Titi merasa hari-hari bahagianya baru saja di mulai ketika kedua orang tuanya kini selalu menyempatkan waktu untuk bersama dengannya. Bahkan makan malam kemarin malam terasa begitu hangat. Andai saja dulu dia memiliki kesempatan untuk merasakannya. Ah sudahlah, waktu sudah berlalu begitu cepatnya. Namun, ketika harus kembali lagi ke kenyataan hidup, dirinya sebentar lagi sudah akan menjadi istri orang. Lelaki asing lebih tepatnya. Arya Adiwijaya. Siapa dia? Bagaimana sifatnya dan karakternya?Titi bahkan enggan untuk mencari tau info tentang lelaki tersebut.
Persiapan pernikahan yang sudah hampir 100 persen, Titi hanya perlu mempersiapkan diri, hati dan mentalnya kelak untuk menghadapi suami yang bahkan tidak dikenalnya sama sekali itu. Untungnya pernikahan ini bersifat rahasia, hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat saja dari kedua belah pihak. Entah apa alasan Arya melakukannya. Namun, itu juga menguntungkan bagi Titi karena pernikahannya yang terlalu mendadak itu membuatnya banyak berpikir. Stres sudah pasti dirasakannya.
Bahkan dirinya tidak bisa bercerita kepada siapa pun tentang keadaannya saat ini. Semua temannya hanya mengetahui tentang keadaan keluarganya yang sepertinya sedang bermasalah. Tidak ada yang mengetahui bahwa sebenarnya keluarganya hampir saja bangkrut kalau semua hutang papanya tidak dibayarkan oleh Arya.
Memang benar ya, kalau uang yang menentukan seseorang itu berharga dan dihargai. Tapi bagi Titi uang bukanlah segalanya. Walaupun toh dia harus menjalani pernikahan karena uang juga. Munafik, satu kata yang cocok untuknya sekarang.
Malam ini merupakan malam terakhirnya bisa tidur dengan nyaman di atas kasur yang telah ditempatinya selama 20 tahun ini. Sambil tiduran, dia mengamati kamarnya yang luas yang memiliki design unik karena sebenarnya dirinya yang merubahnya sesuai dengan keinginannya. langit-langit kamarnya yang bisa menembus menatap gelapnya malam yang terlihat jelas ada banyak bintang. Boneka beruang yang selalu dipeluk erat olehnya sampai ketiduran dan menjadi saksi bisu bila dirinya sedang sedih dan menangis selama ini. Pasti dirinya akan sangat merindukan kamarnya itu.
Dia sudah mengemasi barang-barangnya seperlunya saja, karena ia ingin tetap membiarkan semua barangnya terletak pada tempatnya masing-masing. Titi hanya membawa beberapa pakaian, buku, laptop dan perlengkapan make up nya saja.
"Kenapa rasanya aku masih belum rela berpisah dengan kamarku ini. Ahh sudahlah." ucapnya sambil menutup wajahnya dengan bantal. Semakin dirinya memikirkannya semakin dia menjadi sedih.
***
TOKTOKTOK
Pintu kamarnya terus saja diketuk dari luar, Titi merasa baru saja tertidur, kini harus sudah bangun lagi. Dia meraba kearah ranjangnya, lalu menatap ponselnya yang kini telah menunjukkan pukul 8 pagi.
"Iya, sebentar." Teriaknya.
Titi beranjak dari kasurnya lalu membuka pintu kamarnya,
Mamanya sudah berada d depan kamarnya, "Ti, kamu baru bangun ya?"
"Iya, ma. Titi susah tidur tadi malam." Jawabnya sambil menguap.
"maaf kalau mama sudah menganggu kamu ya."
Titi menggeleng pelan, "Nggak ganggu kok ma."
"Begini Ti, sebenarnya kamu...." mamanya ragu untuk melanjutkan ucapannya.
Titi masih dengan sabar menunggu mamanya berbicara. "Ada apa ma?"
"Nak Arya sudah menjemput kamu."
"Hah? Maksudnya gimana ma? Bukannya Titi menikahnya besok ya? Kenapa dia repot-repot malah menjemput Titi?"
Mamanya menggeleng sambil mengangkat kedua bahunya, "Mama pun heran kenapa harus dia yang menjemput kamu."
"Titi masih mau di sini ma." Ucapannya seketika melemah.
Mamanya berjalan mendekatinya lalu membelai rambut putrinya itu yang kelihatan sangat sedih, "Mama tau sayang. Tapi kamu tau kan kalau kamu sudah setuju menikah? Kamu sudah tidak bisa mundur lagi. Apapun yang diinginkan oleh Arya dia harus mendapatkannya. Kamu tidak bisa menolak untuk ikut bersamanya. Bukannya mama tidak ingin membela kamu, kali ini kamu sendiri yang harus menentukannya sayang."
Titi terlihat cemberut lalu menghela nafas dengan berat, "Baiklah, Titi akan ikut bersamanya. Beri Titi waktu 10 menit untuk bersiap ya, ma."
Mamanya mengangguk, "Baiklah sayang. Jangan terlalu lama ya." Ujar mamanya lalu pergi meninggalkan putrinya.
"Dia belum apa-apa saja sudah semenyebalkan itu. Huh!" Gerutunya dengan kesal.
Titi dengan cepat bersiap lalu turun dengan penampilan seadanya. Tidak mengenakan make up sama sekali. Mana mempunyai cukup waktu lagi dirinya berhias.
"Kita pergi sekarang!" Ucap lelaki itu tanpa minta di bantah.
Titi menatap papa dan mamanya secara bergantian, lalu memeluk keduanya secara bersamaan. "Titi pergi dulu ya, pa, ma."
"Hati-hati ya sayang, kabari papa dan mama terus ya."
Titi mengangguk sambil melambaikan tangannya.
Selama di dalam mobil, benar saja, terasa begitu dingin, bukan karena AC yang berada di dalam mobil Arya. Melainkan sikap acuh tak acuh lelaki itu. Titi pun enggan untuk bertanya apapun. Dia lebih memilih untuk tetap diam sambil sesekali menatap ponselnya.
"Ada 3 hal yang harus kamu camkan, pertama, dilarang bertanya tentang apapun, kedua, harus mengikuti dan setuju dengan apapun keputusanku, dan terakhir, kalaupun sesak bersama denganku, kamu harus bersama denganku selama hidupmu. Aku tidak akan pernah jatuh cinta kepadamu. Dan satu hal lagi, aku setuju menikah denganmu hanya untuk membuatmu seperti mainan dan budakku. Seperti itulah caraku membalaskan papamu. Jadi jangan pernah melakukan hal yang akan membuat kedua orang tuamu susah kelak. Aku tidak akan menjamin kamu akan bahagia menikah denganku, karena ini adalah awal dari penderitaanmu dan keluargamu." Bisik Arya lalu segera turun dari mobil.
Sejak tadi Titi terus terdiam sambil mengepalkan kedua tangannya, dia berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Karena dirinya melakukan pernikahan ini atas kemauannya sendiri. Entah dendam apa yang membuat Arya begitu membenci keluarganya, tapi Titi tidak ingin ambil pusing. Bukankah itu hal wajar dalam bisnis? Begitulah pikiran pendeknya.
"Turun!" Bentak Arya.
Membuat Titi kaget, baru kali ini ada lelaki yang tidak sopan berbicara seperti itu dengan seorang wanita, pikirnya. Ya namun dia juga enggan untuk membalasnya. Bukankah tadi jelas lelaki itu telah menjelaskan hal yang membuatnya menikah?
"Iya, sabar dong tuan." Balasnya nggak kalah sewot.
Arya membulatkan kedua matanya, menatap tajam kearahnya, "Mulai hari ini kamu akan tinggal disini. Tapi bukan sebagai nyonya rumah. Melainkan pelayan. Bagiku kamu hanya pelayan yang akan menuruti semua keinginanku saja." Ketusnya.
"Baik," jawab Titi tanpa bantahan.
"Bagus sepertinya kamu sudah bersiap untuk ini. Rincian pekerjaanmu ada di dalam kamarmu. Mulai lah bekerja hari ini. Tanpa di bayar." Setelah mengatakan hal itu, Arya pergi meninggalkan Titi seorang diri.
Titi mengamati seluruh rumah, begitu mewah. "Apa gunanya tinggal di istana ini bila hanya dijadikan babu olehnya. Ah sudahlah berhenti mengeluh. Semangat! Semangat!" Ucapnya kepada dirinya sendiri.
Selama seharian dia sibuk dengan aktivitasnya sampai-sampai suara perutnya yang keroncongan membuatnya berhenti, "Ah iya aku belum ada makan apapun." Titi berjalan menuju dapur untuk mencari makanan. Mulai membuka laci-laci dihadapannya lalu menemukan mie instan. Titi memasaknya dengan cepat. "Rumah bagus-bagus kok tidak ada stok makanan sama sekali. Dasar pelit." Gerutunya sambil memasak.
"Selamat makan!" ucapnya dengan girang.
Secara perlahan dia menikmati mie nya. benar-benar membuat mood nya happy sekali. Padahal hanya sebungkus mie instan saja.
"Hei, apa yang kamu lakukan!"
Uhuk! uhuk!" Sontak membuatnya terkejut.
Kenapa lelaki itu selalu saja datang semaunya? Tidak bisakah dia membiarkanku sedikit bernafas sebentar saja?
Seketika wajah Titi menjadi memerah, "Kapan kamu pulang?" Bodohnya dia malah bertanya hal yang tidak mungkin di jawab oleh lelaki menyebalkan itu.
"Ini hidangkan makanannya. Aku mau mandi dulu." Pintanya.
"Baik," Balas Titi.
Titi dengan cepat menghabiskan sisa mie nya, lalu menghidangkan makanan yang di beli oleh Arya di atas meja makan. Arya turun dengan cepat lalu duduk di kursi, "Silahkan tuan. Kalau begitu saya permisi." Ucapnya.
"Hei tunggu!"
Titi kembali berjalan kearah Arya, "Ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan?"
"Tetap berdiri disana sampai saya selesai makan." Pintanya yang sangat tidak masuk akal hingga membuat Titi mendengus dengan kesal.
'Pantas saja tidak ada wanita yang ingin menikah denganmu, ternyata kamu ini lebih kejam dari iblis.' Batinnya.