Bagas, berjalan gagah keluar dari lift prioritas yang dikhususkan hanya untuk penghuni lantai paling atas, ketika waktu baru menunjukkan pukul enam pagi. Tapi ia sudah berada di gedung Mega Royalty, salah satu gedung apartemen elit nan mewah yang berdiri di pusat kota. Bukan sembarang orang yang bisa memiliki unit apartemen di sini, hanya beberapa golongan kelas atas yang tentunya rela merogoh kocek lima kali lipat dari harga pasaran hunian mewah tersebut. Itu kenapa Bagas memilih membeli rumah sederhana dari pada tinggal di hunian seperti ini.
Lalu untuk apa ia pagi-pagi begini sudah ada di sana?
Tentu untuk sebuah pekerjaan, rutinitas harian yang wajib ia lakukan. Bagas bekerja sebagai seorang manager penyanyi solo pria yang sedang naik daun———Sean Pradipta———sekaligus anak dari orangtua angkatnya. Bukan hanya sebagai manager, Bagas juga menanggung beban untuk memastikan semua kebutuhan, terutama kesehatan Sean, karena orangtuanya sudah memasrahkan semua pada Bagas. Itu kenapa Bagas selalu datang setiap pagi, hanya untuk memastikan Sean sarapan tepat waktu dan mengikuti semua jadwal yang sudah disusun.
Biasanya tugas semacam ini akan dilakukan oleh asisten pribadi Sean, sekaligus tangan kanan Bagas untuk mengurus semua keperluan Sean. Namun berhubung asisten pribadi Sean dipecat sebulan lalu, mau tidak mau selama sebulan ini Bagas yang harus melakukan semua kegiatan melelahkan itu. Percayalah, jadi asisten pribadi Sean lebih mirip seperti jadi baby sitter-nya.
"Kau sudah bangun?" Bagas membuka kamar Sean, agak terkejut mendapati laki-laki itu tengah memakai pakaiannya di depan cermin besar yang menunjukkan pantulan dirinya sendiri.
"Hm." Sean menyahuti dengan gumaman. Meski memiliki suara emas, nyatanya Sean pelit dalam hal berbicara. Kalau tidak penting-penting amat, maka Sean akan mengabaikan siapa pun yang berbicara padanya sekalipun itu Bagas maupun orangtuanya.
Semenjak skandal fitnah setahun silam, hubungan Sean dengan orangtuanya yang juga seorang aktor dan aktris, menjadi sangat renggang. Mereka tidak lagi tampil harmonis, kecuali terpaksa saat ada kamera yang menyorot. Bukan tanpa alasan hal itu bisa terjadi, tentu semua itu ada asal mulanya. Sean kecewa dengan respon orangtuanya yang kala itu lebih percaya rumor negatif tentang dirinya, ketimbang ucapan anak mereka sendiri. Merasa dihakimi dan dianggap mempermalukan nama baik kedua orangtuanya, lantas Sean memilih angkat kaki dari rumah. Bahkan sejak kejadian itu ia tidak pernah menginjakkan kakinya lagi di rumah yang menyimpan banyak kenangan masa kecilnya sampai remaja.
"Tadi mama telepon, tanya keadaan kamu." Bagas yang sudah duduk di tepian ranjang kembali berbicara. "Beliau minta kamu pulang kalau ada waktu luang, mama bilang kita udah lama nggak pernah makan malam bersama. Kebetulan papa juga lagi cuti, jadi kita bisa kumpul————"
"Aku sibuk!" Sean menyela ucapan Bagas, tak berminat mendengar lebih banyak informasi yang ingin laki-laki itu sampaikan.
"Tapi, Sean ...." Bagas berusaha membujuk agar Sean mau mempertimbangkan permintaan mamanya.
Namun, bukan Sean namanya jika tidak bersikap menyebalkan. "Kau tuli?" Dan juga bermulut pedas. Cabai setan pun kalah pedas dari omongannya. "Aku bilang, aku sibuk. Lagian kau sendiri yang bilang kalau hari ini jadwalku padat."
Bagas mengembuskan napas panjang, tak lagi berniat memperpanjang perdebatan yang hanya akan berakhir sia-sia. Percuma menasehati Sean, laki-laki itu tak akan mau mendengarkan ucapan orang lain, sekalipun dirinya yang sudah setia menemaninya selama bertahun-tahun.
"Oke." Bagas kembali bersikap professional. "Dan kau tetap akan menghadiri interview pagi ini? Ayolah Sean, ini cuma interview biasa, kita bisa serahkan semua sama Rudi. Atau kau bisa langsung memilihnya, kau sendiri sudah membaca semua resume para kandidatnya. Bahkan kau sudah menentukan pilihan sejak awal," terang Bagas yang memang mengetahui semua keputusan yang diambil Sean.
Ya, sejak awal audisi dimulai, Sean memang sudah menentukan target incarannya yang akan ia jadikan samsak. Yups, Sean memang butuhnya samsak, bukan asisten pribadi. Itu kenapa ia sudah memilih calon samsaknya sejak hari pertama audisi, di mana para pelamar mencapai seribu orang hanya dalam beberapa jam. Nama Sean memang sedang digilai oleh khalayak umum, terutama kaum perempuan muda. Jadi tak heran jika di hari pertama saja mereka berbondong-bondong mendaftarkan diri. Namun sayangnya tak ada satu pun yang menarik perhatian Sean, kecuali satu orang yang berhasil membuat Sean menggebu-gebu saat melihat formulir pendaftarannya.
My little flea.
Satu bulan mencari keberadaan si little flea———nama kesayangan yang Sean sematkan khusus untuk salah seorang haters-nya——akhirnya Sean menemukan si little flea di antara ribuan pelamar. Sean yang awalnya tidak peduli dengan audisi pun malah jadi yang paling antusias, bahkan dari awal ia meminta staff perekrutan untuk memasukkan si little flea ke dalam salah satu kandidat terpilih dari sepuluh kandidat yang akan diseleksi. Ia juga yang mengusulkan agar para kandidat diinterview langsung olehnya. Bagas awalnya tidak setuju, tapi tak ada seorang pun yang bisa melarang kehendak seorang Sean Pradipta. Ujung-ujungnya Bagas hanya bisa mengalah dan mengikuti semua kemauan Sean, termasuk interview kali ini.
"Aku tahu, pada akhirnya kau tetap akan memilih gadis itu 'kan?" terka Bagas, tepat sasaran. "Lalu untuk apa buang-buang waktu lagi. Sudah sebulan kau membuang waktu untuk audisi dan proses seleksi, padahal dari awal jelas-jelas kau sudah menemukan pilihanmu. Terus kenapa harus ada interview juga kalau ujung-ujungnya, gadis itu yang akan dipilih. Kalau fans-mu sampai tahu, mereka bakal kecewa banget sama kau, Sean."
"Bukankah mereka bakal lebih kecewa dan berasumsi yang enggak-enggak kalau aku nggak jadi interview mereka?" Sean berbalik, menatap Bagas yang sedari tadi memperhatikannya. "Kepilih atau tidak, bukan jadi hal utama buat mereka. Tapi bisa bertemu denganku pun, sudah lebih dari sebuah keberuntungan buat mereka, jadi jangan rusak kebahagian mereka."
"Kebahagian palsu?" Bagas mendengkus geli, miris mendengarnya. Sean memang sang super stars, berbakat dalam segala hal termasuk berakting. Semua hal yang ia tampilkan di depan kamera dan publik, jelas hanya rekayasa semata, akting belaka. Karena Sean yang sesungguhnya jauh berbanding terbalik dengan Sean Pradipta yang dikenal banyak orang.
"Bagas, bukankah hari ini kau terlalu banyak bicara? Kau tahu kan aku paling nggak suka dicampuri urusan pribadiku. Jadi tolong untuk yang satu ini kau sebaiknya menutup mata, kecuali kau lebih suka menganggur." Setelah mengatakan kalimat sepedas serbuk cabe, Sean melenggang pergi dari kamarnya. Meninggalkan Bagas yang termenung di tempatnya duduk.
Bagas menghela napas panjang, tersenyum tipis, lalu bergumam pelan. "Kau sudah banyak berubah, Sean."
—————
Sepanjang perjalanan menuju gedung Bee Start Entertainment, Sean tampak fokus membaca detail resume dari kesepuluh kandidat. Tentunya bukan sekadar resume yang diperoleh dari formulir pendaftaran, tapi juga dari orang-orang yang bekerja mencari informasi tanpa sepengetahuan para kandidat. Sean mau semuanya berjalan sempurna, ia tidak mau rencananya gagal karena seorang penyusup.
Selain banyak fans, Sean juga memiliki banyak haters. Terutama mereka yang pernah bekerja dengannya dan juga orang-orang yang pernah mendapatkan perlakuan buruk darinya. Baik itu disengaja, maupun tanpa ia sadari. Mungkin satu-satunya haters yang tetap diperbolehkan menyusup ya si little flea ini, yang nantinya akan dijadikan samsak oleh Sean.
Semua ini Sean lakukan dalam rangka balas dendam atas perbuatan si little flea yang sudah mempermalukan dirinya dua bulan lalu, ketika ia mengadakan sebuah konser terbuka untuk pertama kalinya setelah vakum sekian lama. Di saat ia mendapat banyak sekali lemparan bunga dari para fans, siapa kira si little flea justru melemparkan sendal ke arah kepalanya dan tepat mengenai wajahnya. Sungguh memalukan, bahkan gara-gara kejadian itu Sean harus dirawat sepekan untuk menyamarkan bekas luka akibat timpukan sendal. Di saat jadwalnya tengah padat-padatnya dan semua kekacauan itu gara-gara si little flea. Itu sebabnya Sean sangat menggebu-gebu ingin membalas dendam pada hatersnya itu.
"Sebenarnya apa rencanamu?" Suara Bagas yang tengah fokus mengemudi, mengalihkan atensi Sean dari resume kandidat bernama Celine Inara Cantika. "Kenapa kau mengincarnya? Apa yang akan kau lakukan pada gadis itu?" Sepertinya Bagas sangat penasaran akan rencana dibalik pemilihan gadis itu oleh Sean.
Sean mendengkus, menutup map berisi kumpulan resume para kandidat. "Bukan urusanmu," ucap Sean, sembari memalingkan wajahnya ke luar jendela. Penampakan lobi gedung Bee Start Entertainment yang megah menyambutnya.
Beruntung penjagaan keamanan di agensi ini sangat ketat, sehingga Sean bisa leluasa turun di lobi tanpa takut akan diserbu penggemar. Bagas pun ikut turun di lobi, kemudian memberikan kunci mobilnya pada seorang staff keamanan yang menyambut mereka. Seperti biasa, Bagas akan memberikan kunci mobilnya untuk diparkirkan oleh staff tersebut.
"Semuanya sudah siap?" Sean bertanya saat keduanya melangkah menuju ruang interview.
"Sudah," jawab Bagas. "Kata Rudi, semua para kandidat terpilih sudah hadir di ruang tunggu."
"Bagus. Aku ingin semuanya dilakukan dengan cepat, formalitas saja nggak usah bertele-tele," kata Sean.
"Kau tak perlu khawatir, aku sudah koordinasi sama semua staff perekrutan, mereka paham apa yang harus mereka lakukan."
Bagas membukakan pintu untuk Sean memasuki ruangan yang dituju, di mana saat pintu terbuka ia disambut oleh beberapa pasang mata yang langsung berbinar menatapnya. Jelas itu fans Sean yang tergila-gila oleh pesona Sean pagi ini.
Bagaimana tidak kalau Sean tampil seksi dengan balutan kemeja lengan panjang bewarna hitam, yang bagian lengannya digulung sampai siku. Dipadu celana denim bewarna senada dan kaca mata hitam. Rambutnya selalu tampil fresh, warna pirang kecoklatan yang membuatnya makin terlihat seperti idol Korea. Mengingat Sean memang memiliki darah campuran Indonesia-Korea, jadi tak heran jika ia lebih terlihat seperti anggota boy band Korea.
Namun, dari sekian pasang mata yang menatapnya penuh damba, ada satu pasang mata yang menarik perhatian Sean. Pasalnya sang pemilik mata coklat terang itu menatapnya dengan ekspresi horor, mata bulatnya melotot, mulutnya setengah terbuka dan saking lucunya ekspresi gadis itu, Sean sampai mendengkus geli melihatnya.
Dasar Little flea.
"Kenapa?" tanya Bagas yang berjalan beriringan dengannya saat melewati gadis yang terbengong-bengong melihat Sean lewat di depannya.
Sean menggeleng, diam-diam menyeringai. "Enggak kenapa-kenapa, hanya tidak sabar untuk menginterview mereka," jawab Sean, lebih tepatnya tidak sabar bertatap muka dengan si little flea. Sean ingin menindas gadis itu, mengintimidasinya sampai gadis itu menyesal sudah masuk ke kandang macan.
Tapi keinginan Sean untuk segera menginterview si little flea tak berjalan sesuai ekspetasi. Ia sudah meminta staff yang bertanggung jawab untuk mempercepat pembukaan audisi, meski jam baru saja menunjukkan pukul sembilan. Sean nggak suka hal yang tidak tepat waktu. Tapi sudah lewat lima belas menit, staff yang tadi ia perintah tak kunjung masuk lagi ke ruang interview.
"Masih lama?" Sean mengembuskan napas kasar, mulai bosan menunggu.
Bagas melihat ke arah pintu yang tertutup rapat, di ruangan ini hanya ada ia dan Sean. Satu staff yang bertugas membantunya sedang keluar untuk mengumumkan bahwa interview akan dimulai, tapi sudah lima belas menit berlalu staffnya tak juga kembali.
"Biar aku cek," kata Bagas pada akhirnya. Ia tidak suka mendengar Sean mendumel karena keterlambatan dan dipaksa menunggu.
"Hm." Sean mengibaskan tangannya, ia tengah sibuk menggambar di kertas kosong yang disediakan di atas meja. Kalau lagi gabut Sean lebih suka menyalurkan kebosanannya dengan menggambar. Dan kalian mau tahu apa yang sedang digambar Sean sekarang?
Yups, betul. Sean gambar little flea. Ia tampak bersemangat menggambar hewan parasit penghisap darah itu. Seakan larut dengan gambarannya, Sean sampai tak sadar Bagas sudah kembali duduk di sampingnya.
"Bisa langsung mulai sekarang, Rudi bakal panggil kandidat pertama." Bagas menoleh saat Sean tak meresponnya. "Sean," panggilnya. Sean hanya membalasnya dengan gumaman malas. "Bisa kau tinggalkan itu? Kau harus serius." Bagas meminta Sean meninggalkan kesibukannya saat seorang kandidat pertama yang dipanggil masuk ke ruang interview.
Sean memang menurutinya untuk meninggalkan gambarannya tentang little flea. Tapi ia tak mengindahkan permintaan Bagas untuk bersikap serius, meski interview ini hanya formalitas seharusnya Sean tetap melakukan tugasnya dengan benar. Tapi lihat apa yang dilakukannya, hanya bertopang dagu dan memantau si kandidat yang lebih banyak diinterview oleh Bagas.
Bahkan sembilan kandidat yang masuk ke ruang interview, tak satu pun Sean beri pertanyaan. Ia tampak acuh tak acuh dan terlihat malas-malasan. Hingga satu kandidat terakhir yang masuk ke ruangan berhasil mengembalikan semangat Sean yang membara.
"Biar aku saja." Sean mengambil kertas berisi pertanyaan dari tangan Bagas.
"Kau serius?" Bagas mengernyit, keheranan. Pasalnya sejak tadi Sean terus menolak untuk memberikan pertanyaan, tapi sekarang tiba-tiba malah mengambil alih kertas berisi pertanyaan interview.
Namun, Bagas kemudian mengerti saat melihat seorang gadis melangkah ragu dan duduk di kursi yang berjarak satu meter dari hadapan mereka. Bagas memperhatikan raut wajah gadis itu yang tampak tertekan, ia merasa kasihan pada gadis itu. Bagaimana tidak tertekan kalau Sean menatap tajam ke arahnya, seakan sorot mata laki-laki itu bisa mengeluarkan anak panah.
"Hm!" Bagas berdeham, mendekat pada Sean. "Kau membuatnya takut Sean," bisik Bagas.
Sean tak menanggapi bisikan Bagas, ia malah tersenyum puas menikmati ekspresi tertindas dari targetnya. Little flea.
"Sean, cukup. Kau bisa langsung memulainya sekarang, kalau kau tidak bisa, biar aku saja———"
"No!" Sean mendelik pada Bagas, memperingati lewat tatapannya. "Kau hanya perlu memperhatikan, ini tugasku."
"Oke." Bagas menghela napas panjang mengalah. "Tapi kumohon, lakukan dengan benar."
"Hem." Sean hanya menyahuti dengan deheman malas. Ia membaca semua isi pertanyaan yang disiapkan oleh Bagas dan semuanya tampak biasa saja. Sean berdecak, mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat Bagas. Karena ia punya pertanyaan khusus yang ia buat sendiri untuk si little flea.
"Your name?" Sean memulai sesi interview yang lebih mirip sesi interogasi.
"Celine Inara Cantika."
"Usia?"
"Dua puluh lima."
"Gender?"
Gadis bernama Celine Inara itu memutar bola matanya. Apa dia buta? "Menurut Anda?"
Sean mendengkus pelan, merasa tertarik saat gadis itu malah balik bertanya. "Menurutku?" Sean tersenyum mengejek. "Transgender."
What? Nara melotot, rahangnya nyaris jatuh. Siapa sangka jika Sean jauh lebih menyebalkan dari yang ia kira. "Kalau begitu benar, saya memang transgender. Apa itu tidak masuk kriteria buat jadi asisten Anda? Biasanya asisten artis selalu melambai, lelaki bertulang lunak, emm ... atau Anda lebih suka laki-laki maco?"
Sean mencengkram erat kertas di tangannya, menyalurkan kekesalannya mendengar jawaban Nara. Bahkan ia nyaris ingin mengumpat dan melempar botol air mineral ke wajah gadis itu. Ayolah, siapa pun orang yang mendengar ucapan Nara barusan akan langsung tahu maksud gadis itu. Sean normal, ia suka wanita tulen dan ia bukan penggemar laki-laki otot kawat tulang besi yang memiliki bisep besar berisi.
"Maaf, tolong lebih dijaga ucapannya. Karena penilaian kami bukan hanya berdasarkan sesi tanya jawab saja, tapi juga attitude dan sopan santun serta cara komunikasi yang baik." Bagas sampai bereaksi, ia heran mendapati kandidat yang terang-terangan melawan Sean.
"Maaf, tapi sepertinya saya tidak cocok untuk semua itu," kata Nara, mempertahankan senyum polosnya.
"Lalu untuk apa kamu ikut mendaftar?" Rudi ikut melempar pertanyaan.
"Apa saya boleh jujur?" Nara berniat mengeluarkan kartu As-nya.
"Silakan," kata Bagas memperbolehkan.
"Karena aku dijebak. Ayolah, siapa juga yang mau ikut audisi beginian, apalagi cuma jadi asisten, yang benar saja." Nara berdecih. "Itu bukan levelku."
"Lalu levelmu seperti apa?" Kali ini Sean yang menanggapi.
"Levelku?" Nara tersenyum angkuh. "Tentunya di atasmu!"
Sean mendengkus sinis. "Kau tahu, apa perbedaanmu dengan flea?"
Nara tak menjawab. Aneh saja pertanyaannya, masa menanyakan perbedaan Nara dengan kutu. Apa dia benar-benar buta? Jelas-jelas Nara manusia, sedangkan kutu itu hewan parasit penghisap darah. Menjijikkan!
"Nggak ada bedanya," Sean menjawab sendiri pertanyaannya, suara beratnya menarik atensi semua orang di ruangan terutama Nara. "Karena kalian sama-sama parasit menjijikkan!"
Alih-alih tersinggung, Nara malah memamerkan senyum lebarnya. Ia bersorak dalam hati, akhirnya ia berhasil membuat Sean marah dan itu artinya potensi akan diterima juga sangat mustahil. Yes, aku berhasil!
Tapi Nara lupa kalau pembuat skenario bukan hanya dirinya saja, tapi ada Sean, juga ada Tuhan yang jauh lebih berkuasa atas semua skenario yang terjadi.