"Yang tadi itu mamanya Langit, ya?"
Alam lahap paha ayam kenamaan berikut saosnya. Dia pun mengangguk, merespons Rana. Dan posisinya mereka sedang menikmati makan malam bersama di kamar hotel, tanpa Langit, karena bungsunya Semesta itu telah dijemput oleh sang Mama barusan.
Rana pelankan kunyahannya. "Kayaknya beliau nggak suka sama aku ya, Pak?"
Mengingat tatapan dan kalimat sindiran dari mantan istri Pak Alam sewaktu menunggu Langit selesai mandi, agaknya itu bukan hal yang sedap di lihat maupun di dengar. Dengan demikian, mau nggak mau Rana tersindir, walau entah maksud dan tujuannya untuk apa, kepada siapa.
"Iya, udah gak apa-apa. Penting banget emang disukai sama mantan istri saya? Kan, nggak."
"Iya, sih."
Rana mencibir dalam hatinya.
Tapi tetap lah ... masa kenal saja belum, dan Rana sudah dimusuhi? Di mana letak adilnya?
"Masih mikirin mantan istri saya?"
Terkesiap. Rana menatap Pak Alam di sebelahnya, yang sama-sama sedang menikmati hidangan hasil beli di resto sepulang dari mall. Duduk di sofa berdampingan.
"Nggak kok, Pak."
"Terus kenapa nggak dimakan? Nggak suka dadaa?"
"Suka kok. Ini aku makan." Sambil menyuapkan.
"Barangkali nggak suka dadaa, ya sini dadaa kamunya buat saya aja. Atau mau tuker dengan paha saya?" Mumpung belum Alam lahap semua.
Tapi, Rana malah mendelik.
Alam pun lanjutkan, "Sudah, jangan mikir yang nggak-nggak, jangan diambil hati soal mantan istri saya. Dihabisin makannya. Kamu kurus gini, pantas saja bra yang saya belikan longgar."
Dih!
Sebal.
Rana pengin cakar wajah Bapak Alam Yang Terhormat. Bisa-bisanya ngomong gitu tanpa filtrasi, Rana sumpahin tersedak, mampus lah dia!
Yang tidak mau Rana tanggapi. Bicara soal bra, sudah Rana kenakan, mengganti pakaian di setelah hengkangnya mantan Nyonya Semesta dari sana. Menyisakan Papa Langit dengan anak perawann macam Ranasya. Di mana kini mereka habiskan butir-butir nasi terakhir makan malamnya.
Alam bersendawa.
Bused dah, suaranya dahsyat juga. Itu kalau Rana yang lakukan, dia pasti malu dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Cuma ... ini kan Alam Semesta, dia biasa saja, paling hanya bilang maaf sesudahnya.
"Eum ... Pak."
Melirik Rana. "Apa?"
"Kita jadi pulang, kan, habis ini?" Sambil memegang botol mineralnya.
"Jadi." Alam pun melegut air minumnya. Dia imbuhi, "Kalau nggak pulang, saya takut sembilan bulan mendatang adiknya Langit kamu lahirkan."
"Ih, apa sih."
Sialan!
Pipi Rana malah merona.
"Tapi nanti dulu, ya. Tunggu Awan sama Guntur tidur. Saya malas kalau pulang-pulang mereka nagih buah tangan."
"Ya kenapa nggak dibeliin aja?"
"Kalau begitu terus, nanti kebiasaan."
Rana bulatkan bibirnya tanda "oh" panjang. "Ngomong-ngomong, kok cuma Langit yang dibawa sama ibunya? Emang Awan sama Guntur nggak dikangenin juga?"
Mulai ke mana-mana pertanyaan Rana. Tahu, nggak? Katanya, berawal dari kepo bisa jadi cinta lho.
"Kangen sih pasti, namanya juga ibu ke anak, kan? Tapi Awan sama Guntur agak susah, mereka milih nggak mau ikutnya dan jadilah hanya Langit yang bersedia nginap di rumah mamanya kalau-kalau lagi kangen kayak gini."
"Kalo Bapak sendiri, gimana? Kangen juga?"
"Kangen sama mantan istri?"
Rana mengangguk.
Dan waktu seolah berhenti, Alam pandangi wajah Rana, sejenak saja sebelum kemudian dia menjawab, "Ngaco aja lagi."
"Kangen?"
"Ya nggak lah."
"Bilang aja kangen."
"Nggak dong."
"Alah ... aslinya Bapak kangen kal-- Ampun, Pak!" Rana tersudutkan.
Jantungnya dugun-dugun nggak selaras aturan. Detik di mana Pak Alam mendekat, secepat kilat mengimpit tubuh Rana ke sandaran sofa. Merapatkan jarak, dan berikan tatapan tajamnya.
Astagfirullah.
Astagfirullah.
Rana menelan ludah.
Kaku.
Yang teramat dekat.
"Ayo bilang apa tadi? Sebutin sekali lagi." Tekan Alam membisikkan.
Rana menciut.
"Ng-nggak." Kikuk. Tubuh semungil Rana (jika dibandingkan dengan lelaki di depannya) yang tinggi pun Rana nggak jauh dari 165, didesak oleh tubuh semenjulang Pak Alam si 180-an.
Tatapan Alam kian tajam, apalagi saat Rana mengulum bibir sendiri oleh sebab gugup melanda. Sementara Rana tak berani menatap gerangan, Alam justru terang-terangan menikmati cantiknya pahatan wajah perempuan si tipe idealnya.
Wah ...
"Jadi pengin cium," gumam Alam.
Rana mendengarkan. Makin deg-degan. Mendorong dadaa bidang itu sebisa yang Rana lakukan sekarang.
Tapi, susah kali lah ini!
"Pak--" Rana mencicit, ketakutan.
Tentu saja Alam langsung mundur, perluas jarak. Hawa panas kian menyergap walau sudah tak sedekat tadi. Apalagi di kamar sesepi ini, sebuah hotel, yang boleh jadi Alam habisi Rana pun tak akan ada yang menghentikannya nanti.
Aman.
Sangat mendukung.
Suasana intim pun sepertinya mudah dicipta.
Tapi, maaf, Alam tidak seberengsek itu hanya demi merealisasikan hasrat 'buka puasa' setelah lama dia menduda. Kalau pun mau, ya harus suka sama suka, bersedia satu dengan lainnya. Baru, Alam siap memompa. Ehm.
Dia pun berdeham.
"Aneh. Saya nggak ngapa-ngapain, tapi saya berkeringat," gumam Alam. Niatnya sih pengin mencairkan suasana yang mendadak suram.
Dan Rana diam saja. Menunduk. Tanpa Alam tahu bahwa perempuan itu sedang mengendalikan diri dari segala sisi.
Ya ampun.
Ya ampun!
"Sudah kan, ya? Udah jam setengah sepuluh, mereka udah bobok kayaknya."
Dari tadi Alam yang mengoceh.
"Yuk kita pulang sekarang aja. Kalau masih ada yang pengin kamu tanyakan, boleh. Tapi nggak di sini."
"Iya, yuk, pulang!" Rana langsung berdiri. "Ini kamar kayaknya banyak penunggunya deh, Pak," kata Rana biar nggak canggung lagi.
Alam terkekeh. Ya, ya, ya, sebahagia Rana saja.
***
Satu, satu~
Aku sayang Ibu.
Dua, dua~
Juga sayang ayah.
Tiga, tiga ... Rana sedang nyanyi, merapalkan liriknya khidmat dalam hati, daripada pikirannya kembali ke kejadian tadi, soalnya otak Rana seakan tertinggal di sana sampai-sampai masih saja gerah di sini.
"AC-nya kurang dingin ya, Pak?"
Alam langsung mengeceknya. "Sudah kok."
"Naikkin lagi dong, Pak."
"Kamu mau kena flu besoknya?" Tentu saja tak Alam wujudkan.
Rana pun kembali diam.
Yang diam-diam begitu dia melirik Pak Alam, curi-curi pandang. Bayangin! Itu cowok 38 tahun, mungkin beberapa bulan lagi akan naik level jadi 39. Tua, kan? Anaknya saja tiga, yang dua sudah SMP, tapi kenapa dari wajah sampai perawakan ... Pak Alam lebih terlihat seperti bujang 30-an?
Dunia tidak adil!
"Wajah saya memang cocok untuk terapi mata," katanya.
Membuat Rana tersentak dan langsung alihkan tatap. Sialan! Ketahuan kan dia sedang lirik-lirik, pandang-pandang, terkagum-kagum.
"Kamu penasaran, ya, gimana caranya biar punya keelokan fisik seperti saya?"
Ge-er banget!
Tapi, nggak salah sih.
"Emang gimana?" Yeah, daripada selama perjalanan dipeluk sepi. Mending ngobrol walau ngaco dan terkesan konyol.
Tak sedikit pun Alam alihkan fokusnya dari jalanan. Dia menerangkan, "Bahan utama tentu dari orang tua, genetik itu kuat efeknya buat diteruskan ke keturunan."
"Yaaah ... itu mah aku juga tau!" seru Rana. "Kirain ada trik khusus biar awet muda, selain susuk ya pastinya."
Alam tertawa.
Tibalah mereka di lampu merah. Baru saat itu Alam menatap Rana, yang bola matanya melongos ke luar jendela.
"Males liat Bapak," katanya.
Makin tinggi frekuensi tawa yang Alam keluarkan. Nampaknya, perangai Rana cukup berbahaya. Rana menggemaskan. Iya, sekarang gemesin, besok-besok bisa aja jadi ngangenin?
Sudah ah.
"Masih pacaran sama yang itu?"
Tapi Alam malah bahas topik yang lain, lebih dalam dan tentang pasangan.
Rana mengernyitkan kening. Rasa-rasanya Rana masih jomblo dari lahir, kecuali di dunia mimpi dia bahkan sudah punya suami. "Yang mana?"
"Pacar kamu ada berapa memang setelah yang berasal dari Jogja?"
"Oh ..." Itu toh. Rana langsung tersenyum. "Ya masih dong, Pak!"
"Sedang bahagia-bahagianya, ya?"
"Yap!"
Sebentar lagi sampai di kawasan rumah Alam Semesta. Mobil pun dilajukan agak pelan. Baru kali ini Alam merasa jalan yang dibuat pemerintah dari wilayah perhotelan ke rumahnya terasa pendek.
"Kapan mau ketemuan?"
"Nanti."
"Kapan?"
Rana pun menatapnya. Sama, Alam juga. Soalnya mobil itu telah tiba di pekarangan.
"Ya nanti, Pak."
Alam pun menggeleng sambil batinnya berdengung: Apa sih esensinnya hubungan jarak jauh? Ketemu saja susah, letak bahagianya di mana coba? Enak gitu pacaran tanpa berhadapan?
Nggak bisa pegangan tangan.
Jalan-jalan menikmati keintiman di satu ruang.
Pelukan.
Cium.
Apalah itu, selain yang Alam sebutkan. Pasti banyak hal yang ingin muda-mudi lakukan bersama dengan pacarnya. Iya, kan?
Yang Alam hentikan langkahnya di setelah turun dari mobil dan Rana nyaris saja menyeruduk punggung lebar itu di depannya.
"Kenapa, Pak?"
Ngerem mendadak.
Namun, tak bicara apa-apa, Alam lanjutkan pijakan sampai kemudian pintu utama rumah dibuka oleh ART yang melaporkan bahwa Awan dan Guntur baru saja tertidur.
Di tempatnya, Rana melihat ... pintu kamar Pak Alam dibanting orangnya.
"Aneh banget."
***
Keesokan paginya.
"Langit sampe kapan, Pi, di rumah Mama?" tanya Awan di tengah sarapan.
Tepat pukul setengah tujuh pagi, kali ini yang masak sarapannya adalah ART, dan sekarang ART-nya sudah pulang. Seumur Alam hidup sebagai orang tua tunggal ketiga Semestanya, baru kali ini dia bangun kesiangan.
Dengan santai Alam telan hasil kunyahan. Bahkan cara dia minum segelas air putih pun teramat elegan.
"Tiga hari katanya."
"Nanti Papi jemput atau ketemuan lagi?" Kali ini Guntur.
"Mama kalian yang mau ke sini nganterin, sekalian pengin ketemu Awan sama Guntur. Kan kalian nggak mau diajak nginap."
"Iya lah, dikata pengusaha juga suami Mama pelit." Awan menggerutu.
Yeah, meski jika dibandingkan dengan harta Papi, maka Papi mereka kalah berduit. Sedikit. Tapi, asli sih ... nggak suka Awan kalau dianaktirikan. Pun dengan Guntur. Makanya, kalau diajak nginap, mereka menolak. Kalau diajak ketemu juga ada saja alasannya.
"Kak Rana udah liat Mama?"
"Udah," jawab Rana.
"Jangan cemburu, ya. Mama udah nggak ada hubungan apa-apa lagi kok sama Papi," kata Awan. "Walau emang masih suka ketemuan sih, nganterin Langit. Dimaklumi aja."
Jangan sampai satu-satunya betina di rumah ini kabur saat tahu ada tradisi pertemuan antara mantan. Awan jaga-jaga saja.
Padahal Alam kalem di tempatnya.
Guntur pun tak berikan komentar. Karena sejujurnya, dia masih sangsi kepada Kak Rana-Rana ini. Penginnya sih, Papi cari perempuan lain saja. Yang setidaknya nyaris seusia, atau minimal ... bukan mahasiswa.
Apa kata dunia, andai Maminya Guntur baru umur dua puluh dua?
Itu sih yang memberatkannya.
Rana tertawa saja. "Ya ampun kalian ini, Kakak juga sama Papi kalian nggak ada hubungan apa-apa kok."
"Yuk, berangkat!" ajak Alam kepada dua putranya yang sudah lengkap berseragam sekolah. "Rana mau sekalian ikut?"
"Nggak, Pak. Aku udah pesen ojol."
"Ya sudah, hati-hati. Pintunya dikunci aja. Saya bawa cadangan."
***
Rana sibuk.
Sudah bilang juga kepada pemilik 40 jutanya untuk beberapa hari atau bahkan bulan ini Rana akan fokus garap skripsi, meski demikian dia tetap melayani anak-anak Mr. Alam. Seperti membuatkan sarapan, walau telur lagi telur lagi. Hari ini diceplok, besok di dadar, lusa diorak-arik sama nasi goreng, kalau malam kadang dihidangkan pada kuah mie instan. Bakat masaknya ada kemajuan di bidang perteluran, ternyata mudah, meski saat buat mata sapi tak seindah gambar telur dalam bungkus mie.
Guntur sampai protes.
Hingga Alam memindahtugaskan Rana yang tadinya di dapur, jadi di kamar. Ehm. Bukan di kasur loh, ya. Tapi memang Alam meminta Rana untuk sediakan pakaiannya saja, urus segala hal tentang dirinya. Biarkan soal anak-anak diurus secara perlahan.
Rana sudah seperti pelayan pribadi Alam Semesta, ya?
Tak apa.
Kalau nggak gitu, nanti kapan lunasnya? Dengan cara apa lagi selain nurut sama Mr. Alam YTH. Yang penting bukan nananina trilili tralala.
"Nanti malam saya ada siaran langsung, mau adain live perjodohan sama give away di you-Tube."
"Oke."
Dan jika itu terjadi, artinya Alam syuting di studio bersama Tim. Kalau di rumah, di lantai atas, itu hanya pada saat rekaman yang bisa dia take sendiri, dan hasilnya diserahkan kepada editor beserta jajarannya. Mereka yang bekerja bersama Alam di studionya.
Rana baru tahu akhir - akhir ini terkait cara kerja Pak Alam. Ternyata demikian, yang sering kelihatan seperti pengangguran.
"Betewe, live-nya jam berapa, Pak?"
"Sekitar jam setengah delapanan, malam."
Wah ...
Rana mengulum senyuman.
"Apa itu? Jangan bilang, kamu mau ikutan?"
Yeu ...
"Suudzon!"
Padahal bener.
***