Bab 1 – Awal yang Manis
Matahari pagi menyelinap lembut melalui celah tirai kamar, memantulkan cahaya ke wajah Aruna yang masih terlelap. Suara kicau burung di luar jendela menambah ketenangan pagi itu. Raditya, yang sudah bangun lebih dulu, tersenyum kecil sambil menatap istrinya. Ada rasa syukur mendalam setiap kali ia menyadari bahwa perempuan di sampingnya kini sah menjadi miliknya.
“Aruna…” bisiknya lembut sambil menyibakkan anak rambut yang menutupi wajah sang istri.
Aruna menggeliat pelan, membuka mata dengan tatapan malas namun penuh kasih. “Hmm… sudah pagi ya?” suaranya serak manja, membuat Raditya tertawa kecil.
“Sudah. Dan aku baru saja menyadari, wajahmu lebih indah daripada matahari.”
Aruna meringis sambil melempar bantal kecil ke arah suaminya. “Gombal!”
Raditya tertawa renyah, lalu meraih bantal itu dan mendekapnya ke d**a. “Aku serius. Kalau setiap pagi aku bisa melihatmu begini, aku nggak butuh apa-apa lagi dalam hidup.”
Aruna tersipu, meski sudah terbiasa dengan rayuan Raditya yang manis. Lelaki itu selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa. Mereka baru menikah enam bulan lalu, dan setiap hari masih terasa seperti bulan madu.
Setelah beberapa menit bercanda di tempat tidur, Aruna beranjak ke dapur. Ia mengenakan apron bunga-bunga, rambut panjangnya dikuncir sederhana. Tangannya cekatan menyiapkan sarapan: telur dadar kesukaan Raditya, roti panggang, dan secangkir kopi hitam.
Raditya, bukannya membantu, justru duduk di kursi makan sambil memperhatikan istrinya sibuk. Matanya berbinar, seolah-olah melihat pemandangan paling indah di dunia.
“Kenapa melotot begitu?” tanya Aruna, tanpa menoleh.
“Aku masih nggak percaya,” jawab Raditya santai.
“Nggak percaya apa?”
“Nggak percaya seorang Aruna, perempuan yang dulunya hanya aku lihat dari jauh waktu kuliah, sekarang ada di dapurku, pakai apron, masakin sarapan buatku. Rasanya kayak mimpi.”
Aruna terdiam sebentar. Hatinya hangat, mengingat kembali masa lalu mereka. Raditya memang kakak tingkat yang dulu hanya ia kagumi diam-diam. Tak pernah terbayang, lelaki itu akhirnya melamarnya dengan penuh keyakinan.
“Kamu memang suka lebay,” gumam Aruna, pura-pura cuek, meski pipinya memerah.
Sarapan berlangsung dengan penuh tawa. Raditya menceritakan rencananya hari ini di kantor, sementara Aruna bercerita tentang tetangga baru di komplek yang ramah. Obrolan sederhana itu justru membuat mereka merasa dekat.
Selesai makan, Raditya bersiap berangkat kerja. Ia meraih jasnya, lalu mendekati Aruna yang sedang mencuci piring. Dari belakang, ia memeluk pinggang istrinya erat.
“Aku pergi dulu.”
Aruna tersenyum, meski masih fokus dengan cucian piring. “Hati-hati di jalan.”
Raditya memutar tubuh Aruna, membuatnya berhadapan langsung. Ia mengecup kening istrinya lama, penuh kelembutan. “Kamu doa aku, ya? Supaya semua lancar.”
Aruna mengangguk. “Selalu.”
Raditya berangkat dengan hati ringan, meninggalkan Aruna yang kembali tenggelam dalam rutinitas rumah tangga. Tapi justru rutinitas itulah yang membuatnya bahagia. Ia menikmati setiap detik menjadi seorang istri, melayani suami dengan tulus, sambil membangun rumah tangga kecil mereka yang hangat.
Siang harinya, Aruna sibuk menata tanaman hias di teras rumah. Beberapa tetangga datang menyapa, memuji betapa ramah dan sopannya dia. Kehidupan barunya berjalan begitu indah, seakan tidak ada awan mendung yang berani mendekat.
Namun, di sudut lain kota, ada sepasang mata yang menatap dengan iri. Seorang wanita, yang tak lain adalah adik ipar Aruna, melihat kebahagiaan itu sebagai ancaman. Senyum hangat Aruna, kebaikan hatinya, dan cintanya yang tulus pada Raditya—semua itu membuat wanita tersebut merasa tersisihkan.
“Aruna… kita lihat, seberapa lama kamu bisa terlihat sempurna.” bisiknya dengan nada penuh kebencian.
Tanpa Aruna sadari, kebahagiaan manis yang ia jalani perlahan sedang dikepung oleh racun yang tak terlihat. Fitnah yang akan menghancurkan segalanya baru saja mulai berbisik di kejauhan.
Sore itu, Aruna duduk di ruang tamu dengan segelas teh hangat. Ia menyalakan televisi, tapi pikirannya melayang pada Raditya. Ia tahu suaminya bekerja keras demi mereka, dan itu membuatnya ingin semakin mendukung. Aruna menyiapkan catatan kecil berisi menu makan malam spesial malam ini—sop iga kesukaan Raditya.
Sambil menulis, ia tersenyum sendiri. Andai hidup bisa selalu seperti ini… sederhana tapi penuh cinta.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari mertuanya.
"Besok jangan lupa datang ke rumah. Ada arisan keluarga. Jangan telat."
Aruna membaca pesan itu dua kali. Tidak ada sapaan, tidak ada emotikon. Hanya kalimat singkat, dingin, seperti biasanya. Ia menarik napas panjang. Hubungannya dengan ibu mertuanya memang tidak pernah benar-benar hangat. Sejak awal menikah, ia merasa selalu dinilai. Sikap sopan santunnya, cara masaknya, bahkan cara berpakaian sering jadi bahan komentar.
Namun Aruna memilih untuk diam. Ia percaya, seiring waktu, hatinya akan luluh. Bukankah kesabaran adalah kunci dalam rumah tangga?
Menjelang malam, Raditya pulang dengan wajah letih. Begitu pintu dibuka, aroma sop iga menyambutnya. Senyumnya langsung merekah.
“Ya Tuhan, Aruna… kamu tahu persis caranya bikin aku lupa semua masalah kantor,” katanya sambil mencium aroma masakan itu.
Aruna tertawa kecil. “Makanya cepat ganti baju, cuci tangan, terus makan. Sop ini nggak bisa menunggu terlalu lama.”
Makan malam mereka berlangsung hangat. Raditya bercerita sambil sesekali bercanda, membuat Aruna tertawa lepas. Namun di balik tawa itu, ada sedikit kegelisahan yang ia sembunyikan—tentang undangan dari ibu mertuanya besok.
Aruna tidak ingin merusak suasana. Malam ini ia hanya ingin menyimpan kenangan indah, karena siapa sangka, hari-hari seperti ini kelak hanya akan menjadi luka yang terus membekas.
Di luar sana, langit tampak cerah. Tapi tanpa mereka sadari, badai sudah mulai bergerak mendekat.
Malam semakin larut, tapi tawa kecil masih terdengar dari ruang tamu rumah sederhana itu. Raditya duduk santai di sofa, sementara Aruna menyandarkan kepala di bahunya. Di pangkuannya, ada buku resep yang tadi ia baca sebelum makan malam.
“Kalau nanti kita punya anak, kamu maunya aku masakin apa setiap hari?” tanya Aruna tiba-tiba, suaranya pelan tapi penuh harapan.
Raditya tersenyum, menatap wajah istrinya dengan penuh cinta. “Apa aja. Asal kamu yang masak, aku pasti lahap.”
Aruna tersipu, membayangkan masa depan yang ia pikir akan penuh warna. Ia tidak tahu, bayangan indah itu sebentar lagi akan ternoda.
Ketika Raditya akhirnya tertidur di sofa, Aruna membereskan meja makan dan mencuci piring-piring yang tersisa. Tangannya sibuk, tapi hatinya hangat. Ia merasa beruntung, merasa hidupnya sempurna, meski sesekali merasa kurang diterima oleh mertuanya.
“Semua akan baik-baik saja,” bisiknya pada diri sendiri, seolah meyakinkan hati.
Di luar jendela, bulan menggantung indah, menyinari halaman rumah mereka yang sepi. Tapi di balik keindahan malam itu, ada bayangan lain yang tengah merencanakan sesuatu. Sesosok perempuan duduk di kamarnya, memandangi foto pernikahan Aruna dan Raditya di layar ponselnya. Senyum sinis mengembang di wajahnya.
“Aruna, kebahagiaanmu nggak akan lama,” gumamnya, penuh iri.
Aruna tidak tahu, malam yang begitu tenang itu sebenarnya adalah awal dari badai besar yang akan merenggut semua hal yang ia cintai.