Bab 4

1162 Kata
“Istri yang mana, Mas?” Lagi-lagi jawaban Yasmin membuat Hans menggeram kesal. Pria itu lantas melihat Davina yang sudah berada di kursi belakang. “Kita pulang sekarang, Mas.” Hans mengangguk mendengarkan Davina. Hatinya menghangat ketika melihat senyuman di wajah istri keduanya. Ia mulai menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan basemen mall. Di sepanjang perjalanan pulang, nyatanya posisi duduk Davina yang ada di belakang tidak lantas membuat suasana berubah. Hans dan Davina bercakap hangat. Bahkan, sesekali tawa keduanya membuncah hingga membuat suasana sedikit ramai. Yasmin berpaling, rasa cemburu dan sakit hatinya sudah tidak tertahan. Ia tidak ubah seperti orang asing di dalam mobil itu. “Kalau kamu gimana, Yasmin? Kita mampir ke restoran dulu enggak apa-apa, ‘kan?” Davina berusaha mengajak Yasmin ikut dalam topik pembicaraan. “Aku ikut gimana baiknya aja, Mbak.” Perasaan Yasmin yang sudah kepalang kesal membuatnya memilih untuk menjawab dengan kalimat singkat. “Oke. Kita ke restoran seafood, Mas.” Davina mengambil keputusan. “Em, tapi maaf, Mbak, Mas, aku alergi makan seafood.” Hans menghela napas kasar. Ia tidak peduli dengan nada bicara Yasmin yang sedikit merengek. “Gimana dong, Mas? Kita pindah tempat aja gimana?” “Kita akan tetap ke tempat itu, Yasmin!” putus Hans lalu memanuver mobilnya ke tempat parkir sebuah restoran. “Terserah kamu mau makan di mana, Yasmin. Saya dan Davina tetap akan makan di sini.” “Mas, jangan egois, dong. Kasihan Yasmin.” Davina sedikit keberatan dengan sikap Hans yang mengambil keputusan sesuka hati. “Jangan membantah, Vin!” Hans tidak peduli. Ia turun dan membukakan pintu mobil untuk Davina turun. “Yasmin, maaf, ya.” Ada sedikit rasa bersalah dalam hati Davina. “It’s okay, Mbak. Aku bisa cari tempat makan lain di sini.” Yasmin akhirnya ikut turun. Ia melihat suami dan madunya yang saling merangkul ketika melangkah memasuki restoran. Wanita bercadar itu memegangi dadanya yang sakit, sebelum akhirnya melangkah lirih ke arah penjual bakso gerobak di dekat tempat parkir. Bagi Yasmin, makan di pinggir jalan seorang diri lebih baik daripada duduk di ruang makan ber-AC, tapi harus menonton kemesraan Hans dan Davina. Tidak lama, satu mangkuk bakso telah siap dan Yasmin memakannya hingga tandas. Wanita itu menghela napas berkali-kali. Memeriksa ponselnya yang terdapat email masuk. “Alhamdulillah, ya, Allah ... semoga ini awal yang baik buatku.” Senyum semeringah terbit dari bibir di balik cadar milik Yasmin. Setelah beberapa hari lalu mengirimkan beberapa syarat melamar kerja, besok ia mendapat panggilan untuk datang ke sebuah sekolah. Cukup lama wanita itu menunggu, Davina dan Hans keluar dari restoran. Yasmin turut mendekat ke arah mobil dan kembali duduk di kursi depan. “Pindah ke belakang kamu!” Ucapan Hans membuat Yasmin menoleh. Tatapannya datar. “Enggak. Aku akan tetap di sini.” Penolakan tegas Yasmin membuat mata elang Hans menatapnya tajam. “Saya tidak suka dibantah, Yasmin!” Cukup keras bentakan itu terdengar sampai akhirnya Yasmin memilih mengalah. Ia turun dan mempersilakan Davina pindah lebih dulu. Dengan kasar, Yasmin menutup pintu mobil itu sampai Hans dan Davina sama-sama terkejut. Sekarang Yasmin tidak peduli sekalipun Hans meliriknya sinis melalui rear mirror. “Mas, kita jalan sekarang. Kayaknya bentar lagi hujan.” Davina berucap sambil menyentuh lengan suaminya lembut. Hati Hans melunak jika Davina sudah memberi perintah. Pelan, pria itu kemudikan mobilnya untuk pergi dari area restoran. Sepi, rupanya takdir berpihak pada Yasmin kali ini. Tidak ada sedikit pun interaksi antara Davina dan Hans. Hanya saja, sepanjang perjalanan tangan kiri Hans sibuk menggenggam tangan kanan Davina dan mengecupnya berkali-kali. Selama itu pula hati Yasmin bergemuruh meminta emosinya dilampiaskan. Tapi, lagi-lagi Yasmin harus menghadapi kenyataan bahwa lebih baik ia mengalah daripada terus menciptakan suasana panas. Sesampainya di rumah .... Yasmin harus bolak-balik memindahkan beberapa barang belanjaan seorang diri. Hans murni hanya membantu membawa belanjaan Davina. Ia bahkan tidak peduli jika istri pertamanya merasa kesusahan ketika harus mengangkat sekantong beras. “Mbak Yasmin, biar kami saja yang bawa.” Seorang satpam yang berjaga di depan gerbang akhirnya menghampiri setelah melihat Yasmin penuh rasa iba. “Makasih banyak, ya, Pak Hardi. Tolong bawa beras dan galonnya ke dapur.” Pak Hardi mengangguk, sementara Yasmin menutup pintu bagasi mobil setelah dua barang berat itu dibawa oleh Pak Hardi ke dalam rumah. Tepat saat melewati ruang tamu, atensi Yasmin beralih pada Hans yang sedang bercengkerama dengan Davina. “Eh, Yasmin.” Davina berlari kecil dan menuntun Yasmin untuk ikut bergabung di sana. Setelah Yasmin duduk, Davina menyerahkan lima paper bag dari brand ternama. Sekilas, Yasmin melirik ke arah Hans. Wajah pria itu nyatanya langsung kusut saat melihat kehadirannya. Akan tetapi, Yasmin berusaha menormalkan suasana. “Apa ini, Mbak?” “Baju dan tas. Dibelikan Mas Hans buat kamu.” Yasmin diam-diam tersenyum. Matanya pun memancarkan binar bahagia. “Jangan terlalu percaya diri, Yasmin! Saya bahkan tidak ada minat sedikit pun untuk membelikan kamu pakaian itu!” Sakit? Ah, sudah biasa. Rasa bahagia itu direnggut paksa oleh perkataan Hans seketika. Harusnya Yasmin tidak secepat itu puas diri ketika mendengar ucapan Davina. “Iya, aku tahu, kok, Mas. Aku juga sadar diri,” jawab Yasmin lirih. Ia beralih menatap Davina. “Makasih, ya, Mbak, udah berusaha buat aku seneng, meskipun pakai cara bohong.” Senyum yang tadinya mengembang di bibir Davina seketika surut saat mendengar sindiran halus Yasmin. “Kendalikan cara bicaramu, Yasmin! Harusnya kamu bersyukur Davina selalu bersikap baik sama kamu!” Yasmin berdiri lalu menenteng paper bag pemberian Davina. Ditatapnya lamat-lamat sang suami. “Cara aku bicara berguru pada imamku, yaitu kamu, Mas. Aku akan mengimbangi apa pun yang kamu lakukan!” “Kurang ajar! Di mana rasa hormatmu padaku, Yasmin?!” “Apa kamu pernah menghormatimu, Mas?” tanya Yasmin lalu menggeleng beberapa kali. Ia beralih menoleh ke arah Davina. “Ingat, Mbak, lain kali jangan ada madu berisi empedu.” *** Pagi hari .... Tidak seperti biasanya, kali ini Yasmin berpenampilan rapi dan wangi dengan setelan baju syar’i yang dibelikan Davina kemarin. Wanita itu berdiri di samping Hans sambil menenteng tas kecilnya. “Mas, aku izin pergi, ya. Hari ini aku ada panggilan wawancara. Kemarin aku sempat melamar jadi guru TK di sebuah sekolah.” “Terserah. Saya tidak peduli apa pun yang kamu lakukan. Kamu bahkan tidak perlu minta izin ke saya, Yasmin.” Jawaban itu membuat Yasmin membisu. Ia lantas mengulurkan tangan untuk menyalimi Hans. Sekian lama menunggu balasan, tidak ada gerakan dari Hans sedikit pun. Yasmin kembali menarik tangannya lagi dan menunduk. “Aku pergi dulu, Mas. Sarapannya juga sudah aku siapkan di meja. Assalamualaikum.” *** Di sekolah .... Setelah sekitar satu jam melakukan wawancara, akhirnya Yasmin diperbolehkan pulang. Hasil keputusannya akan kembali dikabarkan pada hari lusa. Ia berjalan di luar gerbang sekolah, meraih ponselnya di dalam tas untuk memesan taksi online. Tin-tin! Suara klakson mobil yang berhenti tepat di sampingnya membuat Yasmin mengurungkan niatnya sebentar. Ia melihat ke arah dalam mobil yang ditumpangi seorang pria tampan dan rapi dengan setelan jas hitam yang dikenakan. “Mbak Yasmin mau ke mana? Bareng sama saya saja gimana?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN