Keesokan paginya di ruang makan keluarga Perkasa tampak kesibukan para pembantu sedang mempersiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Meja makan panjang dari kayu jati yang dipernis mengkilap dikelilingi oleh kursi-kursi berlapis kain beludru berwarna coklat tua, mencerminkan kemewahan dan kekuasaan keluarga ini. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela-jendela besar membuat ruangan itu terang benderang, memantulkan kehangatan, kesan mewah semakin terlihat karena lukisan-lukisan klasik yang tergantung di dinding. Di tengah ruangan, bunga anggrek putih segar menghiasi meja, menambah sentuhan elegan.
Deni Perkasa, sang kakek yang berkuasa , the King Maker dari PT. Sejahtera Perkasa Group yang menaungi berbagai usaha mulai dari pabrik tekstil di bawah Perkasa Tekstil Industries sampai restaurant di mall-mall besar yang tergabung dalam PT. Boga Perkasa, duduk di meja makan panjang itu siap menikmati sarapan pagi bersama seluruh keluarga. Sarapan pagi bersama ini adalah agenda rutin yang harus di lakukan setiap anggota keluarga tanpa kecuali, Oh hanya ada satu pengecualian , sang cucu kesayangan, pewaris tunggal PT. Sejahtera Perkasa Group , Denis Perkasa,tidak pernah ikut sarapan pagi , karena masih tidur dan sang kakek tidak berkutik, karena sangat menyayangi cucunya itu.
" Gimana acara lomba kemarin, siapa yang jadi pemenangnya?" Tanya Deni pada kedua anaknya. Daniel Perkasa dan Edwin Perkasa
" Aliya, sahabatku yang menang dong Opa." Suara Desy Perkasa terdengar. Dia adalah adik Denis Perkasa, gadis manja berusia 19 tahun terdengar menjawab suara kakeknya.
" Kenapa dia bisa menang, karena dia sahabatmu? atau karena rancangannya bagus?" Tanya Deni dengan suara baritonenye, usianya sudah 65 tahun tapi dia masih gagah karena rajin berenang di kolam renang yang ada di halaman belakang rumah mewah miliknya ini.
" Sebenarnya yang paling bagus rancangan Kanaya, Pa. Tapi Kak Sinta bilang, Kanaya tidak sesuai untuk jadi pemenang karena hanya tamatan SMK di Bekasi, sedangkan dua pemenang lainnya bersekolah di sekolah mode ternama di Perancis " Kata Edwin melirik kakak iparnya yang langsung melotot melihatnya.
" Kenapa kamu bilang seperti itu , Sinta? Kalau memang rancangannya bagus, ya dia harus menang. Mana boleh lihat asal sekolahnya dari mana? Orang yang sekolah di luar negeri belum tentu bagus." Kata Deni melihat ke arah menantunya yang memang sangat luar negeri minded, karena dia sendiri juga tamatan sekolah luar negeri.
Sinta, yang duduk di sebelah suaminya, Daniel Perkasa, langsung menjawab dengan nada mempertahankan diri "Aku ini kan Marketing Director, Pa. Kita memproduksi kain brokat Perancis, masa pemenangnya tamatan SMK Bekasi? Gimana kita bisa jual citra eksklusif perusahaan, kalau yang menang bukan dari sekolah mode ternama? Lagipula, keputusan diambil lewat voting, dan dua juri lainnya memberikan suara untuk Aliya. " Balas Sinta dengan nada penuh keyakinan,
"Jadi kenapa Edwin, sebagai Direktur Operasional, bisa mengatakan anak SMK itu yang lebih bagus?" tanya Deni dengan nada penasaran, meskipun masih terdengar wibawa dalam suaranya.
Edwin hendak menjawab, namun Sinta, dengan nada sinis dan penuh sindiran, langsung menyela. "Kalau Edwin kan pandangannya selalu beda sendiri, dia itu kan low class. Lihat aja dia bisa milih Ida jadi istri yang keluarganya cuma pedagang kain di Jatinegara. Akibatnya kan buat Ida nggak bisa membaur di keluarga kita dan malah bunuh diri karena baby blues."
Kalimat itu bagaikan pisau tajam yang menusuk langsung ke hati Edwin. Wajahnya memucat, tangan gemetar menahan amarah yang mulai memuncak. "Kak Sin!" jeritnya, suaranya pecah oleh emosi yang tak bisa lagi dia tahan.
Emma, yang duduk di samping Edwin, menatap tantenya dengan mata berkaca-kaca. "Tante Sinta kok jahat sih, ngomongin Mama Emma seperti itu?" tanyanya dengan suara bergetar, menambah suasana di meja makan menjadi semakin suram.
Daniel, suami Sinta, pun tak bisa menahan amarahnya. "Kamu keterlaluan, Sinta!" bentaknya, menegur istrinya yang sudah melangkah terlalu jauh.
Suasana menjadi begitu tegang, hingga akhirnya Deni berbicara dengan nada tegas namun tetap terkontrol. "Papa nggak marah sama keputusanmu untuk memilih Aliya sebagai pemenang, Sinta. Tapi kata-katamu tentang almarhum adik iparmu itu sangat keterlaluan. Jaga mulutmu. Ida sudah meninggal, dan dokter sudah bilang kalau dia sampai bunuh diri itu karena baby blues dan memberat karena terlambat ditangani sehingga baby bluesnya menjadi Postpartum depression bukan karena dia nggak bisa membaur di keluarga kita. Tragedi itu terjadi bukan karena Ida nggak bisa membaur di keluarga kita.
Namun, Sinta tetap bersikeras. "Tapi kan nggak mungkin tiba-tiba dia baby blues, Pa. Pasti ada sebabnya, dan menurutku itu karena dia minder, nggak bisa berbaur dengan kita. Status sosialnya beda jauh dengan kita, jadi dia merasa tertekan di tambah dengan hamil dan melahirkan, semua itu jadi beban yang terlalu berat buat dia."
Daniel yang duduk di sebelahnya mencoba meredam situasi. "Sudah, Sin. Kamu itu selalu nggak mau kalah," ucapnya dengan suara yang dipenuhi ketegangan, sambil berharap adiknya, Edwin, tidak meledak karena dia tahu betul betapa luka ini masih sangat dalam bagi Edwin.
Namun, kali ini bukan Edwin yang pergi meninggalkan meja. Emma yang tidak bisa lagi menahan tangis, berdiri dari kursinya sambil berteriak, "Tante Sinta jahat! Tante Sinta jahat!" Dia kemudian berlari keluar dari ruang makan, air mata mengalir deras di pipinya.
Maria Perkasa, sang nenek, yang dari tadi diam saja, langsung berdiri mengikuti cucu kesayangannya itu. Dia sangat menyayangi Emma karena dia yang menjaga bayi Emma sejak almarhum mamanya meninggal.
Edwin hanya bisa menghela napas panjang. "Saya permisi ke kantor, Pa," katanya dengan suara lemah, seolah semua tenaga telah terkuras oleh percakapan yang menyakitkan ini.
Deni menatap putranya dengan sorot mata penuh pengertian. "Win, kamu ke Kantor Pusat dulu sebelum ke kantormu. Papa mau lihat rancangan Kanaya. Dan kamu, Sinta, sekali lagi kamu mengeluarkan kata-kata hinaan seperti itu tentang Ida di depan Emma atau Edwin, Papa akan turunkan jabatanmu jadi Marketing Manager. Ini peringatan terakhir untukmu! Daniel, atur mulut istrimu supaya nggak sembarangan ngomong di depan cucuku," ucapnya dengan tegas, menandakan bahwa ini bukan ancaman kosong.
Daniel hanya bisa mengangguk patuh. "Iya, Pa," katanya, sambil menendang kaki Sinta di bawah meja, memberi isyarat agar segera meminta maaf.
Dengan wajah masam, Sinta akhirnya berkata, "Maaf, Win."
Edwin menatap Sinta dengan dingin. "Aku lebih berharap, Kak Sinta minta maaf ke Emma," katanya datar.
Deni menambahkan dengan nada lebih tenang, tapi tetap tegas, "Ya, kamu harus minta maaf ke Emma. Kita ini keluarga, Sinta. Harus saling menyayangi dan saling menjaga . Kita semua dulu menerima Ida dengan tangan terbuka, tanpa pandang status sosialnya. Tapi kesehatan mental seseorang itu kita nggak tahu. Papa juga nggak ingin dia berakhir seperti ini. Papa juga nggak ingin melihat anak Papa, Edwin, begitu terluka. Sampai sekarang dia nggak mau menikah lagi. Jadi Papa harap kamu sebagai ipar bisa lebih menjaga kata-katamu. Mulutmu yang tajam itu, jangan sampai menyakiti orang lain lagi. Bisa mengerti, Sinta?"
Sinta mengangguk pelan. "Iya, Pa," jawabnya dengan suara kecil, meskipun Edwin tahu bahwa di balik kata-kata maaf itu, Sinta belum sepenuhnya tulus.
Dalam hati, Edwin merenung, mencoba mencerna kata-kata Sinta. Apakah benar Ida tidak bisa membaur dalam keluarga mereka, sehingga dia mengalami baby blues? Ataukah karena dia sendiri yang gagal memperhatikan kesehatan mental istrinya, terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga tidak menyadari bahwa Ida begitu tertekan? Rasa bersalah menghantui pikirannya, membuatnya bertanya-tanya apakah semua ini adalah kesalahannya sendiri. Mungkinkah Ida bunuh diri, karena tekanan hidup di keluarga Perkasa?