Yasmin benar-benar bimbang. Untuk saat ini, ia tidak bisa berpikir banyak tentang keputusannya. Dadanya sesak, kepalanya dipenuhi suara-suara yang saling bertabrakan. Apa yang dilihatnya tadi seperti sebuah kejutan, namun sama sekali tidak memberi rasa senang. Justru sebaliknya—ada gelisah yang menusuk, ragu yang menghantui, juga kebingungan yang mencekik dari segala arah. Wajahnya pucat, pandangannya kosong, seakan seluruh tenaga tersedot habis. Ia tidak tahu harus percaya pada mata atau pada hati yang berontak. Map yang sejak tadi ia genggam terlepas begitu saja, jatuh menghantam kakinya. Namun rasa sakit itu bahkan tidak terasa, kalah oleh guncangan batin yang jauh lebih hebat. Tubuhnya limbung, melorot tanpa daya hingga punggungnya membentur bantalan sofa. Nafasnya terengah-engah,

