“Jangan macam-macam kamu, Yasmin!”
Baru diancam begitu saja Hans sudah panik. Dan, ya ... Yasmin tahu kelemahan suaminya sekarang.
“Panik banget, Mas? Tenang, aku nggak bakal pakai alat itu buat ngancam kamu, kok.”
Selalu saja Hans dibuat emosi ketika berinteraksi dengan istri pertamanya. Ia mencekal pergelangan tangan Yasmin dan meremasnya kuat.
“Jangan main-main sama saya, Yasmin!”
Davina yang selalu menonton pertengkaran suami dan madunya sudah tak tahan. Ia melepas tangan suaminya dari Yasmin.
“Ck, udah, Mas! Kamu jangan kasar juga, dong!”
Yasmin tersenyum dan mengusap tangannya yang sedikit kebas.
"Ngeselin dia, Vin!"
"Yasmin udah bilang nggak akan ngancam kamu. Udah."
Davina mencoba untuk menangkan Hans. Dan lelaki itu hanya mengembuskan napas kasar.
“Kalau mau berangkat hati-hati, ya, Sayangku," ucap Yasmin sengaja dibuat-buat. "Aku mau siap-siap masak makanan spesial buat Papa dan Mama dulu." Perempuan itu kembali mengamati wajah sang suami. "Eits ... tapi, Mas nggak usah kepedean kalau aku bakal masak buat Mas juga.”
Celetukan Yasmin sukses membuat rahang Hans mengetat. Pria itu menatap garang ke arah wanita itu.
“Kamu akan tahu akibatnya kalau terus mempermainkan saya, Yasmin!”
Teriakan itu membuat Yasmin hanya mengedikkan bahunya acuh lalu melangkah ke halaman samping.
Sementara Davina menatap suaminya dalam-dalam. Ingin rasanya ia bergabung dalam acara makan malam bersama keluarga suaminya. Namun, mustahil untuk itu.
“Kapan pernikahan rahasia ini berakhir, Mas? Aku juga pengen diakui sebagai menantu kelaurgamu.”
Hans paham dengan perasaan Davina. Lembut, ia sentuh wajah sang istri.
“Aku akan memperjuangkan itu, Sayang. Aku berangkat dulu. Nanti malam kamu pulang ke apartemen dulu, ya. Kalau Mama dan Papa sudah pulang, baru aku jemput.”
Davina mengangguk, ia memang selalu patuh akan perkataan Hans. Dan itu menjadi salah satu alasan kenapa pria itu sangat sayang pada istri keduanya.
“Hati-hati di jalan, Mas.”
Hans tersenyum dan memberi kecupan singkat di bibir Davina.
Wanita itu menyalimi Hans lalu membiarkan sang suami pergi dengan mobilnya.
Tanpa keduanya tahu, Yasmin melihat semuanya dari halaman samping.
Lagi-lagi wanita bercadar itu hanya menghela napas sambil terus menjemur cuciannya satu per satu.
Tidak lama, Davina menyusul ke arah Yasmin yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
Ia duduk di kursi yang ada di dekat pintu sambil menikmati teh buatan Yasmin.
“Yasmin, lagi-lagi jangan suka bikin Mas Hans emosi. Takutnya kamu juga yang kena imbasnya.”
“Aku enggak ada niat, Mbak,” jawab Yasmin enteng sambil mengangkat ember kosong itu dan duduk di samping Davina. “Lagian, mana mungkin aku bilang beneran.”
“Oh, iya, aku minta maaf enggak bisa bantu kamu masak. Aku mau berangkat sebentar lagi.”
Yasmin tentu tidak keberatan. Bukankah selama ini ia juga melakukan semuanya sendiri?
Wanita itu mengerjakan semua pekerjaan rumah secepat mungkin.
Kegiatan terakhirnya ialah memasak. Ia membuat beberapa menu spesial sekaligus kue basah untuk menyambut kedatangan mertuanya.
Beberapa jam kemudian, hari sudah mulai sore, semua masakan telah siap di atas meja makan.
Yasmin beralih ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan bersiap menunggu kedatangan sang mertua.
Tepat ketika ia turun dari lantai dua, Hans membuka pintu utama.
Langkah pria itu gontai, dengan wajah yang kuyu. Jas kerjanya tersampir di pundak.
“Syukurlah kamu sudah pulang, Mas. Jadi, aku enggak perlu siapin jawaban kalau seandainya Mama dan Papa tanya keberadaan kamu.”
“Terpaksa.”
Jawaban ketus sudah biasa didapatkan oleh Yasmin.
Wanita itu memilih ke kamar dan menyiapkan air hangat untuk Hans membersihkan diri.
“Keluar kamu! Saya tidak suka kamu sembarangan keluar-masuk kamar ini!”
Diusir secara terang-terangan tidak lantas membuat Yasmin mundur begitu saja.
Wanita itu malah gencar mendekati Hans dan dengan berani mengambilkan pakaian ganti untuknya.
“Kenapa, Mas?” tanya Yasmin lalu menyodorkan pakaian ganti Hans. “Bukankah dulu ini juga kamar kita?”
Pertanyaan Yasmin membuat Hans menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia memalingkan wajah ke arah lain lalu memunggungi sang istri.
“Tidak untuk sekarang. Ini kamar saya dan Davina. Kami punya privasi dan kamu harus menghargai itu!”
Yasmin membisu. Ia memilih pergi begitu saja dan lekas membuat minuman untuk Hans.
Jelas ucapan-ucapan Hans memengaruhi perasaannya. Yasmin tahu, di ranjang itulah Davina menjadi istri yang sempurna untuk Hans.
Ah! Lagi-lagi pikiran itu memenuhi otak Yasmin. Ia hanya menunduk lalu memejamkan mata sebentar.
Sebisa mungkin Yasmin menepis bayangan suara-suara yang ia dengar hampir tiap malam dari kamar sebelah.
Rasa sakit hatinya ini ... entah sampai kapan ia bisa menahannya.
“Ingat, Yasmin, berpura-puralah jika rumah tangga kita baik-baik saja di depan Papa dan Mama!”
Suara penuh penekanan itu terdengar arah belakang. Yasmin menoleh, sebelum akhirnya membuang pandangan.
“Iya.”
Saat Yasmin turun, tanpa disangka mobil Hanggara dan Ranti telah memasuki pekarangan rumah.
Hans sontak menarik tangan Yasmin dan membuka pintu utama.
Yang membuat wanita itu semakin kaget, tiba-tiba Hans merangkul bahunya.
Tidak munafik, jantung Yasmin bergemuruh hebat. Perasaannya menggebu-gebu.
Untuk pertama kalinya, ia disentuh oleh Hans. Ya, meskipun hanya untuk sebuah kepalsuan.
“Masyaallah, romantis banget anak Mama ini,” ucap Ranti setelah turun dari mobil. Senyumnya merekah lalu mengusap kepala Yasmin penuh sayang. “Gimana kabar kalian?”
Yasmin dan Hans menyalami tangan Ranti secara bergantian.
“Alhamdulillah kami baik, Ma.” Kali ini Hans yang menjawab.
Hanggara yang sudah berdiri di samping Ranti pun menatap bahagia anak dan menantunya.
“Romantis sekali kamu, Hans. Sampai-sampai tanganmu tidak mau lepas dari Yasmin.”
Yasmin hanya tersenyum simpul lalu mempersilakan mertuanya masuk dan duduk di meja makan.
“Wah, dari aromanya saja sudah enak. Kamu masak sendiri, Sayang?”
Ranti duduk di samping Hanggara. Mata liarnya sibuk memperhatikan satu per satu menu yang dimasak oleh Yasmin.
“Iya, Ma. Semua ini spesial untuk Mama dan Papa. Ayo, Ma, Pa, kita makan dulu.”
“Beruntung sekali punya istri seperti Yasmin, Hans. Solehah, lembut, dan ... bonus pintar masak.”
Hanggara memberi pujian saat satu suap telah masuk ke dalam mulut dan merasakan kelezatan pada makanan itu.
Yasmin hanya tersipu, tangannya sibuk mengambilkan nasi dan beberapa lauk-pauk untuk Hans.
Dan untuk pertama kalinya pula Hans mau memakan hasil masakannya.
Walau memang terpaksa, tapi Yasmin cukup bahagia karena masakannya akhirnya dijamah oleh sang suami.
Ritual makan malam pun berlangsung hangat. Hanggara dan Ranti tidak henti-hentinya memberi pujian atas masakan Yasmin.
Ranti membantu Yasmin untuk membereskan meja makan itu. Sementara Hans mengajak Hanggara untuk duduk di sofa ruang keluarga.
“Sesekali bantu pekerjaan rumah istrimu, Hans. Hal itu tidak akan membuat derajatmu jatuh.”
“Iya, Pa. Akan Hans usahakan sebisanya.”
“Lalu bagaimana, Hans? Apa ... kamu sudah memulai program hamil dengan Yasmin?”
Hans meneguk ludahnya kasar. Ia menggeleng dan tersenyum ringkas. Memasang wajah senormal mungkin.
Jujur saja, ia terngiang dengan makian mamanya di mimpi semalam.
[“Kamu akan menyesal, Hans! Kamu ... menyia-nyiakan mutiara sepertinya. Sadar kamu!”]
Hans tiba-tiba bergidik, menepis bayang itu agar hilang.
“Kamu ini kenapa? Kalau memang belum siap, ya, tidak apa-apa. Memang perlu waktu untuk adaptasi. Tapi, tolong perlakukan Yasmin dengan baik.”
Belum sampai Hans menjawab, Ranti turut duduk di sana sambil membawa sepiring kue lapis dan dadar gulung di tangannya.
Diikuti oleh Yasmin, ia membawa nampan berisi teh manis yang masih panas.
“Cobain buatanku, Ma, Pa.”
Yasmin yang duduk di samping Ranti seketika dilirik oleh Hans.
“Duduk di sini, Yasmin.” Hans menepuk sofa di sampingnya yang kosong.
Menurut, wanita itu berpindah posisi dan duduk bersebelahan dengan Hans.
Tangannya bahkan digenggam oleh suaminya itu. Membuatnya seluruh tubuhnya menegang.
Untuk sesaat Hans menatap mata Yasmin lalu mengalihkan pandangan.
Seperti biasa, ia tidak bisa berlama-lama menatap mata yang harus dia akui ... indah.
“Tadi Mama dengar Papa tanya soal program hamil. Jadi, bagaimana, Yasmin? Mama pengen dengar jawaban dari kamu.”
Tadi, dari dapur Ranti memang sedikit mendengar percakapan suami dan putranya.
Diam-diam Hans memberi kode Yasmin dengan kedipan mata.
Yasmin tidak paham dengan jawaban apa yang harus dikatakan.
Drt-drt-drt!
Ponsel Hans yang tergeletak di atas meja seketika bergetar. Layarnya menyala, menampilkan sebuah nama.
Detak jantung Hans semakin tidak karuan, terlebih atensi kedua orang tuanya beralih pada ponsel itu.
“Siapa, Hans?”
***