Bab 2. Bertemu Kembali

1020 Kata
Setelah hanya mengurung diri dan menangis berhari-hari di kamar karena kejadian malam itu, Rissa merasa sangat terkejut saat mendapatkan kabar dari bagian HRD terkait wawancara kerjanya.Ya, dirinya diterima di sebuah perusahaan besar dengan posisi yang bagus sebagai sekretaris. "Duh, mataku sembab begini." Rissa tampak bercermin. Menempelkan dua sendok pada matanya seperti yang sering ia lihat dalam drama korea untuk menghilangkan sembab di mata karena banyak menangis. Lagi pula siapa wanita yang tidak terpukul saat mahkotanya direnggut oleh seorang pria asing yang tak dikenalnya. Susah payah dia menjaga kehormatannya, tapi hanya karena kejadian satu malam, semua itu dirampas darinya. Bahkan, insiden itu tak bisa terekam dalam memorinya. Setelah berkutat selama beberapa menit di depan cermin, Rissa pun berangkat ke tempat kerjanya yang baru. Mau bagaimanapun hidup harus tetap berlanjut meski rasanya akan berbeda untuk ia jalani. "Nggak nyangka aku bisa keterima kerja di perusahaan besar ini." Sebelum melangkah masuk, Rissa tampak menatap bangunan tinggi yang ada di depannya. Gedung kaca yang didominasi warna biru itu terlihat benar-benar megah. Sejenak senyumnya terulas. Bekerja di perusahaan besar adalah impiannya yang seolah menjadi nyata. "Mari saya antar ke ruangan Pak Kevin." Setelah disambut ramah dan dijelaskan soal tugas-tugasnya oleh kepala HRD yang bernama Jefri, Rissa langsung diantar menuju ruangan Kevin yang berada di lantai sembilan. Sepanjang jalan, detak jantungnya berdebar tak beraturan. Rissa memang tidak mencari tahu soal CEO yang akan menjadi atasannya mulai hari ini. Namun, dari apa yang ia dengar saat wawancara, beberapa karyawan menganggap pimpinan mereka itu sangat baik dan humble. Namun, terbilang tegas dalam menyikapi setiap kesalahan yang dilakukan karyawannya. Setibanya di ruang CEO, Rissa diminta menunggu saat Jefri masuk ke dalam. Debaran jantungnya entah kenapa semakin tak beraturan. Bukan hanya gugup, kedua tangannya sampai berkeringat. "Silakan masuk, Pak Kevin sudah nunggu kamu!" perintah Jefri setelah keluar dari ruang CEO. "Selamat pagi, Pak." Rissa mengucapkan salam begitu masuk ruangan CEO. Sebisa mungkin ia menepikan rasa gugupnya. "Selamat pagi ju ...." Suara itu berubah jadi keterkejutan saat pandangan mereka saling bertemu. Siapa menyangka pria yang tidak ingin ditemui Rissa, kini malah ada di hadapannya? Bahkan, pria itu akan menjadi atasannya mulai hari ini. "Kamu kenapa di sini?" pandangan Rissa mulai beralih. Memindai sekitar dan menemukan sebuah papan nama bertuliskan "Kevin Abraham - Chief Executive Officer". "Berarti kamu atasan baruku ...." Melihat itu, sontak saja jantungnya seakan berhenti berdetak. Terlebih saat pria itu beranjak dari kursi kebesarannya dan berjalan mendekat. "Jangan mendekat!" ucap Rissa dengan suara bergetar dan ia mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak. Kevin pun menghentikan gerakannya. Dari ekspresi yang Rissa tunjukkan ia dapat menebak jika wanita itu ketakutan bertemu dengannya. "Rissa, aku nggak nyangka ternyata sekretarisku adalah kamu. Kebetulan kita ketemu di sini, aku mau menjelaskan kejadian waktu—" Belum usai Kevin dengan perkataannya, Rissa langsung memotong ucapannya. "Saya nggak mau dengar penjelasan apa pun!" ucap wanita itu sembari menggeleng pelan. Ia tidak ingin mendengar tentang kejadian malam itu, malam di mana ia terlibat hubungan panas dengan pria yang tak dikenalnya, apalagi membahasnya dengan orang yang telah menghancurkan masa depannya. "Rissa, aku akan bertanggung jawab." "Saya nggak butuh pertanggungjawaban Anda, Pak!" Kevin sadar jika Rissa tidak mengenalnya, bahkan wanita itu membencinya karena kejadian malam itu, dan mungkin selamanya Rissa akan mengenalinya sebagai pria b******n yang sudah merenggut kesuciannya. Kevin menelan saliva dengan kasar dan ia berusaha bersikap profesional karena Rissa adalah sekretarisnya mulai hari ini. "Tapi saya sudah menodai kamu. Tolong izinkan saya bertanggung jawab dengan menikahimu, Rissa." Rissa tersenyum miris mendengar kata-kata itu. Matanya mulai terasa panas dan darah dalam tubuh berdesir hebat. "Saya nggak butuh pertanggungjawaban dalam bentuk apa pun, apalagi menikah sama laki-laki yang nggak saya kenal, laki-laki b***t yang sudah menghancurkan hidup saya dalam semalam!" "Kamu salah paham, Rissa. Tolong dengarkan penjelasan saya dulu. Pagi itu saya mau menjelaskan ke kamu, tapi kamu pergi tanpa kasih saya kesempatan buat jelasin semuanya." Dada Rissa terlihat naik turun dengan cepat. Ia mulai merasa sesak. "Pak, saya di sini untuk bekerja, walau sayangnya saya harus jadi sekretaris dari laki-laki yang sudah merenggut kesucian saya! Jadi tolong profesional dan saya nggak mau dengar penjelasan apa pun! Jadi apa tugas saya di hari pertama kerja?" tanya Rissa yang berusaha menyelesaikan perkataannya walau terdengar menggebu-gebu. Perasaan Rissa kini campur aduk. Di satu sisi tadinya ia merasa bangga bisa bekerja di perusahaan bergengsi ini, tapi di sisi lain, bayangan kelam bersama Kevin membuatnya merasa tidak nyaman. Namun, Rissa sadar bahwa ia tidak bisa mundur. Kontrak kerja selama dua tahun yang telah ia tandatangani mengikatnya untuk tetap bertahan di perusahaan ini, apa pun yang terjadi. Dengan tekad yang kuat, Rissa berusaha menenangkan diri. Ia memaksa dirinya untuk tetap profesional dan fokus pada pekerjaannya, meskipun harus menghadapi hari-hari yang sulit karena harus bekerja dengan sosok pria yang dibencinya. Kevin terdiam beberapa saat, ia merasa bahwa dirinya tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan apa pun pada Rissa dan meluruskan kesalahpahaman, bahwa malam itu kejadiannya tidak seperti yang ada di pikiran Rissa. "Baiklah, kalau kamu memang nggak mau dengar penjelasan tentang kejadian yang sebenarnya. Kamu boleh ke meja kerjamu dan mulai menyusun jadwal saya satu Minggu ke depan dan hubungi pihak klien untuk konfirmasi mengenai di mana lokasi pertemuan akan diadakan!" titah Kevin yang nada suaranya terdengar datar dan sorot matanya tampak suram. Rissa segera menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa. Kemudian wanita itu memutar tubuhnya setelah membungkukkan kepala dan berjalan dengan tergesa keluar dari ruangan yang menyesakkan d**a. Rissa terlihat linglung setelah keluar dari ruangan Kevin. Ia menghempaskan tubuhnya untuk duduk di kursi kerja sembari menekan d**a. Air mata jatuh terurai dan mengalir lambat di pipi. Rissa segera menghapus air mata itu sebelum ada yang melihatnya. "Nggak! Aku nggak boleh kelihatan lemah dan rapuh di depan siapapun, apalagi di depan laki-laki itu! Aku harus bisa lupain kejadian itu!" gumamnya yang kemudian mengatur napas agar bisa bersikap setenang mungkin. Baru selesai meyakinkan dirinya, bunyi notifikasi pesan pada ponselnya terdengar. Rissa langsung mengambil benda pipih miliknya. Melihat sebuah pesan yang ternyata berasal dari ibunya. Bunda: Kapan kamu pulang? Bunda mau ngomongin perjodohan kamu sama anak teman Bunda? Membaca pesan itu, mood Rissa semakin berantakan. Dijodohkan? Bagaimana bisa ibunya malah menjodohkannya dengan pria lain, padahal dirinya sudah punya kekasih?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN