"Salah satu kamar di rumah susun itu mungkin lokasi penyekapan Lilo."
Ares melihat sinar harap di iris biru Steve, tapi dia tidak bisa merasakan senang atau lega seperti ekspresi yang ditunjukkan teman barunya itu. Daripada memikirkan jenis perasaan itu, Ares ikutan turun dari mobil, lalu menyusuri jalanan agak becek karena habis hujan di belakang Steve, sambil memerhatikan beberapa bangunan yang tanpa penerang di sekitarnya. Mereka berdua menaiki tangga menuju rumah susun.
"Aku ke kanan, kamu ke kiri. Ketuk aja pintunya. Kalau yang keluar pria usia 30-an, badannya agak berisi, satu kaki pincang, kamu harus segera telepon aku. Tadi di mobil, kamu udah catat nomorku, kan?"
Ares mengangguk, netra hitamnya benar-benar menunjukkan rasa dingin tanpa minat, tapi Steve tahu teman barunya ini peduli terhadapnya. Buktinya, dia mau menemani Steve sampai sejauh ini, kan? Andai Steve tahu kalau dalam pikiran Ares hanya ada balas budi atas mengantar pamannya, mungkin dia akan membenturkan kepalanya sendiri ke dinding.
Steve tersenyum, lalu menepuk bahu Ares. "Setelah ketemu Lilo, aku janji akan traktir kamu keripik kentang yang banyak."
Ada pergerakan pada masker Ares, Steve menduga pemuda di depannya sedang tersenyum di balik masker karena mata pemuda ini juga sedikit menyipit. Tapi sebenarnya, Ares mendengkus, menyeringai dengan merendahkan.
'Janji, katanya? Manusia tidak bisa memegang janji!'
Setelah itu, Steve dan Ares mulai mengetuk pintu, memerhatikan dalam ruangan, dan saat orang yang didatangi tidak sesuai dengan ciri si penculik, mereka berlanjut ke kamar berikutnya. Di lantai ketiga tidak ada, maka mereka berlanjut ke lantai dua, tapi hasilnya sama saja. Keduanya bertemu kembali ke lantai dasar, merenung di dekat tangga.
"Mungkin kita melewatkan sesuatu." Steve bergumam. Lalu kembali mengingat setiap kamar yang dia datangi. "Tidak ada yang berprofesi sebagai penjahit di sana... Ah, bagaimana denganmu? Apa tadi ada yang punya mesin jahit, atau melihat jarum-jarum tercecer di lantai?"
Ares mengambil secarik kertas lalu menuliskan, 'nggak ada.'
"Ini sudah jam sepuluh. Jarum tercecer sekitar jam tujuh. Ada kemungkinan jarum-jarum itu sudah dibereskan. Kita coba sekali lagi."
Ares menahan tangan Steve, lalu dia menulis lagi. ‘Nggak ada pria yang seperti kamu sebutkan di kamar-kamar yang tadi kuketuk pintunya. Ada kemungkinan, lokasi penculikan itu bukan di sini. Kamu harus perhitungkan jarak suara yang kamu dengar dengan tempat penculik. Pikirkan baik-baik, kira-kira dari jarak berapa jauh untukmu bisa mendengar suara itu?'
Steve seolah tercerahkan, lalu menepuk dahinya sendiri. "Astaga, aku lupa kalau punya telinga!" Dia kemudian menarik napas perlahan, lalu melepas earplug di kedua telinganya. Memejamkan mata, fokus mendengarkan sekitar.
"Bibi, satu porsi bakso lagi ya!"
"... Temannya selingkuh sama sahabatnya sendiri...."
"... Akhir film yang aku tonton tragis banget..."
Suara perbincangan.
Tak
Tak
Tak
Ini suara langkah kaki yang pakai heels...
Krieeet (suara pintu terbuka)
Dugh
Dugh
Dugh (Suara benda tumpul membentur atas kayu)
Ngiiing... Nggiiing (suara mobil polisi)
"... Kecelakaan di daerah kota...." (Suara dari televisi)
"... Hahaha... Dia benar-benar murahan!" (Suara perbincangan)
Liyu... Liyu... Liyu... (Suara ambulance)
Steve terus mendengarkan semua suara di sekitarnya. Suara percakapan para pelanggan restoran, suara sirine ambulance di kejauhan, suara televisi, suara orang bicara di telepon, kendaraan di kejauhan, suara mesin permen kapas, perbincangan banyak orang, lalu...
Tok... Tok... Tok...
Suara palu berdenting dengan sesuatu seperti ubin.
"Hah... Hah... Tolong aku... Hah..."
Napas putus-putus seseorang!
Tepat saat dia mendengar hal terakhir, kupingnya tersumpal sesuatu yang hangat dan lembut. Itu headphone. Lalu musik klasik memenuhi pendengarannya. Steve tahu instrumen piano ini; fur elise oleh Beethoven. Lila selalu menghidupkan musik ini setiap kali dia melukis.
Steve membuka mata, melihat di depannya berdiri Ares dengan tatapan dinginnya yang biasa. Lelaki itu menunjuk telinga Steve, refleks Steve meraba telinganya. Cairan kental hangat mengalir di sana. Dia tersenyum samar.
"Aku selalu begini kalau terlalu fokus dengerin hal-hal yang kecil. Nggak usah cemas, besok juga baikan." Dia kemudian melepas headphone, dan mengembalikannya ke Ares, lantas memasang kembali earplug miliknya. “Ngomong-ngomong, kamu dan Lilo punya selera sama; musik klasik.”
Ares mengabaikan kalimat itu. Dia juga sebenarnya tidak mencemaskan Steve sedikit pun. Lelaki itu hanya berpikir akan merepotkan jika Steve pingsan di sana. Dia tidak bisa pura-pura tidak melihatnya, kan? Apalagi beberapa pelanggan restoran melihat mereka bersama tadi.
"Sekarang aku tahu dari mana asal panggilan telepon tadi." Steve menunjuk ke samping restoran, tepat pada ruko yang tak berpenghuni. Bahkan tidak ada secercah cahaya tampak di sana.
Sebelum Steve melangkah ke bangunan itu, ponselnya berdering. Panggilan dari Smith.
"Steve, kamu di mana? Lila udah ketemu. Sekarang di rumah sakit. Kak Shahira lagi merawatnya."
***