“Saya terima nikah dan kawinnya Davina Anggita binti Hendra Hermawan dengan maskawin seperangkat alat salat, dibayar tunai.”
Istri mana yang tidak sakit hati saat melihat suaminya menikahi wanita lain.
Yasmin Almahyra Syahnaz, wanita bercadar itu menjadi saksi atas hari bahagia suaminya sendiri.
Ia duduk di belakang kedua mempelai, menyaksikan bagaimana ikrar itu dikumandangkan dengan lantang dan tanpa ragu.
Air mata Yasmin menetes, tapi secepatnya ia hapus sebelum orang yang ada di sana melihatnya.
Padahal, baru minggu kemarin ia menjadi istri sah dari Hans Pratama Hanggara.
Lantas, detik ini ia harus rela dimadu. Sehancur apa pun perasaannya, Hans tidak peduli.
Meskipun dinikahi secara siri, tapi tetap saja hati pria itu lebih dominan pada Davina.
Wanita itu merupakan kekasih Hans yang sudah bertahun-tahun lamanya menjalin hubungan.
Kenyataannya, pernikahan Hans dengan Yasmin tidak mampu membuat hubungan dengan Davina renggang.
Tidak ingin menyumbang tangis kesedihan, Yasmin akhirnya berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi.
Di balik pintu, Yasmin tumpahkan segala tangisan atas hatinya yang terluka.
Cadar yang ia pakai telah basah oleh air mata. Netranya merah, sementara tubuhnya gemetar.
Menarik napas, ia berusaha menenangkan diri. Mengolah emosi serta perasaannya yang tidak bisa lagi dijelaskan seperti apa sakitnya.
Yasmin kembali keluar, menyaksikan suami dan madunya saling memasangkan cincin di jari manis.
Bahkan, cincin perkawinannya dengan Yasmin rela dilepas hanya untuk diganti dengan cincin wanita itu.
Harus Yasmin akui, Davina memang cantik dan elegan. Pembawaannya lembut dan penuh perhatian.
Tapi, bukan itu alasannya Hans menikahi. Davina lebih dulu menjadi kekasih Hans, jauh sebelum pria itu menikah dengannya karena perjodohan.
Beberapa saat setelah para tamu pergi, rumah itu kembali dalam keadaan hening.
Yasmin menunduk ketika tidak sengaja bertemu pandang dengan Hans yang menatapnya tajam.
“Mulai sekarang, Davina akan tinggal di rumah ini! Dia adalah wanita yang berhak atas saya, Yasmin.”
Deg!
Luka di hati belum juga kering, sekarang ditambah perihnya dengan ucapan menusuk Hans.
“Maafin saya, Yasmin. Tapi, hubungan saya dan Mas Hans udah jauh lebih lama dibanding kamu mengenalnya.”
Ucapan Davina hanya membuat Yasmin membeku. Cinta habis di orang lama benar adanya.
Lalu, apa gunanya Yasmin ada di pernikahan ini? Sungguh, rasanya ingin menyerah.
“Terlepas dari apa pun sebab Mas dan Davina menikah, tapi Mas Hans tetap punya dua istri. Jadi, saya mohon Mas bisa bersikap adil.”
Dengan tutur kata lembut, Yasmin berucap sambil menatap dalam suaminya.
Hans melempar senyum sinis ke arah Yasmin. Ia lantas beralih memandang Davina.
Demi apa pun, Yasmin sakit melihatnya. Tatapan hangat yang dilayangkan Hans kepada Davina jelas belum pernah Yasmin dapat sekali pun.
Setiap harinya, Yasmin harus menghadapi sikap dingin dari Hans. Berbagai perhatian yang ia berikan selalu ditolak mentah-mentah.
“Apa katamu tadi? Adil?” Hans tersenyum sinis. “Jangan harap! Pernikahan kita tidak saya inginkan sama sekali. Jadi, jangan menuntut lebih dari apa yang aku beri!”
Yasmin mundur perlahan. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Setidak berharga itukah pernikahan mereka?
Tanpa pamit, Yasmin pergi ke belakang untuk membereskan sisa makanan untuk perjamuan pernikahan sederhana tadi.
Sementara itu, Hans membawa koper Davina ke dalam kamar yang semula ia tempati bersama Yasmin.
“Mas ....”
“Ya?”
Davina terdiam, seperti sedikit canggung ketika mendapati lirikan dari Yasmin.
“Jangan terlalu ketus sama Yasmin. Bagaimana juga kan, dia istri—“
“Istri saya hanya kamu. Dia sebatas wanita asing legal di atas kertas putih.”
Davina memasang wajah datar. Entah ia harus bahagia atau prihatin, yang jelas tatapannya tidak lepas dari punggung Yasmin yang berkutat di dapur.
“Ini kamar kita, Davina.”
Belum sempat menjawab, Yasmin menyusul masuk ke kamar itu. Ia berdiri di hadapan Hans.
“Tidak, Mas! Ini kamar kita. Aku tidak mau kalau harus pergi dari kamar ini!”
Tangan kekar Hans menyingkirkan tubuh Yasmin dengan kasar. Ia membuka lemari dan mengeluarkan semua barang milik wanita itu.
“Saya tidak suka dibantah. Keputusan saya sudah mutlak, Yasmin. Mulai sekarang, kamar ini jadi kamar saya dan Davina.”
D a d a Yasmin naik-turun. Sabarnya yang seluas samudra tidak lagi berguna di sini.
“Mas! Aku istri pertama kamu! Istri yang kamu nikahi secara sah dan resmi. Aku berhak memilih dan kamu wajib memberi keadilan padaku.”
“Jaga nada bicaramu, Yasmin!” Jari telunjuk Hans menuding di depan wajah sang istri pertama. “Dosa bagimu berbicara sekeras itu pada saya!”
Yasmin menunduk, lagi-lagi ia tidak bisa melawan ketika diingatkan posisinya.
Davina melangkah maju, memegangi lengan sang suami.
“Sudah, Mas, jangan emosi begini. Kita bisa tempati kamar yang lain.”
“Tidak bisa! Saya yang berhak atas rumah ini dan saya juga yang punya kuasa untuk mengambil keputusan!”
Nada keras Hans memekakkan telinga. Mata Yasmin sampai harus memejam ketika mendengarnya.
Yasmin tersenyum tipis. Ia bersimpuh, memunguti satu per satu helai pakaian yang bercecer di lantai.
Wanita itu meletakkannya di dalam keranjang dan meraih beberapa barang yang merupakan miliknya.
“Baik, silakan tempati kamar ini.”
Selepas mengatakan itu, Yasmin langsung keluar dari sana. Ia beralih membuka pintu kamar yang berada tepat di sebelahnya.
Ia rapikan semua baju dan barang-barangnya ke dalam lemari. Membersihkan ruang kamar yang sudah lama tidak ditempati.
Sampai akhirnya, hari berganti malam. Yasmin mengambil posisi berbaring di atas ranjang setelah menunaikan salat Isya.
Tapi, sulit dipercaya bahwa ternyata malam ini ia akan mendapat kejutan sebuah suara dari kamar sebelah.
“Mas, ah ... pelan-pelan ....”
Yasmin menutup kedua telinga dengan tangannya. Bahunya bergetar hebat menahan nyeri di d a d a.
Sehebat itukah malam pertama mereka sampai-sampai bunyi deritnya terdengar?
Menggeleng, Yasmin menepis pikiran kotornya. Ia mengelus d a d a, mengucap istighfar berkali-kali.
Wanita itu turun dari ranjang. Menatap pantulan dirinya di cermin. Melepas cadar yang selalu menutup wajahnya.
“Apa aku seburuk itu, Mas? Sampai-sampai kamu tidak sudi menyentuhku?”
Yasmin menunduk. Sekarang wajahnya tidak lagi tertutup cadar. Tangisnya kembali terdengar seiring dengan suara-suara menjijikkan di kamar samping.
Wanita itu menggenggam tasbih, berusaha menabahkan hati saat tidak kuasa lagi menutup telinga.
Kenyataannya, suara itu semakin keras, mengusik rasa tenang sekaligus kesabaran Yasmin.
Ingin rasanya Yasmin pergi begitu saja. Ingin meminta Hans agar menjatuhkan talak dan menceraikan dirinya.
Tapi, lagi-lagi ia teringat dengan pesan almarhum abah dan umi yang meninggal beberapa bulan lalu.
“Jalan surgamu adalah suamimu ketika kamu menikah nanti, Nduk. Susah senang, bertahanlah. Karena apapun yang terjadi, buah kesabaranmu balasannya adalah pahala dan surga. Jangan sampai bercerai, karena perceraian adalah salah satu hal yang dibenci Gusti Allah.
Berbaktilah sebagai istri. Dan buat dirimu sebagai rumah ternyaman untuk kembali bagi anak dan suamimu nanti."
Isak tangis Yasmin semakin menjadi. Saat itu pula, suara di kamar sebelah semakin membuat hatinya teriris.
“Bagaimana aku bisa bertahan kalau kamu saja tidak pernah mau menganggapku, Mas?”
***