Episode 8

1307 Kata
POV Anyelir “Enam bulan lalu, istri, anak-anakku, mertuaku dan adik ipar pergi keluar kota. Mereka akan menghadiri undangan saudara mertuaku yang akan menikahkan anaknya. Tapi, kecelakaan menghancurkan semuanya. Mobil yang dikemudikan adik iparku menabrak pembatas jalan, lalu tertabrak mobik yang di belakang mereka. Dan seluruh penumpang tewas, termasuk istri dan anak-anakku, Anyelir.” Ferdi menceritakan kejadian naas itu sembari menahan tangis. Manik pria itu nampak berkaca-kaca, suaranya pun terdengar bergetar. Ferdi tentu sangat kehilangan mereka, terutama anak dan istrinya. Pria di hadapanku ini, terlihat sangat rapuh dan hancur. Ya, bagaimana Ferdi tak hancur, jika harus kehilangan tujuh anggota keluarganya sekaligus? “Ferdi, aku tahu, kata-kataku tidak akan sanggup menghapus kesedihanmu. Tetapi ini semua sudah menjadi bagian takdir Allah dan kita sebagai hambanya hanya bisa menjalani semua ini dengan tabah dan ikhlas. Percaya, jika Allah tidak akan menguji seorang hamba di luar batas kesanggupan hambanya tersebut,” kataku mencoba memberi sedikit kekuatan untuk Ferdi. Mudah memang mengatakannya, tapi sangat sulit untuk dijalankan. Tabah dan ikhlas menjalani sebuah takdir dari Allah adalah hal sulit. Seperti yang kurasakan selama ini. Adi menikahi Melati dan Kinanti adalah ketetapan dari Allah, seharusnya aku tidak perlu berlarut dengan kesakitan ini. Tapi sungguh, selama ini aku sudah mencoba untuk menyembuhkan diri dan menerima semuanya. Nyatanya, semua ini sungguh sangat sulit. “Memang sangat sulit, aku sangat tahu itu. Terlebih kamu kehilangan tujuh anggota keluargamu sekaligus. Pasti rasanya sangat menyakitkan. Tapi aku yakin, kamu bisa melewati semua ini dengan ikhlas, meskipun tak akan mudah.” Ferdi mengulas senyum tipis, wajahnya sudah tak semurung tadi. “Terima kasih ya. Aku memang sempat merasa putus asa dan tidak memiliki semangat lagi dalam menjalani hidup. Tapi, setelah aku melihat video-mu saat live dengan penuh semangat, aku tersadar jika hidup ini harus tetap berjalan meski ada hal-hal yang tak sesuai harapan.” Aku tersenyum malu, karena ternyata Ferdi juga melihat video-ku saat memasarkan kue-kue hasil kreasiku dan tim. “Iya, mau tidak mau, karena aku seorang penjual jadi harus semangat saat memasarkan produkku,” kataku. “Memang harus begitu. Aku juga sangat senang dan terhibur menontonnya. Aku yang harus belajar banyak padamu, Anyelir. Kamu bisa setegar sekarang meski kembali disakiti oleh dia.” “Mungkin memang jodohku dengan Adi hanya sampai di sini. Dan Adi mungkin memang hanya diciptakan untuk mencintai Melati dan Kinanti. Awalnya memang sakit, tapi sekarang aku sudah sedikit mampu berdamai dengan rasa sakit itu. Meskipun untuk melupakannya sangat mustahil.” “Maaf, sebelumnya, Anyelir. Tapi kelihatannya tadi, Mas Adi tidak menyayangi Kinanti. Atau aku yang salah?” “Aku tidak mau berpendapat soal itu. Bukan urusanku,” tegasku, karena tidak ingin berspekulasi tentang hubungan Adi dan Kinanti. Mereka bermusahan, bertengkar atau apa pun, aku sungguh tak peduli. Ferdi mengangguk paham dan kini justru mengganti topik pembicaraan kami. Dia bertanya mengenai Lathif dan Syahreza. Juga seputar bisnisku sekarang. “Baru dua tahun ini aku merintisnya dan Alhamdulillah selalu dipermudah dalam segala hal oleh Allah,” jawabku, ketika Ferdi bertanya kapan aku mulai merintis bisnis pastry-ku. “Kamu dan timmu sangat hebat. Aku bangga sekali denganmu, Anyelir. Perpisahanmu dengannya, tidak membuatmu jatuh. Kamu semakin bersinar dengan kerja kerasmu sendiri.” Ferdi memuji yang membuatku tersenyum simpul. “Terima kasih, Fer,” ucapku. Kuanggap pujian dari Ferdi adalah sebuah pujian antar sahabat. Terlepas dari masa lalu kami dulu yang gagal membina rumah tangga, aku selalu menganggap Ferdi sebagai sahabatku. Meskipun mungkin dulu Ferdi sangat membenciku. “Mama, Papa sudah pulang?” Lathif dan Reza muncul dari dalam rumah. Keduanya berdiri di ambang pintu, menatapku dengan sendu. “Sini, Nak,” kupanggil keduanya untuk mendekat. Reza yang berusia empat tahun kududukkan di pangkuanku. “Ayo, kenalan dulu sama Om Ferdi. Om Ferdi ini adalah sahabat Mama,” kataku pada Lathif dan Reza. Reza yang lebih dulu mengulurkan tangan pada Ferdi, kemudian disusul oleh Lathif. “Ayo sini, duduk di samping, Om,” ajak Ferdi menepuk kursi di sampingnya yang kosong. Tak kusangka, Lathif menuruti permintaan Ferdi untuk duduk di samping pria itu. Meskipun wajahnya sedikit murung, tapi tak apa, yang terpenting dia masih berusaha bersikap sopan pada Ferdi. “Lathif hobinya apa, Nak?” tanya Ferdi kemudian. “Main basket, Om.” “Wah, hebat. Kapan-kapan main bareng sama Om, ya. Om juga lumayan bisa main basket.” “Benar, Om? Om bisa main basket? Dan mau nemenin Lathif main?” tanya Lathif dengan antusias. Wajahnya kini sudah kembali ceria, tidak semurung tadi. “Tentu dong. Besok sore, selesai Om kerja, Om jemput ya. Kita ke lapangan basket sama Mama Anye dan Adik Reza. Gimana?” “Mau, Om. Mau.” Lathif berseru girang. Kemudian dua lelaki berbeda generasi tersebut terlibat pembicaraan seputar basket dan lainnya. Sementara aku lebih banyak menyimak dan sesekali menjawab pertanyaan Reza yang penuh rasa ingin tahu. Dua puluh menit kemudian, Ferdi berpamitan. Pria itu berjanji esok sore akan kembali ke sini untuk menunaikan janjinya bermain basket dengan Lathif. Begitu kendaraan milik Ferdi hilang dari pandangan, aku segera membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah. Namun baru beberapa langkah, sebuah mobil berhenti di halaman rumah. Tak kusangka, Dipta kembali ke sini, entah dengan tujuan apa. “Pergi, Di, aku nggak mau Kinanti menyalahkanku atas kedatanganmu ke sini!” usirku tanpa ragu, setelah Adi turun dari kendaraan roda empatnya. “Aku hanya ingin memastikan kamu menerima mobilnya.” “Aku sudah memiliki mobil, Di. Aku tidak butuh lagi.” “Kalau begitu, gunakan mobil itu untuk mobilitasmu sehari-hari. Aku mengkhawatirkanmu, kalau terus-terusan menggunakan motor. Aku takut kejadian tempo hari terulang lagi. Aku nggak ingin terjadi sesuatu denganmu,” ujar Adi dengan wajah memohon yang sama sekali tidak membuatku tersentuh. “Kenapa? Kenapa untuk hal-hal seperti ini kamu mengkhawatirkanku, Di?” “Karena kamu adalah ibu dari Lathif dan Reza. Dan jika sesuatu terjadi padamu, mereka pasti akan sedih.” Jadi hanya karena aku Ibu dari Lathif dan Reza. Lantas kamu ingin mendengar jawaban apa dari bibir Adi, Anyelir? “Kamu hanya mengkhawatirkan fisikku, Di?” tanyaku tersenyum kecut. “Anyelir, a—aku ….” “Apa kamu pernah mengkhawtirkan perasaanku, Di? Pernahkah kamu memikirkan bagaimana bentuk hatiku yang telah kamu cabik berkali-kali? Dulu, kamu mungkin memang mencintai Melati dan aku bisa dikatakan adalah Orang Ketiga di antara hubungan kalian. Dan aku memaklumi kebencianmu dulu padaku. Tapi sekarang, alasanmu menikahi Kinanti sungguh tidak masuk akal, Di,” ujarku dengan getir. Entah mengapa, aku ingin memuntahkan segala gundah yang sempat kupendam selama ini. Mungkin karena dipicu pertengkaranku dengan Kinanti beberapa saat lalu, hingga membuat kemarahanku menyala dan kembali mengungkit sesuatu yang telah lalu di antara kami. “Aku tidak pernah membencimu, Anyelir. Bahkan dulu sekali pun, aku tidak pernah membencimu. Tolong, jangan membuatku semakin merasa bersalah.” “Kamu memang bersalah, Di. Kamu jahat! Kamu egois! Kamu hanya mementingkan kepentinganmu sendiri, tanpa pernah memperdulikan perasaanku!” “Jangan, jangan bicara seperti itu Anyelir. Aku minta maaf untuk semuanya.” “Kamu pikir, maafmu mampu menghapus rasa sakit yang kurasakan selama ini, Di?” tanyaku murka. Aku menggeleng tegas. “Tidak, Di. Maafmu tidak berarti apa-apa. Sakitku.” Kutunjuk dadaku. “Sakitku sudah mandarah daging dan mungkin tidak akan pernah hilang sampai kapan pun.” “Anyelir, aku minta maaf.” Suara Adi terdengar bergetar. Wajahnya sudah pucat pasi. Sedangkan aku, menatapnya penuh amarah. “Selama ini aku berpikir, dengan mudahnya kamu menikahi Kinanti, mungkin karena kamu memang tidak pernah sedetik pun mencintaiku. Begitu kah, Di?” “Tidak, jangan berpikir seperti itu, Anyelir. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Aku menikahi Kinanti semata karena ….” “Semata hanya karena kasihan dengan perempuan itu, kan?” tanyaku murka yang diangguki oleh Adi. “Tapi bukan itu alasan utamamu, Di. Kamu begitu mudah menggantikan posisiku dengan Kinanti, karena kamu memang masih sangat mencintai Melati. Cintamu hanya untuk wanita itu. Hanya Melati satu-satunya wanita yang kamu cintai, Di. Kamu tidak pernah mencintaiku. Tidak pernah sedetik pun!” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN