Ainara kepikiran perihal segala ketidakbaikkan dia atas Awan dan galau sendiri kemudian. Di mana kini matanya mengikuti ke mana pun Awan melangkah. Nara yang duduk di sofa sambil memegang ponselnya, duduk bersandar, dia pun menghela napas pelan. Awan kalau tidak dijutekkan, tidak dibeginikan, dan malah diikuti segala maunya, Nara cuma takut satu hal, yakni ... jatuh. Sedang kata "sementara" masihlah menggelayut, takutnya Awan labil, dan Nara telanjur menyerahkan segalanya termasuk, ya, 'jatuh' itu tadi. "Kenapa? Liatin akunya gitu banget," celetuk Awan, mulai sadar tengah diperhatikan. Nara embuskan napas pelan. Mungkin di sini, dia cuma butuh kepastian yang tak akan oleng di sembilan bulan mendatang, selamanya. "Kenapa, sih?" Awan sedang sisiran. Menatap Nara dari cermin rias istrin