Rasanya seperti mimpi. Isma bersedia mengabulkan permintaanku untuk pulang ke rumah kami, meski alasannya hanya demi Mama. Di sini, di dalam mobil yang disopiri Roy, aku dan dia duduk berdampingan di bangku belakang dengan Ayra yang tidur di pangkuan ibunya. Senyum di bibirku tak pernah memudar semenjak keberangkatan kami. Setelah satu bulan lebih tinggal berjauhan, akhirnya kini kami bisa berdekatan dan aku bisa menghirup aroma tubuh istriku yang sudah sangat aku rindukan. Sikap Isma memang masih dingin dan lebih banyak diam, tetapi aku akan bersabar menghadapinya. Selama apa pun waktu yang ia butuhkan untuk bisa memaafkan suaminya ini, selama itu pula aku akan setia menunggu Isma-ku kembali. "Eh, sayangnya Ayah bangun," ujarku saat melihat Ayra menggeliat dan membuka mata. Isma yan

