Bab 2 – Arisan Keluarga

1039 Kata
Pagi itu, Aruna bangun lebih awal dari biasanya. Ia sudah ingat betul pesan dari ibu mertuanya: “Besok jangan lupa datang ke rumah. Ada arisan keluarga. Jangan telat.” Aruna tahu, acara itu bukan sekadar arisan biasa. Itu momen di mana semua mata akan tertuju padanya. Sejak menikah, ia selalu merasa ditimbang-timbang, seolah setiap gerak-geriknya akan dinilai oleh keluarga besar Raditya. Ia memilih kebaya sederhana berwarna biru muda. Tidak terlalu mencolok, tapi tetap rapi. Rambutnya ia sanggul dengan hati-hati, sementara wajahnya hanya dipoles tipis dengan bedak dan lipstik pucat. “Cantik sekali,” komentar Raditya saat keluar dari kamar mandi, masih dengan handuk di leher. Aruna menoleh, tersenyum kecil. “Masa? Aku takut kelihatan aneh.” “Kalau kamu aneh, berarti dunia ini yang salah.” Raditya mengecup kening istrinya sebelum bersiap. Perjalanan menuju rumah mertuanya cukup sunyi. Raditya memegang kemudi, sesekali menggenggam tangan Aruna. Lelaki itu tidak pernah berubah: penuh perhatian, penuh kasih. Namun, Aruna tak bisa mengusir kegugupan di dadanya. Begitu sampai di rumah besar itu, mereka disambut aroma masakan yang semerbak. Para kerabat sudah berkumpul, bercengkerama di ruang tamu yang luas. “Eh, akhirnya datang juga.” Suara dingin itu milik ibu mertua Aruna. Tatapannya singkat, lalu kembali ke arah tamu lain, seolah kedatangan Aruna bukan sesuatu yang penting. Aruna tersenyum sopan, menunduk hormat. “Iya, Bu. Maaf kalau agak telat.” “Untung nggak telat banget,” sahut seorang perempuan lain dengan nada menyindir. Dialah Karina, adik perempuan Raditya. Tatapannya menelusuri Aruna dari atas sampai bawah, seolah sedang mengukur. Aruna hanya diam, menahan diri. Raditya merasakan ketegangan itu, tapi ia memilih menggenggam tangan istrinya erat, memberi isyarat bahwa ia ada di sisinya. Selama acara, Aruna berusaha ramah. Ia ikut membantu menyajikan kue, menuangkan teh, bahkan menanyakan kabar pada beberapa kerabat. Namun, tidak semua membalas dengan hangat. Beberapa hanya melirik, lalu berbisik satu sama lain. “Dia manis, ya.” “Manis di depan doang kali.” “Untung kakaknya mau sama dia.” Bisik-bisik itu sampai ke telinga Aruna, meski dengan suara lirih. Hatinya perih, tapi ia tetap tersenyum. Di tengah acara, seorang tante bertanya, “Aruna, sudah isi?” Pertanyaan itu membuat suasana seketika hening. Aruna tersipu, menunduk. “Belum, Tante. Mohon doanya.” Tante itu mengangguk, tapi ibu mertua justru mendecak pelan. “Sudah setengah tahun menikah, kok belum ada tanda-tanda juga? Jangan sampai keluarga besar nunggu terlalu lama, ya.” Aruna menelan ludah, wajahnya panas. Raditya segera menimpali, “Sabar aja, Bu. Belum waktunya, mungkin Tuhan belum kasih.” Tapi tatapan ibu mertuanya jelas tidak puas. Karina tersenyum miring, meneguk tehnya dengan santai, seolah menikmati ketidaknyamanan itu. Aruna mencoba tetap tegar sepanjang acara. Ia berbicara seperlunya, melayani dengan ramah. Namun, di balik senyumnya, hatinya tergores. Ia tahu, apa pun yang ia lakukan tidak akan pernah cukup di mata mereka. Menjelang sore, acara selesai. Para tamu berpamitan, meninggalkan rumah satu per satu. Aruna membantu membereskan piring, meski Raditya sudah melarang. “Biar aku bantu,” katanya pelan. Namun, ibu mertuanya menjawab dingin, “Nggak usah. Kamu pulang aja, jangan bikin berantakan.” Aruna menunduk, menerima kata-kata itu tanpa membantah. Dalam perjalanan pulang, Raditya menggenggam tangannya erat. “Maafin mereka, ya. Kamu nggak salah apa-apa.” Aruna tersenyum tipis, menahan air mata. “Aku cuma pengin mereka nerima aku apa adanya.” Raditya menoleh sekilas, lalu mencium punggung tangannya. “Percaya sama aku, mereka akan lihat suatu saat nanti. Yang penting, aku percaya sama kamu.” Aruna mengangguk, meski hatinya tahu, kepercayaan itu kelak akan diuji dengan cara yang paling menyakitkan. Sepanjang perjalanan pulang, Aruna hanya diam. Ia menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berkelip tanpa benar-benar melihat. Hatinya penuh dengan rasa campur aduk—sedih, kecewa, dan sedikit marah pada dirinya sendiri karena selalu merasa kurang di mata mertua. Raditya melirik istrinya beberapa kali. Ia tahu ada yang salah, tapi ia tidak ingin menambah beban. Lelaki itu hanya mempererat genggaman tangannya. “Aruna…” suaranya lembut. “Kamu nggak perlu buktiin apa-apa ke siapa pun. Cukup sama aku aja. Aku tahu kamu istri yang paling baik.” Ucapan itu seharusnya membuat Aruna tenang, tapi justru membuat matanya panas. Ia menggigit bibir, menahan tangis. “Tapi, Mas… kenapa rasanya aku selalu salah di depan mereka?” Raditya menarik napas panjang, seakan mencari jawaban. “Karena mereka belum kenal kamu. Dan mungkin… mereka belum bisa ikhlas melepas aku sepenuhnya. Tapi aku janji, aku bakal selalu ada di pihakmu.” Aruna menoleh, menatap wajah suaminya yang serius. Ia ingin percaya, dan memang hatinya percaya penuh. Namun, di sudut kecil hatinya, ada rasa takut. Bagaimana jika suatu hari, Raditya justru lebih memilih percaya pada keluarganya daripada padanya? Malam itu, mereka pulang ke rumah dengan diam yang panjang. Raditya sibuk menenangkan dengan genggaman tangan, sementara Aruna sibuk menenangkan hatinya sendiri. Ia tidak tahu, bahwa perasaan kecil yang mengganjal itu suatu hari akan menjadi luka terbesar dalam hidupnya. Di kamar pribadinya malam itu, Karina duduk di depan meja rias. Tangannya sibuk membuka-buka ponsel, menelusuri foto-foto Raditya dan Aruna yang berserakan di media sosial. Senyum miring terbit di bibirnya. “Manis sekali, ya? Seolah-olah dunia ini milik mereka berdua,” gumamnya dengan nada getir. Sejak dulu, Karina memang selalu merasa menjadi pusat perhatian keluarganya. Ia anak perempuan satu-satunya, yang biasa dimanja dan dijadikan kebanggaan. Raditya, sebagai kakak tertua, juga selalu menuruti keinginannya. Namun sejak hadirnya Aruna, semuanya berubah. Perhatian Raditya seolah tersedot habis hanya untuk istrinya itu. Tak ada lagi kakak yang siap sedia menjemputnya, mendengarkan curhatnya, atau membelikan hal-hal kecil yang ia inginkan. Raditya kini sibuk dengan rumah tangga barunya. Yang membuat Karina semakin muak adalah sikap Aruna yang terlalu sempurna di mata orang lain. Tetangga memuji kelembutannya, teman-teman arisan keluarga terpesona oleh keramahannya, bahkan beberapa saudara laki-laki memuji kecantikannya. Semua itu seperti tamparan bagi Karina yang merasa dirinya tersisih. “Dia pikir siapa? Datang dari keluarga biasa, lalu merebut semua yang harusnya jadi milikku.” Karina mengepalkan tangan, matanya berkilat penuh iri. Ia tidak peduli Aruna tidak pernah berbuat salah padanya. Yang ia tahu, selama Aruna ada, ia akan selalu berada di bayangan perempuan itu. Dan itu tidak bisa ia terima. Karina menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Tenang saja, Aruna. Aku akan buat hidupmu tidak semanis sekarang. Kita lihat, seberapa lama kamu bisa bertahan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN