Mata Aqlan tidak lepas dari tubuh telanjang Syafi yang sangat menggiurkan, hingga rasanya ia ingin melakukannya lagi. Namun, Aqlan tidak mau melakukannya lagi supaya ia terlihat tegas dengan perkataannya. Aqlan berjalan ke meja kerjanya dan Syafi memakai pakaiannya dengan raut wajah begitu lesu. Tidak ada gairah lagi dalam hidupnya.
“Pulanglah ke appartementmu! Aku beri kamu ijin hari ini dan besok kamu harus masuk. Jika kamu tidak masuk, aku akan membuatmu lelah bermain denganku!” tegas Aqlan tanpa menoleh ke arah Syafi.
Syafi tidak menjawab, ia memilih keluar dari ruangan Aqlan. Langkah Syafi begitu tidak bersemangat, hingga sapaan dari beberapa karyawan yang menyapanya ia abaikan. Kerudung yang tadi ia pakai, sudah ia tidak pakai lagi. Hanya ia letakkan di dalam tasnya. Ia berjalan menuju mobil taxi yang masih menunggunya. “Pak, tolong antarkan saya ke terminal bus,” ucap Syafi.
“Tapi sebelumnya tolong antarkan saya ke atm, bisa tidak pak? Saya akan bayar dua kali lipat pak untuk bapak karena sudah menunggu saya juga,” ucap Syafi dengan nada suara yang begitu lesu.
Supir taxi yang tadinya ingin marah-marah mengurungkan niatnya melihat wajah sayu Syafi. Ia mengantarkan Syafi ke atm terlebih dahulu, atmnya harus menyebrang karena posisinya ada di sebrang jalan.
“Mbak atm di sini atau mau yang satu arah saja?” tanya supir seraya menatap ke kaca spion.
“Disini saja pak, tidak apa–apa,” jawab Syafi dan ia pun keluar dari mobil.
Syafi berjalan begitu saja dengan pikiran yang begitu kacau dan kalut. Ia sudah menatap ke kanan dan ke kiri sebelum ia menyebrang. Namun, tiba-tiba saja suara klakson panjang itu terdengar memekakkan telinga. Syafi tergeletak di tengah jalan dengan matanya yang sudah terpejam.
Syafi segera di larikan kerumah sakit, supir taxi pun ikut ke rumah sakit karena ia merasa bertanggung jawab atas penumpangnya. Sampai di rumah sakit, Syafi segera menadapatkan pertolongan. Sebenarnya Syafi tidak tertabrak keras, karena orangnya sempat mengerem. Hanya saja kondisi Syafi yang sedang tidak baik–baik saja membuatnya langsung pingsan. Ada lecet di tangan dan juga bagian kakinya.
Supir tadi memberikan keterangan yang ia tahu kepada polisi. Karena tadi ada polisi yang kebetulan lewat di jalan itu. Handpone Syafi yang terkunci membuat akses polisi menjadi sulit. Tapi dari penjelasan sang supir taxi, polisi pun datang ke perusahaan dimana Syafi bekerja. Dari identitas yang di dapat dari ktp Syafi, tidak ada keluarga yang bisa di hubungi, karena nomor ktp milik Syafi terdaftar atas dirinya sendiri. Tidak ada orang lain lagi di daftar kartu keluarganya.
“Selamat siang pak,” sapa polisi pada satpam yang berjaga.
“Siang pak, ada yang bisa di bantu?” tanya satpam itu dengan raut wajah bingung. Ada apa polisi datang ke perusahaannya. Apakah ada kasus berbahaya yang melibatkan perusahaan.
“Apakah disini ada yang mengenal saudari Habeebah Nur Syafrina?” tanya polisi itu membuat satpam yang di tanya kebingungan.
Polisi pun menunjukkan kartu identitas milik Syafi. “Oh, ini namanya mbak Syafi pak. Dia bekerja di sini sebagai sekertaris CEO dan hari ini dia sedang tidak bekerja,” jawab satpam.
“Oh, saya kesini hanya ingin meminta nomor keluarganya. Di karenakan dari data yang kami dapat, saudari Syafi ini hanya sendirian. Apakah ada yang bisa saya temui untuk memina data keluarga saudari Syafi,” jawab polisi itu.
“Kalau boleh tahu, ada apa ya, bapak mencari keluarga mbak Syafi?” tanya satpam itu. Karena ini data pribadi yang seharusnya di jaga. Pihak polisi tidak bisa memintanya begitu saja tanpa ada surat untuk melakukan pengecekan identitas.
“Saudari Syafi mengalami kecelakaan dan saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Kami tidak bisa melacak nomor keluarga yang bisa di hubungi, jadi kami mencari di kantornya untuk memberikan kabar pada keluarganya,” jawab polisi tersebut.
“Bapak tidak sedang bercanda bukan? Jangan–jangan bapak mau menipu?” tanya satpam itu seraya menatap polis dengan tatapan curiga.
“Jangan main–main ya, anda! Saya benar polisi dan saudari Syafi ini mengalami kecelakaan. Kami mau menghubungi keluarganya, tetapi tidak ada nomor kontak yang bisa di hubungi sebagai keluarganya!” tegas polisi itu.
Aqlan yang akan keluar makan siang mengernyitkan dahinya melihat ada polisi di depan lobi kantornya. “Ada apa ini?” tanya Aqlan seraya menatap satpam dan polisi bergantian.
“Mbak Syafi kecelakaan pak, dan polisi mengatakan jika mereka tidak menemukan nomor keluarga yang bisa di hubungi. Jadi, mereka ingin meminta data keluarga yang bisa di hubungi dari perusahaan kita,” jawab satpam.
“Dimana Syafi sekarang? Saya yang akan bertanggung jawab atas semua biaya dia,” ucap Aqlan membuat satpam itu tercengang.
“Maaf, ada hubungan apa anda dengan saudari Syafi?” tanya polisi itu degan tatapan serius.
“Saya bosnya dan dia sekertaris saya. Jadi saya yang akan bertanggung jawab dengan Syafi!” tegas Aqlan.
Polisi pun mengantarkan Aqlan ke rumah sakit dimana Syafi berada. Syafi sudah berada di ruang perawatan biasa. Ia bisa melihat infus sedang tertancap di tangan Syafi. Bagian lutut yang terluka dan bagian lengannya pun juga terluka.
“Bisakah di pindahkan ke ruangan private?” tanya Aqlan seraya bertanya pada suster.
“Baik pak, tapi nona Habeebah hanya mengalami syok saja. Jika dia sudah sadar dan kondisinya membaik dia bisa langsung pulang,” ucap suster.
“Pindahkan saja keruangan private!” tegas Aqlan seraya menatap suster dengan tatapan mengintimidasi.
Suster tidak banyak bicara, ia langsung mengurus semuanya. Kini Syafi sudah di pindahkan keruangan private, tetapi bagi Aqlan ini bukan ruangan private karena ruangannya tidak jauh beda dengan ruangan sebelumnya. Hanya saja di dalam ruangan ini hanya ada Syafi saja.
Ia menatap Syafi yang masih memejamkan matanya. Aqlan hanya diam tidak berbicara sedikitpun, terus memandangi Syafi saja. Perlahan ia melihat mata Syafi mulai bergerak, suara kesakitan keluar dari bibir Syafi hingga Syafi membuka matanya.
Aqlan masih diam di posisinya, ia ingin melihat apa reaksi Syafi setelah ini. Syafi memegangi kepalanya yang sakit, “Aak!” pekikya karena merasakan nyeri di tangannya.
“Kenapa ini?” tanyanya entah pada siapa setelah melihat lukanya.
Syafi pun melihat ketangannya yang sedang di infus, “Gua dimana? Di rumah sakit? Kok bisa?” tanyanya yang langsung mendudukkan tubuhnya. Ia kembali memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Kilasan ketika ia kecelakaan pun tiba–tiba muncul. Ia kemudian melihat ke sekitar tubuhnya yang ternyata luka–luka. Menghela napasnya seketika karena ia masih di beri umur panjang. Bukan maksud untuk bunuh diri hanya saja saat itu pikirannya benar–benar tidak bias berpikir jernih.
Air mata kembali membasahi wajahnya, ia meremas dadanya yang merasakan sesak yang teramat sesak. “Apa yang sudah aku lakukan Tuhan? Apakah ini teguranmu bagi hamba? Tapi, kenapa harus kau renggut hal terbesar dalam hidupku? Apakah aku tidak pantas menjaganya hingga engkau mengambilnya dariku?’ tanyanya yang sudah menangis sesegukan.
Syafi masih belum menyadari kehadiran Aqlan karena ia pikir tidak ada orang yang datang menemaninya di sini.
“Sudah selesai menangisnya?” Tanya Aqlan membuat Syafi langsung melihat ke arah sumber suara.
“Pak Aqlan!” serunya begitu terkejut dengan kehadiran Aqlan di sana.