Ketika mobil Alphard yang membawa Karina dan Edwin memasuki tol dalam kota menuju Bekasi, langit tiba-tiba berubah muram. Petir menggelegar di kejauhan, dan tak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya. Butiran air hujan menabrak kaca mobil seolah-olah langit sedang menangis bersama Karina. Setiap tetes hujan seperti membawa beban berat yang menekan hati Karina, yang baru saja melepas kepergian Kanaya. Suasana gelap dan dingin itu hanya mempertegas perasaan kosong di dalam dirinya.Suasana yang kelam ini diperparah oleh pertanyaan dari Edwin.
" Kamu nggak mau berteman denganku, Rin?" Edwin mengulangi pertanyaannya
" Bukan nggak mau Pak, tapi, orang kecil seperti diriku tidak pantas berteman dengan Bapak, nanti Bapak bakalan malu." katanya, suaranya hampir tak terdengar di antara derasnya hujan di luar.
Edwin menghela napas. "Kenapa harus malu? Selama ini aku berteman dengan siapa saja tanpa memandang status. Iya nggak, Pak Bambang?" Edwin menoleh ke supirnya, seolah meminta persetujuan.
Pak Bambang, yang sedang fokus menyetir di tengah hujan lebat, mengangguk. " Iya Bu, Pak Edwin itu atasan yang paling baik dengan semua karyawan, saya dan Pak Edwin aja sering makan bareng di rest area kalau lagi kunjungan kerja ke Bandung atau keluar kota" Tambahnya dengan nada meyakinkan
Karina tersenyum mendengar perkataan Pak Bambang yang seolah mendukung dirinya agar menerima tawaran pertemanan dari Edwin. Supaya tidak dibilang sok jual mahal, belagu dan menjaga jarak kepada seseorang yang sudah begitu baik kepada dirinya dan Kanaya, Karina akhirnya mengangguk
" Baik Pak. Mari kita berteman."
" Kok masih Bapak?" Potong Edwin
" Baik, Win, terimakasih sudah menawarkan pertemanan untuk ku." Kata Karina
Senyum puas terpancar dari wajah Edwin " Nah gitu dong, dengan berteman, aku jadi lebih leluasa ngomong dan bertanya padamu."
Karina, yang mulai merasa lebih nyaman, membalas dengan tanya, "Mau tanya apa?"
Di luar, hujan terus mengguyur tanpa ampun, membuat perjalanan menuju Bekasi menjadi lambat dan berat. Di dalam mobil, suasana terasa hangat meski perasaan Karina masih diliputi kesedihan.
" Kanaya kenapa bisa kehilangan suaranya?" Tanya Edwin
Karina terdiam. Mengulang cerita ini selalu membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Namun, dia tahu Edwin hanya ingin mengerti. Dengan suara yang bergetar, Karina mulai menceritakan kisah tragis yang terjadi lima belas tahun lalu, tentang bagaimana suaminya, Bayu, yang putus asa karena terlilit hutang, mencoba mengakhiri hidupnya dan Kanaya dalam satu tindakan nekat.
"Suamiku... dia memang sudah kehilangan akal sehat sampai bisa melakukan hal nekat yang menghilangkan nyawanya" kata Karina, suaranya penuh luka.
Dia berhenti sejenak, menarik napas panjang yang penuh dengan rasa sakit dan kemarahan yang terpendam. "Saat itu, aku tidak peduli lagi dengan dia. Aku langsung membawa Kanaya ke rumah sakit agar bisa tertolong. Pak RT yang kemudian mengabariku bahwa Bayu sudah meninggal. Aku tidak merasa sedih, Win. Hanya ada rasa marah, marah karena kebodohannya membuat Kanaya, anakku yang paling kusayang, harus menderita seperti ini."
Air mata Karina mengalir lagi, mengingat bagaimana Kanaya yang dulu bersuara merdu, bercita-cita menjadi penyanyi, kini harus kehilangan segalanya.
" Oh My God. Kenapa suamimu segila itu? Kenapa ada laki-laki yang tak memikirkan kalau perbuatannya itu bisa menghancurkan masa depan anaknya?" Kata Edwin dengan emosi
" Sebelum dia melakukan perbuatannya itu, aku dan Bayu bertengkar dan dia mengatakan akan mengajak Kanaya mati bersamanya , supaya aku lebih gampang menikah, karena janda tanpa anak lebih mudah laku dibandingkan janda yang membawa anak. Memang suamiku Bayu itu sungguh gila dan tak punya otak. Untung dia langsung mati, kalau setengah mati, bakalan jadi beban buatku" Kata Karina dengan suara bergetar " Padahal Kanaya itu , suaranya sangat merdu, dulu dia pintar bernyanyi dan bercita-cita jadi seorang penyanyi, sekarang semua cita-citanya sirna."Lanjut Karina sambil meneteskan air mata.
" Tapi Tuhan mengganti bakat menyanyinya dengan sebuah bakat baru yaitu menggambar . Jadi kamu tidak perlu bersedih lagi, meskipun Kanaya tidak bisa menjadi penyanyi, aku yakin dia bisa menjadi designer yang sangat hebat." Kata Edwin memberikan kata-kata penghiburan untuk menghibur Karina.
" Semoga Win. Semoga kepergian Kanaya ke Milan bisa merubah nasib Kanaya yang selama ini selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang." Kata Karina menghela nafasnya yang tetap terasa berat.
Suara Edwin tiba-tiba terdengar,memecah suasana hening yang menyelimuti mobil mewah itu.
"Kamu nggak ingin bertanya tentang bagaimana Ida, istriku, bisa meninggal? Ida yang dulu susah payah kamu tolong?"
Karina menatap dalam-dalam ke mata Edwin, sinar mata penuh pengertian telihat di matanya . "Jika aku bertanya, apakah itu akan membuatmu sedih? Aku tidak ingin menambah bebanmu, Edwin. Membuka luka lama itu sangat menyakitkan, aku tahu betul bagaimana rasanya. Bertahun-tahun aku hidup dalam penyesalan, bertanya-tanya mengapa aku meninggalkan Kanaya bersama Bayu saat kami bertengkar. Mengapa aku tetap pergi bekerja meskipun hatiku tak tenang? Mengapa aku membiarkan itu semua terjadi? Setiap hari aku dihantui oleh bayang-bayang kesalahan itu, hingga malam-malamku tak lagi tenang, dan aku bahkan sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku sendiri bersama Kanaya, hanya untuk menghentikan rasa sakit itu."
Karina menunduk, air mata mulai membasahi pipinya. “Aku tahu kamu pasti juga mengalami kesulitan seperti yang aku rasakan. Kehilangan orang yang kita cintai, terutama ketika kita merasa kita seharusnya bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya, itu adalah luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh. Makanya aku tidak mau bertanya, Win, karena aku tak ingin membuatmu kembali mengorek luka yang mungkin sudah perlahan menutup.”
Suara Karina bergetar, penuh dengan kepedihan yang telah lama ia pendam. Ia tahu bahwa rasa sakit dari kehilangan seseorang yang dicintai, apalagi dengan perasaan bersalah yang menyertainya, adalah beban yang tidak mudah dihapus.
Edwin menatap Karina, merasakan setiap kata yang ia ucapkan seolah-olah itu adalah cermin dari perasaannya sendiri. Hujan di luar semakin deras, mengiringi keheningan yang menyelimuti mereka. Kedua hati yang penuh luka itu, meski berbeda cerita, kini saling memahami tanpa perlu banyak kata.
Karina tak lagi melanjutkan, memberi ruang bagi Edwin untuk memilih apakah ia ingin berbagi atau tetap menyimpan kesedihannya sendiri. Bagaimanapun, Karina tahu bahwa ada rasa sakit yang mungkin tidak pernah bisa benar-benar dimengerti oleh orang lain yang tidak mengalami pengalaman yang serupa.
Edwin terdiam, seperti mencerna perkataan Karina, dia selama ini memang tidak pernah lagi bercerita tentang Ida, kepada siapun tentang istrinya yang juga mengakhiri hidupnya dengan cara nekat tapi mendengar cerita Karina kalau suaminya juga mati dengan cara yang sama, membuat Edwin, seperti menemukan seseorang tempat dia bisa bercerita segala sesuatu yang selama ini dipendamnya di sudut hatinya yang terdalam.
Baru saja Edwin hendak membuka mulutnya untuk menceritakan tentang isi hatinya terdengar suara Pak Bambang, sang supir berkata
" Maaf Pak,.... Sepertinya jalan menuju rumah ibu Karina , tidak bisa dilewati mobil karena banjir."
Karina memandang ke luar jendela, mobil berhenti di pinggir jalan karena semua jalan menuju ke rumahnya telah terlelap air, akibat hujan deras dan got besar yang ada di tengah jalan itu meluap. Setiap hujan turun dengan deras, memang rumah mereka akan banjir, semoga banjir kali ini, tidak sampai memasuki rumah, hanya di jalanan saja.
" Saya berhenti di sini aja Pak, Saya bisa jalan kaki sampai rumah, lewat jalan kampung." Kata Karina,bersiap-siap turun
" Jangan! Masih jauh Rin, Jalan menuju rumahmu. Ini masih di jembatan satu, mau berapa kilometer, kamu harus berjalan menuju rumahmu di jembatan 12, belum tentu juga rumahmu tidak kebanjiran, karena air terlihat meluap tinggi."
"Aku nggak mungkin nggak pulang Pak. Aku tidak tahu akan nginap di mana?" Kata Karina panik
" Kamu aku pesankan hotel saja. Malam ini, biar kamu nginap di hotel, besok kalau air sudah surut, kamu baru pulang ke rumah."Kata Edwin langsung membuka aplikasi Tiket.com dan mencari hotel di sekitaran Bekasi.
" Nggak usah. Win..Nggak usah." Kata Karina menolak
Edwin tak menjawab dan beberapa saat kemudian, dia berkata kepada Pak Bambang, " Pak Ke apartemen Mutiara Bekasi, saya dapat kamar di sana untuk Ibu Karina."
" Siap Pak" Jawab supir Bambang dan memutar mobil hitam itu menuju Apartemen Mutiara.
Karina memandang Edwin dengan tatapan binggung, tidak tahu apa yang harus dia katakan, karena Edwin telah memesan sebuah apartemen untuknya malam ini , karena dia tidak bisa kembali ke rumahnya sendiri karena banjir. Mata bulat Karina masih terus memandang Edwin dengan tatapan sungkan, sampai Edwin berkata lirih.
" Jangan merasa sungkan padaku Rin, kita kan teman. Aku nggak mungkin membiarkanmu pulang ke rumahmu yang kebanjiran, lagipula aku memesan hotel apartemen itu , karena aku masih ingin cerita ke kamu Rin. Aku ingin cerita tentang kisah Ida yang selama ini kusimpan rapat-rapat, maukah kamu mendengar ceritaku? Maukah kamu mendengar penderitaanku?"