Part 2

1494 Kata
Suara dering ponsel yang sedari tadi berbunyi tak terdengar oleh Agatha, hingga Reno menyadarkannya dari sibuknya ia berkutat dengan pekerjaannya. “Ibu Agatha? Kami dari sekolah Ana dan Rian. Saat ini kami sedang berada di rumah sakit. Tadi Rian sempat mengalami kecelakaan…” suara dari sebrang panggilannya membuat hati Agatha melonjak. Jantungnya serasa berpacu seketika. “Di rumah sakit mana bu?” “Ah, di Rumah Sakit Kasih Bunda. Dekat dengan sekolah. Kami harap ibu segera…” Agatha segera berlari tanpa repot mendengarkan lagi penjelasan dari guru kedua anaknya itu. Bahkan ia tak sempat meminta izin atau menitipkan pekerjaannya pada Reno hingga Reno hanya menatap Agatha yang secepat kilat berlari meninggalkan tumpukan pekerjaannya dengan kebingungan. “No, Agatha kenapa? Kek kebelet gitu. Beneran kebelet?” Tanya Satrio yang baru saja datang dan berpapasan dengan Agatha yang berlari hingga hampir saja menabraknya. “Gak tahu, gue denger rumah sakit gitu. Apa jangan-jangan ada yang sakit ya?” “Yang namanya rumah sakit ya ada yang sakitlah oon. Rumah sehat baru dah orang-orang sehat.” Jawab Satrio sekenanya. “Haduh, baru aja gue mau minta laporan bulan kemarin. Pak bos minta meeting besok pagi.” Keluh Vivian yang berdiri didepan kubikel Agatha tak jauh dari Satrio dan Reno. Kedua teman sekantornya itu terlihat tak mengacuhkannya dan segera berbalik kembali mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing. Takut jadi tumbal Vivian jika mereka menanggapi keluhan Vivian. “Ya udah deh, entar aja. Punya lo berdua mana?” Ah, benar saja Reno dan Satrio ikut kena juga. Di Rumah sakit, Agatha segera mencari keberadaaan Rian. Hatinya benar-benar campur aduk. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia harus menghadapi kenyataan paling pahit yang mungkin saja dialami oleh Rian. Nyatanya, ia sedikit bisa tenang tatkala melihat Rian yang sedang terduduk dengan senyuman di bibirnya. Entah Rian sedang tersenyum pada siapa. Agatha hanya ingin Rian dalam keadaan baik-baik saja tanpa kekurangan suatu apapun. “Rian! Nak, kamu baik-baik aja kan? Mana? Mana yang lukanya nak? Sakit gak? Berdarah gak? Darahnya banyak gak, nak?” Rian dikagetkan dengan kedatangan Agatha yang langsung menyerbunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa ia jawab karena Agatha terus bertanya padanya dan hampir memutar tubuhnya. “Anda bisa saja lebih mencelakainya jika terus bertanya tanpa Rian bisa menjawab.” Suara dari seorang pria baru saja menyadarkannya dari kepanikan. Agatha menatap wajah Rian dan melihat ke sekeliling wajahnya. Ada luka kecil di pelipis matanya. Agatha mengusap dan meniup pelipis Rian perlahan. “Ini pasti sakit ya, nak?!” “Rian baik-baik aja kok mah. Cuma luka dikit aja,” Rian menjawab dengan memperagakan luka kecilnya dengan jemarinya yang kecil. “Ibu Agatha.” Agatha segera bangkit dari berlutunya dan berbalik ke arah suara perempuan yang memanggil namanya. Agatha terkejut melihat lelaki yang dengan santainya berdiri memperhatikannya. agatha masih diliputi kekhawatiran sekaligus kemarahan karena anak bungsunya harus menerima luka yang pastinya menyakitkan bagi anak kecil seumur Rian. “Ah, pasti orang ini yang sudah mencelakai anak saya kan?! Maaf, bapak. Jika sekiranya bapak membawa mobil tidak benar, ada baiknya anda melakukan tes ulang untuk mendapatkan sim anda. Anda bisa lihat luka anak saya bagaimana? Lukanya memang kecil bagi orang dewasa, tapi bagi anak seusia anak saya ini, ini pasti sangat menyakitkan dan perih bagi dia. Jadi…” “Ibu Agatha, mohon tenang.” Ibu guru Sherlin segera memotong tuduhan Agatha. “Bapak ini memang orang yang hampir menabrak anak ibu…” “Tuh kan. Apa saya bilang!” sungut Agatha. Agatha semakin kesal karena ia melihat senyum sinis dari laki-laki yang sudah dengan beraninya membuat anak bungsunya celaka. “Iya, benar, tapi beliau ini juga yang sudah menolong anak ibu. Anak ibu tiba-tiba saja melompat ke jalan raya karena mengejar bola yang ia bawa dan hampir tertabrak oleh mobil bapak ini. Bapak ini juga yang sudah membawa anak ibu ke rumah sakit. Sekarang Rian sudah bisa langsung dibawa pulang karena biaya administrasinya sudah di urus oleh beliau ini.” Jelas Ibu guru Sherlin menjelaskan. Perlahan Agatha mulai tenang karena tuduhannya salah. Pria itu hanya berdiri saja dan memperhatikan reaksi Agatha kemudian. Terlihat jelas Agatha berubah menjadi seperti kucing penurut. Tanpa berniat meminta maaf, Agatha segera berbalik dan menggendong Rian. Sebelum pergi membawa Rian, Agatha menghadap pria yang ia tuduh dan menundukkan kepalanya. Ia sedikit malu dengan tuduhannya yang salah. “Maaf dan… terimakasih atas bantuannya,” Agatha berbalik dan ia tak lupa mengucapkan terimakasih pada guru sekolah Rian. Saat Agatha hampir keluar dari ruangan, lelaki yang ia tuduh memanggilnya dari kejauhan. “Tunggu nyonya,” Agatha mendengar suara panggilan namanya dan suara langkah kaki yang berasal dari pria yang ia tuduh tadi. Agatha enggan untuk berbalik. Ia malu sekaligus kesal entah mengapa pada laki-laki yang terlihat angkuh itu. “Anda melupakan tas anak anda.” Agatha tampak kesulitan membawa tas Rian sekaligus menggendong Rian. Belum lagi tasnya yang ternyata lumayan besar di punggungnya. “Hei!” teriak Agatha pada lelaki itu yang melewatinya begitu saja. Lelaki itu tiba-tiba berbalik lagi, “Reinhard. Nama saya Reinhard.” Ucapnya. Ah. Tak disangka, Reinhard yang ia sangka lelaki angkuh mencoba untuk membantunya. “Terimakasih.” Ucap Agatha. “Akhirnya. Saya kira kamu tidak tahu kata terima kasih yang diucapkan dengan tulus.” Jawab Reinhard dengan senyum tipis yang hampir tak terlihat itu. Reinhard segera menarik dirinya dan pergi meninggalkan taksi yang kini sudah berpenghuni, namun suara kecil yang tadi ia tolong menghentikan langkahnya. “Om, mamah tahu kok caranya bilang makasih dengan tulus. Mamah Cuma cape aja,” Ucap bocah polos itu. “Makasih ya om udah nolong aku, maaf juga tadi aku gak hati-hati.” Reinhard terus menatap kepergian taxi yang membawa bocah polo situ dan juga ibu bawel yang ternyata tak sebawel yang ia kira. “Good boy.” Gumam Reinhard. “Bas, gimana? Disana udah beres?” Tanya Reinhard pada asistennya yang kini masih berada di kantor polisi. “Beres pak. Sebentar lagi saya sampai kesana pak.” “Bagus. Cepat! Kita ada pertemuan satu jam lagi. Kamu tahu saya tidak suka terlambat.” “Berikan laporan hasil meeting tadi ke email saya,” helaan nafas mengawalinya memasuki sebuah gedung yang kini ia kelola. “Sepertinya perusahaan ini benar-benar sedang dalam keadaan krisis.” Ditengah langkah kakinya yang cukup panjang, Reinhard terlihat kesal karena beberapa hari ini ia harus rela satu ruangan dengan orang-orang yang lambat. “Pihak teknisi katanya dalam 2 hari akan selesai pak.” “Apa tidak bisa lebih cepat. Saya tidak tahan harus selalu menunggu.” “Maaf pak.” Bastian sudah paham betul dengan karakter luar biasa dari atasannya ini. Reinhard Danial Wiraditya Salah satu pebisnis ulung yang sudah malang melintang di dunia bisnis, bahkan saat ia masih remaja. Memiliki karakter keras, tidak sabar, membenci debu. Ah lebih tepatnya, ia alergi debu. Debu sekecil apapun ia maka hidungnya akan memerah karena tak berhenti bersin dan bagi yang baru mengenalnya mungkin mengira Reinhard adalah pria angkuh. Mereka akan terkagum dengan beberapa pencapaiannya yang ia raih tidak hanya di dunia bisnis. Hanya segelintir orang yang tahu bahwa Reinhard juga adalah pemilik dari beberapa panti asuhan yang ia kelola di beberapa tempat. Salah seorang yang sangat peduli sosial namun ia tak pernah suka orang lain mengetahuinya. Ia juga benci sorot kamera. “Pastikan jangan kurang dari 2 hari. Ganti saja jika mereka masih beralasan. “Baik pak.” Ah, iya. Reinhard juga adalah sosok yang sedikit tegas. Mungkin kejam bagi sebagian orang. Ia hanya tidak suka dengan waktu yang terbuang percuma. Orang paling disiplin di dunia. Seorang yang penggila hidup sehat dan penggila olahraga. “Kapan kantormu siap?” Tanya Reinhard lagi. “Sudah beres pak. Saya hanya harus memindahkan beberapa barang.” “Bagus. Aku bosan melihat wajahmu sepanjang bekerja.” “Anda terlalu berterus terang pak.” Kesal Bastian, asisten pribadi Reinhard yang setiap hari menjadi tempat Reinhard mengomel dengan kata-kata pedasnya. Bukan hal yang aneh. Pria ini sebenarnya bisa sedikit bercanda, hanya saja wajahnya terlalu kaku. Dan ia hanya memperlihatkan sisinya yang ini pada asisten dan juga ibunya saja. Agatha segera bergegas memasuki lift yang akan segera menutup. Sepatu hitam mengkilap menahan pintu lift dan ia tak piker panjang segera menerobos masuk dengan badannya yang terasa sangkat lengket karena harus berlari menemui anaknya, dan kini ia harus segera sampai kantor atau ia akan mendapatkan peringatan dari bos sekaligus sahabatnya itu. “Maaf, terimakasih.” Agatha segera berbalik menghadap pintu lift. Pintu lift tak lama sampai di lantai tempat Agatha bekerja. Suara ketukan sepatu terdengar dari arah belakang punggungnya. Seingatnya, ia tidak memiliki teman dengan bau parfum semahal ini. Mungkin hanya client yang sedang ada meeting disini, batinnya. Agatha berhenti sejenak, ia penasaran dengan orang yang ada dibelakangnya. Suara langkahnya ikut berhenti. Agatha kemudian melangkahkan kakinya lagi. Suara sepatunya terdengar melangkah lagi. Kemudian dengan sengaja Agatha menjatuhkan nametagnya dan memungutnya kembali. Agatha melihat dari ujung matanya. Lelaki tadi yang sempat ia tuduh macam-macam. Agatha segera berbalik dengan perasaan kesalnya. “Darimana kamu tahu saya kerja disini? Sejak kapan kamu menguntit saya?” “Apa Kamu lupa lagi kata terimakasih?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN