kemudian, Lucy masuk ke dalam ruangannya.
“Semuanya sudah siap, Sir,” lapor Lucy.
“Baiklah. Aku akan segera ke sana,” ucap Tony yang tengah mencari sesuatu di laci meja kerjanya. Setelah itu, Lucy pun langsung pamit dari sana.
Sementara itu, Tony kembali melanjutkan pencariannya. Sampai akhirnya, Tony menemukan benda yang ia cari sejak tadi. Sebuah kalung perak dengan liontin yang juga berwarna perak. Tanpa membuang waktu, Tony langsung melilitkan kalung tersebut di pergelangan tangannya lalu menyembunyikan kalung tersebut di balik lengan bajunya.
Setelah selesai, Tony pun langsung keluar dari ruangannya. Melangkahkan kaki menuju basement, di mana semua tim lapangan berseragam lengkap telah menunggunya.
“Semuanya telah berkumpul?” tanya Tony.
“Sudah, Sir,” jawab Lucy.
“Perhatian!” seru Tony seraya berkacak pinggang yang membuat semuanya memusatkan perhatian ada Tony.
“Malam ini, kita akan meringkus salah satu bandar narkoboy terbesar yang telah lama kita incar. Lion D’Amelion. Fokuskan perhatian kalian pada misi kali ini. Aku tidak ingin ada yang melakukan satu kesalahan pun yang bisa menggagalkan misi. Jangan bertindak gegabah dan melapor terlebih dahulu sebelum bertindak. Kalian mengerti?!”
“Mengerti, Sir!”
“Bagus,” ucap Tony. “Masuklah ke kendaraan masing-masing dan langsung mengambil posisi begitu tiba di sana,” pintanya.
“Baik, Sir!” seru semuanya kemudian bergegas masuk ke dalam mobil masing-masing.
“Ayo,” ajak Tony kemudian melangkahkan kaki menuju mobilnya.
“Baik,” ucap Lucy seraya mengikuti Tony.
Kali ini, Tony kembali mengeluarkan tatapan tajamnya. Malam ini, ia benar-benar bertekad untuk menangkap mangsa yang telah lama ia incar. Ia tidak akan membiarkan usahanya selama ini kembali berakhir sia-sia.
-------
Love you guys~