Pemikiran Negatif Yang Terwujud

1336 Kata
Waktu berlalu begitu saja hingga hari pernikahan itu tiba, “Nah, gini kan enak, walau kamu tetap harus gemukin badan kamu lagi nduk. Jangan kurus-kurus, nanti enggak bisa punya anak,” ucap umi seraya menatap putrinya yang sedang di rias. Walau penampilan Rina mengenakan cadar, tetapi tetap di rias. Rina hanya diam tidak menjawab apa-apa, ia sudah lelah dengan apa yang terjadi seminggu ini. Acara pun di mulai, Rina menunggu di bilik masjid khusus para wanita yang solat berjamaah di masjid pondok pesantren itu. Matanya memejam ketika suara penghulu sudah berucap. Mata Rina membelalak kaget seraya menegakkan tubuhnya ketika mendengar nama lengkap calon suaminya yang seharusnya menjadi adik iparnya itu. Aqlan Delano Abraham, nama orang yang beberapa bulan terkahir mengganggu hidup sekaligus menghancurkan hidupnya. Ingatannya pun langsung tertarik di beberapa bulan lalu ketika ia bertemu dengan Aqlan atau Ano, nama yang ia kenal sebagai calon suaminya. Seorang wanita dengan celana bahan dan blouse navy sedang menatap kaca di hadapannya. Kaca yang menampilkan penampilannya hari ini. “Cantik seperti biasanya,” ucapnya seraya tersenyum penuh percaya diri. “Sya, Sya… cantik sih memang. Tapi kalau belum menikah tandanya tidak cantik,” ucapnya kemudian terkekeh dengan apa yang baru saja dia katakan. “Udah, ah. Gua harus berangkat, kalau telat bisa bahaya. Mana hari ini owner baru mau datang,” ucapnya kemudian ia mengambil hoodie navy untuk ia pakai. Tidak lupa, ia juga memakai masker dan juga kacamatanya. Kacamatanya bukan sebagai fashion saja, melainkan karena matanya minus. Hari gini masih pakai kacamata, tapi wanita bernama lengkap Habeebah Nur Syafrina memang tidak suka memakai soflen. Ia risih ketika harus memakai soflen. Soflen ia gunakan saat dirinya harus datang ke suatu acara yang mengharuskan tampilan yang cantik dan elegan. Syafrina atau yang sering di panggil Syafi itu pun berangkat bekerja. Kantor ia bekerja tidak terlalu jauh dari kosan yang ia tempati. Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit saja ia sudah sampai di kantornya. Akhirnya ia pun sudah sampai di kantor, ia memanggil teman dekatnya yang baru saja akan masuk ke lobi kantor. “Rapunsel!” panggilnya dengan suara keras membuat beberapa orang menoleh ke arahnya. Tidak akan ada yang menegur teriakan Syafi, semua karena sudah terbiasa dengan suara Syafi yang memang keras. “Bisa enggak lo, enggak teriak Sya?” tanya Rapunsel seraya menatap malas Syafi. “Ya kan biar lo denger gua panggil. Kalau gua panggil pakai suara kecil lo enggak akan denger,” jawab Syafi tanpa ada rasa bersalah. Ia pun tersenyum bodoh menurut Rapunsel. “Gua getok pakai sepatu mulut lo Sya!” kesal Rapunsel. “Duh, nyonya. Jangan marah–marah dong. Masih pagi ini, kerutan bisa tambah banyak,” ucap Syafi kemudian terkekeh. “Bodo amat!” kesal Rapunsel dan berjalan meninggalkan Syafi. “Pupun.. jangan ngambek dong,” ucap Syafi membuat Rapunsel langsung membalikkan tubuhnya dan bersiap melayangkan tas ke arah Syafi. Syafi segera menghindar dengan berlari meninggalkan Rapunsel. Seperti anak kecil, tetapi begitulah tingkah Syafi. Namun, semua itu hanya ia lakukan ketika dia belum memulai kagiatan hari ini. Jika dia sudah memulai pekerjaannya, ia akan menjadi orang yang serius, cekatan dan juga fokus. Bahkan ia pun bisa menjadi orang yang tegas tidak pandang bulu. Bahkan dulu ia pernah memarahi atasannya ketika atasannya salah. Alhasil, ia pun di pecat dari pekerjaan sebelumnya. Dan untungnya, ia masih bisa bekerja di perusahaan yang bahkan lebih besar dari perusahaan sebelumnya. Ia di terima bekerja di perusahaan, karena memang pekerjaannya bagus. Selain itu Syafi bisa menguasai tiga bahasa, yaitu Indonesia, Inggris dan juga arab. Dan sekarang Syafi bisa berbahasa korea juga mandarin, tetapi mandarin dia masih belum terlalu bisa. Syafi sudah ada di ruangannya, ia saat ini bekerja sebagai sekretaris CEO perusahaan tersebut. Karena CEO akan pensiun, itu sebabnya hari ini owner datang untuk mengenalkan CEO perusahaan yang baru. Yang ia tahu CEO perusahaan nanti adalah anak pemilik perusahaan. Kenapa anak pemilik perusahaan harus bekerja di perusahaan cabang. Padahal, mereka lebih baik bekerja di perusahaan pusat bukan. Itu yang menjadi pertanyaan Syafi. Ia sangat penasaran, tetapi tidak tahu harus bertanya pada siapa. Bertanya pada CEO sekarang sama saja ia akan mendapatkan ocehan panjang kali lebar. Syafi tetap akan menjadi sekertaris untuk CEO baru ini, dan ia tidak akan bekerja sendirian lagi di karenakan CEO sekarang membawa sekertarisnya juga. Owner datang bersama CEO baru yang ternyata masih muda, Syafi fikir anak owner sudah dewasa bekisaran di atas tigapuluh tahun, tapi ternyata masih berumur duapuluh delapan tahun. Sayafi di perkenalkan sebagai sekertaris oleh CEO yang menjabat sebelumnya. Aqlan Delano Abraham , pria berkulit putih, iris mata coklat dan memiliki tatapan mata tegas, tinggi badan sekitar 185 sentimeter. Di sebelahnya berdiri seorang pria yang sepertinya sekertaris Aqlan. Setelah perkenalan selesai, kini Aqlan dan dua sekertarisnya berada di ruangan yang sama untuk membahas pekerjaan. Aqlan menyebutkan apa saja tugas Syafi. Syafi tetap dengan tugasnya, karena sekertaris Aqlan belum bisa berbahasa indonesia. Selain itu Syafi pun harus mengajari sekertaris Aqlan berbahasa Indonesia. Cukup berat untuk Syafi jika harus mengajarkan orang berbahasa Indonesia. Ia tidak bisa mengajari orang, jadi ia tidak tahu bagaimana memulainya. Satu bulan berlalu, semua berjalan dengan baik. CEO sebelumnya pun sudah benar–benar pensiun. Hari ini, Aqlan mengajak semua karyawan tingkat atas untuk datang ke acara party yang ia buat untuk lebih dekat dengan para karyawan. Aqlan dengan mudah berbincang dengan para karyawan menggunakan bahasa Indonesia, karena sang ayah yang berasal dari Indonesia sering berbicara dengan dirinya menggunakan bahasa Indonesia, bahkan ibunya pun juga terkadang menggunakan bahasa Indonesia. Sekertarisnya tidak ikut di karenakan Aqlan meminta sekertarisnya pergi ke suatu tempat, jadi yang ikut hanya Syafi. Syafi pikir mereka akan pergi kemana, tidak tahunya mereka pergi ke club malam elit di kota Jakarta itu. Syafi tidak nyaman sama sekali berada di tempat itu. Apalagi semua orang sedang minum sekarang, pikiran buruk tiba–tiba saja melayang dalam benaknya. Disana hanya ada dirnya sendiri yang wanita, karena karyawan atas yang wanita sudah menikah semua jadi mereka ijin untuk tidak ikut. Waktu berlalu dan satu persatu orang sudah pamit pulang. Kini tinggal Aqlan dan Syafi saja yang masih di club. “Pak, sudah malam. Apa bapak tidak pulang?” tanya Syafi berhati–hati takut bosnya tersinggung dengan ucapannya. “Berisik! Saya masih mau disini! Jika kamu ingin pulang, sana pulang!” marah Aqlan. Syafi hanya diam saja, tidak berkata lagi. Ia pun hanya diam di samping Aqlan. Entah sudah berapa gelas yang Aqlan minum, wajahnya sudar terlihat merah dan matanya juga merah. Syafi sudah sangat mengantuk, tetapi ia tidak mungkin pulang karena bosnya masih di sana. Sekitar pukul satu dini hari Aqlan baru mau pulang, ia ingin membawa mobil sendiri tetapi di tahan oleh Syafi. “Pak, biar saya saja yang membawa mobilnya,” ucap Syafi. Aqlan pun memberikan kuncinya pada Syafi dan ia duduk di samping supir. Syafi masuk kedalam mobil dan bersiap melajukan mobilnya. Syafi mulai melajukan mobilnya menuju tempat tinggal Aqlan. Jalanan sudah sangat sepi, ia bisa membawa mobil dengan kecepatan tinggi. Untung saja, walau mengantuk jika sudah membawa mobil dengan kecepatan tinggi membuatnya lebih fokus kejalanan. Akhirnya hanya butuh waktu sekitar lima puluh menit, mobil sudah terpakir di parkiran mobil salah satu appartement elit. Syafi turun dari mobil dan menutup pintu mobilnya cukup kuat membuat Aqlan langsung terbangun. Syafi membukakam pintu mobilnya, “Pak, sudah sampai.” Aqlan menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan mabuknya. “Antarkan saya,” ucap Aqlan karena ia tidak bisa berdiri dengan tegap. Walau ragu, Syafi pun membantu Aqlan berjalan. Tubuh Aqlan cukup berat untuk di topang. Ditambah postur tubuh Aqlan yang begitu tinggi untuk dirinya yang tinggnya hanya 167 sentimeter. Aqlan pun memberikan kartu aksesnya pada Syafi, jadi Syafi dengan mudah untuk masuk ke unit appartement Aqlan. Mereka sudah sampai di kamar Aqlan, setelah merebahkan Aqlan Syafi berniat untuk segera pergi dari sana. Namun, pemikiran dirinya yang sedari tadi negatif akhirnya terjadi. Hal yang ia takuti dari seorang pria mabuk adalah melakukan hal–hal tanpa sadar. Syafi berusaha melepaskan diri dari kungkungan Aqlan yang kini berada di atasnya. “Bersenang–senanglah denganku,” ucap Aqlan sebelum melumat bibir ranum Syafi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN