Otoritas

2225 Kata
Setelah satu jam terkurung di salah satu ruangan, guna mengurus kontrak kerja, Nara akhirnya keluar juga. Wajahnya lesu saat Anggun bergegas menghampiri. "Gimana?" Anggun tampaknya sudah penasaran sekali ingin mendengar cerita Nara, tentang kejadian di dalam dan juga keputusannya mengenai pekerjaan. Apakah Nara akhirnya menerima, atau kekeh menolak? "Nar, jawab." Tapi sepertinya Nara malas menceritakan ulang. "Nara!" Dan Anggun yang terus mengikuti langkahnya, menuntut diceritakan. "Inara!" "Apa sih Nggun?" Nara berdecak, sebal karena Anggun menarik-narik lengannya. "Lapar nih." Perut Nara memang sudah keroncongan sejak setengah jam lalu, bahkan suara perutnya tadi sukses mempermalukannya di hadapan Bagas. Sampai-sampai Nara sempat mati gaya, kikuk menahan malu luar biasa. Meski begitu ada berkahnya juga sebenarnya, Bagas jadi menawarinya makan sehabis kontrak kerja Nara selesai ditandatangani. Dan harusnya sekarang Nara tengah makan bersama Bagas, bukan Anggun. Namun karena panggilan dari Sean, semua itu gagal total. Bagas terpaksa meralat ajakannya dengan menggantinya di lain waktu, karena harus mengurusi Sean. Memangnya dia baby sitter Sean apa? Menyebalkan! Alhasil makan bareng laki-laki tampan pun gagal terlaksana. Yang ada Nara malah ditemani Anggun dengan mulut cerewetnya yang berisik dan hal itu menarik perhatian pengunjung kantin Bee Star Entertainment. Tambahan informasi, kantin Bee Star Entertainment layaknya restoran bintang lima, dengan konsep parasmanan di mana semua pengunjung bebas memilih makanan apa yang ingin dimakan, dan semua makanan di sini tentunya higienis dan mahal. Nasi rames aja empat puluh dua ribu, padahal cuma pakai daging dendeng dan acar sayur, juga nuget dan gorengan. Minuman es teh manis pun lima belas ribu, walau di menu namanya ice tea. Beda nama saja harganya berbanding jauh. Sungguh fantastis. Nara jadi penasaran, karyawan di perusahaan ini gajinya berapa? Kalau untuk sekali makan aja harus merogoh kocek sampai lima puluh ribu. "Biar aku yang bayar, tapi syaratnya kamu bakal cerita, gimana?" Anggun mengeluarkan jurus andalannya, sembari menaik turunkan kedua alisnya. Seolah sangat yakin kalau kali ini Nara tidak akan bisa menolak penawarannya. Nara mengembuskan napas kasar, berhubung ia miskin dan isi dompetnya sekarang tersisa satu lembar uang lima puluh ribu, maka mau tidak mau Nara pun menyanggupi syarat yang diajukan Anggun. "Oke." Dari pada ia harus menanggung malu karena tidak bisa membayar makanan yang bahkan belum ia makan. Di sini memang harus bayar dulu baru makan. "Mbak, tambah mie goreng sama es jeruk, kentang goreng juga boleh. Oh ya, sama es krim vanila, yang bayar dia." Nara menunjuk Anggun, yang berdiri di sebelahnya dengan tatapan cengo. "Nar, seriously?" Anggun mendelik, tak percaya Nara akan menambah orderan di saat ia sudah menyodorkan selembar uang seratus ribu pada kasir. Kalau diakumulasi dengan tambahan order Nara barusan, jelas masih kurang satu lembar lagi. Padahal Anggun juga lagi bokek, mengingat keran duitnya lagi ngambek. Ya, orangtua Anggun memblokir semua kartu miliknya, hanya karena hal sepele. Anggun menolak perjodohan. "Ya, kan katanya kamu yang mau bayar?" Nara tersenyum lebar, seakan tak mau tahu pokoknya Anggun harus membayar orderan tambahannya juga. "Bawain sekalian, aku tunggu di sana," Nara mengedikkan kepala, menunjuk meja paling belakang. Sedangkan tangannya mengambil nampan berisi pesanan pertamanya, "udah lapar banget soalnya." Anggun mengembuskan napas kasar. Demi memenuhi rasa penasarannya, mau tidak mau Anggun kembali menyodorkan uang seratus ribu. Ia melirik Nara yang sudah menempatkan diri di meja paling belakang, tampak asyik menikmati makanannya. "Dikasih hati, minta jantung. Untung sahabat, kalau enggak udah aku gantung di pohon cabe!" gerutu Anggun. Sesuai kesepakatan, Nara akan menceritakan semua hal yang terjadi di dalam ruangan tadi, juga memberitahu keputusan apa yang akhirnya ia ambil. Selepas menghabiskan nasi rames dan mie goreng----Nara emang doyan makan banget----Nara mulai menceritakan semuanya, tanpa terlewat, sambil menyemil kentang goreng dipadukan dengan es krim vanila sebagai pengganti saus. Nara memang pencipta sekte sesat makan kentang goreng. Bisa-bisanya es krim vanila jadi pengganti saus. Emang enak apa? "Jadi?" Anggun mencondongkan tubuhnya, penasaran akan akhir dari cerita Nara. "Kamu terima pekerjaan itu?" Nara mengedikkan bahu, acuh tak acuh. "Ya, mau gimana lagi, aku nggak bisa nolak sama gaji yang ditawarkan, apalagi sama keuntungan-keuntungan lain yang ditawarkan, kayak tinggal di apartement. Gila, aku nggak perlu bayar sewa kos lagi, itu artinya gaji aku bisa utuh. Belum lagi makan, transport, uang jajan, bahkan semua kebutuhan aku dicukupi. Ya, walau itu artinya aku harus siap dengan segala konsekuensinya, jadi baby sitter Sean." Nara tersenyum sakartik. "Nggak apa-apalah, kalau itu bisa merubah hidup aku jadi lebih baik." "Kamu yakin?" Anggun terperangah, tak percaya dengan keputusan Nara. Ini Celine Inara Cantika loh, haters garis keras Sean yang bahkan pernah berkoar ingin melenyapkan Sean dari muka bumi ini saking bencinya pada laki-laki itu. Tapi sekarang malah rela jadi asisten pribadi Sean, hanya karena sebuah keuntungan dan gaji, ya memang gajinya nggak kaleng-kaleng. Gila, tiga puluh lima juta sih bayaran Anggun buat pemotretan majalah dewasa, dengan pose-pose ekstrim tentunya. Ya, Anggun memang tak pernah mematok harga tinggi, asalkan ia punya job, biar kelihatan nggak nganggur aja. Tapi kayaknya mulai sekarang Anggun benar-benar butuh job, bukan lagi sebatas biar nggak kelihatan nganggur, melainkan buat menyambung hidup. Nara mengangguk tanpa ragu. "Yakin aja sih, lagian cuma ngurusin Sean ini. Malah aku bisa sekalian lampiasin kekesalan aku secara langsung," tambah Nara, dengan senyum penuh arti. "Maksud kamu?" Anggun tak paham. "Menyelam sambil minum air, ah, masa gitu aja nggak paham." Nara berdecak, otak Anggun memang terkadang sangat lemot sekali kalau diajak memahami konteks pembicaraan. "Gini loh, Anggun Cimory," Nara pun terpaksa menjelaskan dengan bahasa sesederhana mungkin, "aku bakal realisasikan semua azab yang ada di cerita aku, dengan begitu dendam aku akan terbalaskan secara nyata, udah gitu aku bisa dapat bonus dari semua itu. Yups, aku dapat gajinya, aku juga dapat kesempatan emas buat ngerjain Sean habis-habisan, setiap waktu, setiap detik, dan sepuasnya!" Nara tersenyum penuh kemenangan, tak sabar ingin cepat-cepat mewujudkan semua angan-angannya selama ini. Membuat Sean Pradipta menderita dan merasakan apa yang Nara rasakan selama ini! Anggun termenung sesaat, mencoba memahami dengan baik pemikiran Nara kali ini, cukup ekstrim memang. Lalu ia menatap Nara sepenuhnya, dengan ekspresi penuh tanya. "Why?" Nara yang menyadari pun merasa keheranan. "Nar, kamu nggak gila 'kan?" Anggun mengulurkan tangannya, menyentuh kening Nara untuk memastikan suhu tubuhnya normal. "Masih waras 'kan?" lanjut Anggun, prihatin. Nara menepis tangan Anggun. "Ya masihlah, emang kamu pikir aku gila. Meski aku sempat frustrasi gara-gara kamu jebak aku sampai harus menjadi asisten pribadi Sean, tapi kewarasan masih jadi yang terdepan. Makanya aku punya ide brilian itu, biar nggak rugi-rugi amat. Ya, walaupun jadi asisten pribadi Sean sebenarnya aku juga nggak dirugikan apa pun sih, malah untung besar. Kamu hitung sendiri saja berapa banyak keuntungan yang bakal aku dapat," terang Nara, sesumbar. Ian belum tahu saja apa yang akan terjadi saat pekerjaannya dimulai nanti. "Tapi ... emangnya kamu nggak curiga Nar?" tanya Anggun selanjutnya. "Curiga?" Nara mengernyit. "Curiga soal apa?" "Ya soal kamu yang tiba-tiba diterima kerja jadi asisten pribadi Sean. Agak janggal nggak sih? Kalau memang yang kamu ceritakan tadi kejadian asli di dalam, bukankah harusnya kamu jadi yang paling awal buat dieliminasi? Bukan malah diterima jadi asisten pribadi Sean. Ingat Nara, kamu bahkan secara terang-terangan loh bilang kalau kamu mau lenyapin Sean, kamu juga bilang macem-macem tentang Sean. Harusnya kamu dilaporkan ke kantor polisi, karena berpotensi membahayakan keselamatan Sean. Kamu meresahkan, Nara. Tapi apa yang terjadi, mereka malah menerima kamu. Benar-benar aneh nggak sih?" Nara tertegun mendengar penuturan panjang lebar Anggun. Ia memang sempat terusik oleh pemikiran tersebut, selama setengah jam ia mencari-cari satu saja alasan yang membuat Sean menerimanya. Bahkan dari kriteria yang mereka tulis di iklan pendaftaran jadi asisten pribadi, jelas Nara tidak masuk satu pun. Ia tidak cantik, apalagi berpenampilan menarik. Omongannya ceplas-ceplos, minim sopan santun, dibandingkan cakap berkomunikasi, Nara justru gagap komunikasi. Itu terbukti saat awal-awal interview, sebelum Sean mulai menyerangnya dengan kata-kata tak enak didengar dan ia tersulut emosi karena tidak terima. Alhasil interview tadi bukanlah bentuk pembuktian komunikasi yang baik, melainkan perdebatan sangat menyebalkan. Lantas, apa yang membuat Sean memilihnya? Nara bertanya-tanya. Tapi kemudian mengabaikannya. Ngapain juga mikirin itu, biar saja itu jadi urusan Sean. Yang terpenting aku bisa bangkit dari kemiskinan, aku bosan hidup serba kekurangan. Aku mau jadi orang kaya dan lewat Sean hal itu bisa terwujud. "Bodo amat ah, ngapain mikirin itu. Apa pun alasannya, aku nggak peduli, yang penting aku bisa menyambung hidup, syukur-syukur aku bisa kaya kan? Kalau aku gajian nanti, utang-utang aku ke kamu bakal langsung aku bayar," kata Nara, bersemangat. Anggun berdecak. "Selow aja kali, aku bukan rentenir yang bakal kejar-kejar buat minta kamu bayar utang. Yang terpenting, kamu bisa mencukupi kebutuhan kamu, masalah utang nanti saja." Nara tersenyum lebar, Anggun memang yang terbaik. "Tuhan baik banget ya kasih aku sahabat sebaik kamu." "Iya dong, mana cantik paripurna, seksi bahenol, dan suka menabung, calon menantu idaman." Dan Anggun menyahut dengan narsis. Nara mencebikkan bibirnya, sebal dengan kenarsisan Anggun yang nggak ada obatnya. "Mulai deh, nggak jadi baik kalau gitu. Soalnya orang baik nggak narsis." "Sue!" Anggun memutar bola matanya, malas. Tapi kemudian keduanya kembali tergelak saat topik pembicaraan berganti, membahas betapa tampan dan gagahnya Bagas contohnya. Bagas si calon suamiable! Kayaknya Nara mulai naksir sama Bagas. *** Sean baru saja menyelesaikan kegiatan terakhirnya hari ini, melakukan adegan pengambilan gambar untuk sebuah majalah mode. Aktivitasnya yang padat seharian, membuat Sean letih tak karuan sehingga ia memilih memejamkan mata di perjalanan pulang. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, jalanan ibu kota masih terpantau ramai walau tidak semacet ketika beberapa jam lalu saat jam pulang kantor. "Besok kosongkan semua jadwalku," pinta Sean dengan mata masih terpejam. "Tapi besok kan jadwal kau sangat padat," sahut Bagas yang tengah fokus mengemudi, menyempatkan diri untuk melihat Sean yang duduk di bangku penumpang belakang lewat kaca spion di atasnya. "Alihkan semua, aku mau istirahat, dan suruh si asisten baru buat datang pagi-pagi ke apartemen," lanjut Sean, tak mau tahu sepadat apa besok jadwalnya. Ada dua pertemuan yang sebenarnya harus Sean datangi, dengan perusahaan ponsel ternama karena ia didapuk jadi brand ambassador dan perusahaan skincare pria yang juga mendapuknya sebagai brand ambassador, belum lagi jadwal pemotretan dengan majalah-majalah mode lainnya, juga syuting iklan sebuah produk makanan yang sudah dijadwalkan. Tapi Sean meminta semuanya dialihkan, padahal hari-hari selanjutnya pun jadwal Sean sangat padat dengan undangan-undangan podcase dan berbagai program acara televisi guna mempromosikan lagu terbarunya. Jangan lupakan penyelesaian album baru dan persiapan untuk tur keliling Indonesia dan beberapa negara tetangga. "Tapi ...." Bagas masih mau mengajukan protes, akan permintaan Sean yang mendadak dan membuat pekerjaannya bertumpuk. Namun Bagas mengurungkan niatnya, saat Sean berdecak keras. Hal itu menandakan Sean enggan dibantah dan tak mau dengar alasan apa pun, juga mau tidak mau Bagas harus menuruti kemauannya. "Oke." Bagas pun mengalah, mengembuskan napas panjang. Malam ini ia terpaksa begadang untuk mengatur ulang jadwal Sean, belum lagi memberitahu pada beberapa pihak terkait. Sungguh melelahkan! "Soal si asisten baru, kau sudah memberitahunya semua? Peraturan, juga sop selama bekerja, serta tugas dan tanggung jawabnya. Kau sudah memberikan jurnal panduannya 'kan?" Kali ini Sean membuka mata, memandang lurus Bagas yang masih fokus menyetir. "Belum," jawab Bagas, berusaha tetap tenang meski tahu jawabannya membuat Sean marah besar. "Kau tadi memintaku buru-buru ke lokasi syuting, jadi aku lupa memberitahunya soal buku panduan. Lagipula dia kan besok baru mulai kerja, jadi besok saja aku beritahu." Sean berdecak, makin kesal mendengar alasan Bagas. "Kau selalu tak becus, mengurus hal sepele saja masih teledor!" Untungnya dari dulu Bagas seorang yang penyabar, tak peduli sepedas apa mulut Sean mengatainya, Bagas akan selalu memaklumi. Karena bagi Bagas, Sean bukan hanya sekadar artis di bawah tanggung jawabnya, tapi juga seorang saudara, meski tidak serahim dan memiliki darah berbeda. "Maaf." Bagas akan selalu meminta maaf, merendah dan mengalah jika berurusan dengan Sean. Ia hanya tidak mau berdebat, apalagi sampai membuat emosi Sean meledak-ledak. Walau terkadang justru ia sendiri yang lepas kontrol. "Akan aku pastikan besok dia mempelajari semua isi jurnal---" "Nggak perlu!" tukas Sean, menginterupsi ucapan Bagas. "Biar aku saja yang memastikan dia mempelajari semuanya dalam satu hari. Jadi sebaiknya kau bilang agar dia datang jam lima pagi ke apartemenku." "Apa? Jam lima pagi? Kau serius?" Bagas tak habis pikir mendengar permintaan Sean kali ini. Sean benar-benar keterlaluan! Aturan kerja Nara sebagai asisten pribadi, dimulai dari pukul tujuh pagi sampai jam sembilan malam. Di mana apabila melewati jam sembilan, hanya dikhususkan jika memang masih ada keperluan mendesak ataupun pekerjaan Sean belum selesai. Tapi selebihnya Nara hanya akan bekerja selama empat belas jam. Tapi Sean secara sepihak meminta Nara besok datang jam lima pagi. Mau ngapain? Suruh sikat WC? Jelas itu bukan pekerjaan Nara, ada petugas kebersihan yang biasa melakukannya. "Sean, jam kerja Nara dimulai pukul tujuh pagi sampai jam sembilan malam." Bagas melanjutkan, memberitahu soal jam kerja Nara pada Sean. "Jadi kau tak bisa seenaknya menyuruh Nara datang jam lima pagi. Semua itu sudah tertulis di kontrak kerja yang disepakati dengan Nara." "Persetan dengan kontrak kerja, atau kesepakatan apa pun. Karena besok aku akan merubahnya." Lagi, Sean bertindak semaunya tanpa konfirmasi ataupun diskusi dengan Bagas terlebih dahulu. "Dan satu hal lagi, Nara bekerja di bawahku, bukan kau, jadi semua yang menentukan aku, termasuk jam kerja dan segala sesuatunya. Kau tak berhak atas ini, hanya aku yang memiliki otoritas di sini. Jadi turuti kemauanku, kecuali kau juga mau aku memecatmu. Masih banyak orang yang mau jadi managerku, kalau kau lupa?" Sean si keras kepala dan manusia paling menyebalkan! Lagi-lagi Bagas hanya bisa menghela napas panjang, terpaksa mengiyakan. "Oke, aku akan mengabarinya nanti." Bagas kini merasa kasihan pada Nara, entah kesalahan macam apa yang diperbuatnya sampai Sean begitu berambisi untuk menekannya. Nara yang malang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN