Hujan turun perlahan sore itu. Butirannya menimpa kaca jendela apartemen Raka, menciptakan suara ritmis yang menenangkan. Di meja kerjanya, secangkir kopi mulai kehilangan hangatnya, tapi ia masih duduk di sana menatap layar laptop yang menampilkan desain proyek barunya. Tangannya sibuk, tapi pikirannya mengembara entah ke mana. Sudah hampir dua bulan sejak ia terakhir mendengar nama Sinta. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, bahkan tak ada desas-desus tentang keberadaannya. Dunia seperti sengaja menjauhkan mereka agar luka lama bisa mengering dengan sendirinya. Raka menarik napas panjang. “Lucu, ya… dulu aku pikir nggak bisa hidup tanpa dia,” gumamnya pelan. Kini, ternyata ia bisa. Bisa berjalan sendiri, bisa tersenyum, bisa menatap masa depan tanpa rasa sesak di d**a. Mungkin benar, w

