Eps. 1 Kabur Dari Perjodohan

1068 Kata
"Ini Bu slip setornya," kata Dara pada seorang nasabah, sembari menyerahkan bukti setoran dengan ramah dan senyum membingkai wajah. "Terima kasih, Mbak," balas nasabah menerima slip setoran dengan baik. Pelayanan dari teller di bank ini sangat memuaskan meski antrean panjang. Dara melirik jam di dinding dengan ekor matanya. Waktu istirahat kurang dari lima menit. Dia mengambil papan 'closed' dari sudut meja lalu menggeser ke tengah. Dara Hanum Gatya, petugas teller bank berusia 27 tahun ini sejenak menyandarkan punggungnya yang terasa kaku ke sandaran kursi sebelum memeriksa pekerjaan terakhirnya dan beristirahat. Terdengar suara notifikasi pesan masuk—dari ibunya. Matanya tersentak seakan ada badai dalam pesan itu, namun pada akhirnya ia baca juga pesan itu. [Dara, jangan lupa dengan acara nanti malam. Dev dan keluarganya datang melamarmu] Pesan singkat itu mampu mengguncang dan meruntuhkan dunia Dara. Rasanya dunia yang tidak diharapkannya akan datang membayangi dalam kegelapan. Dia tidak suka dengan Dev—pada kepribadiannya yang lebih suka membanggakan dirinya daripada memperhatikan Dara. Dia masih ingat beberapa pertemuan dalam perjodohan paksa ini selalu berakhir dengan kecewa. “Dara ... mungkin setelah menikah kamu nggak perlu kerja. Kamu akan jadi Nyonya Dev. Kamu bisa duduk santai—tiduran sudah bergelimang harta. Hotel ku menghasilkan banyak dalam sehari.” Tarikan napas Dara semakin berat bila mengingat hal itu. Dia bukan mencari pria mapan dari segi materi. Yang dia cari seorang pria yang akan mendengarkan juga mengerti akan dirinya. Bukan pria yang akan memintanya Berhenti bekerja seperti Dev. --- Jam enam petang. Dara baru selesai dan tinggal merapikan meja sebelum pulang. Dengan tas tersampir di bahu, dia melangkah keluar dari bank tempatnya bekerja. Setiap langkah Dara menuju rumahnya terasa berat. Rumahnya tidak besar, sederhana dengan cat dinding yang mulai memudar. Tapi bagi Dara, rumah itu lebih terasa seperti penjara. Begitu ia membuka pintu, suara ibunya langsung menyambut. “Kamu dari mana aja, Dara? Mama udah nungguin dari tadi!” suara ibunya terdengar tajam, meski tubuhnya terlihat lemah di atas kursi roda. Dara melepas sepatunya dengan perlahan. “Dara baru pulang kerja, Ma. Kan Dara bilang, hari ini ada lembur.” Ibunya mendengus. “Alasan terus. Kamu tahu nggak, besok malam itu penting. Kamu jangan bikin malu keluarga kita, ya. Dev itu pilihan yang terbaik buat kamu.” Dara menggigit bibirnya. Ia sudah mendengar kalimat itu ratusan kali. Dev adalah pria sempurna, kata ibunya. Kaya, tampan, mapan. Tapi bagi Dara, Dev adalah mimpi buruk. Setiap kali bertemu dengannya, pria itu hanya bicara soal dirinya sendiri, tanpa peduli apa yang dirasakan Dara. “Ma, Dara nggak yakin sama Dev,” ujar Dara akhirnya, meski suaranya terdengar ragu. Ibunya langsung memotong. “Kamu nggak yakin? Mau sampai kapan kamu nunggu yang yakin? Mama ini sakit, Dara. Mama nggak mau nanti kamu sendirian. Dev itu pria baik, dia bisa jamin masa depan kamu.” Dara mengepalkan tangannya. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa masa depannya bukan ditentukan oleh pria seperti Dev. Tapi, saat menatap wajah ibunya yang lelah, ia tidak sanggup. “Dara capek, Ma. Dara naik ke kamar dulu,” ucapnya akhirnya, memilih menghindar. Namun, sebelum ia sempat melangkah, ibunya kembali bicara. Kali ini dengan suara yang lebih pelan, tapi menusuk. “Dara, kalau kamu nggak mau nurut, Mama nggak tahu apa yang bakal terjadi sama keluarga kita. Kamu tahu kan, kesehatan Mama ini….” Dara berhenti di tengah tangga. Air matanya hampir tumpah, tapi ia cepat-cepat melangkah ke kamarnya. Di sana, ia menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur dan menatap langit-langit. Kenapa semuanya terasa seperti jebakan? Dara ingin bebas, tapi setiap langkahnya selalu terikat oleh tuntutan keluarga. ––– Malam, dua jam sebelum kedatangan Dev. Dara duduk di tepi jendela kamarnya. Ia memandangi langit malam yang gelap, tanpa bintang. Pikirannya penuh dengan kekacauan. Ia tahu malam ini akan menjadi hari yang menentukan, tapi hatinya menolak untuk menyerah. Di meja kecil di sampingnya, ada koper kecil yang sudah ia siapkan sejak beberapa hari lalu. Itu adalah rencana cadangannya. Jika tekanan dari keluarganya semakin besar, ia akan kabur. Pergi ke mana saja, asal jauh dari Dev dan perjodohan ini. “Maaf, Ma,” bisiknya pelan. “Tapi Dara nggak bisa terus begini.” Dan malam ini, tanpa banyak berpikir lagi, Dara akhirnya melangkah keluar dari rumahnya. Ia membawa koper kecilnya dan berjalan tanpa tujuan. Angin malam menusuk kulitnya, tapi ia tidak peduli. Dara hanya ingin pergi sejauh mungkin. Dara tidak tahu mau ke mana. Dia hanya berjalan tanpa tujuan, sampai akhirnya hujan turun dengan deras. Tubuhnya basah kuyup, tapi dia tidak peduli. Langkahnya membawanya ke sebuah gang kecil yang gelap, dan di ujung gang itu, dia melihat sebuah rumah dengan lampu teras yang masih menyala. Dara mendekati rumah itu dan mengetuk pintu, berharap bisa berteduh sebentar. Namun, ketika pintu terbuka, dia langsung terpaku. Seorang pria berdiri di depannya, hanya memakai celana panjang tanpa baju. Tubuhnya tinggi dan tegap, dengan otot-otot yang terlihat jelas di bawah cahaya lampu. Wajahnya keras, dengan rahang yang tegas dan mata yang tajam seperti elang. "Siapa?" tanya pria itu dingin, suaranya dalam dan penuh kewibawaan. Dara gagap, tidak tahu harus berkata apa. "A-aku ... aku cuma mau numpang berteduh sebentar. Hujannya deras sekali." Pria itu mengerutkan kening, tampak ragu. "Kamu siapa? Ngapain jam segini ada di sini?" "Aku ... aku cuma lewat. Tolong, aku nggak punya tempat lain," jawab Dara, suaranya bergetar. Pria itu menghela napas panjang, lalu membuka pintu lebih lebar. "Masuk." Dara melangkah masuk ke dalam rumah itu. Suasananya sederhana tapi rapi, dengan perabotan minimalis yang terlihat fungsional. "Nama kamu siapa?" tanya pria itu sambil berjalan ke dapur untuk mengambil handuk. "Dara," jawab Dara pelan. Pria itu kembali dengan handuk di tangannya, lalu menyerahkannya kepada Dara. "Aku Elang," ucapnya singkat. "Kebetulan Aku nggak punya baju perempuan. Jadi, pakai handuk ini dulu buat keringin badan kamu." "Terima kasih," ucap Dara sambil mengambil handuk itu. Dia merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat tatapan dingin Elang. Pria itu memiliki aura yang begitu kuat, membuatnya merasa kecil di hadapannya. "Kenapa kamu bisa sampai ke sini, Dara?" tanya Elang sambil bersandar di pintu dapur, matanya mengamati Dara dengan tajam. Dara ragu sejenak. Dia tidak ingin menceritakan masalah keluarganya kepada orang asing, tapi dia juga tidak punya alasan lain yang masuk akal. "Aku ... aku cuma ingin menjauh dari rumah," jawabnya akhirnya. Elang mengangkat alis. "Menjauh dari rumah? Apa kamu kabur?" Dara terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. "Kalau kamu punya masalah, sebaiknya kamu selesaikan, bukan malah lari," lanjut Elang, suaranya terdengar tegas tapi tidak menghakimi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN