PART 11 - TANGGUNG JAWAB.

1819 Kata
PART 11 – TANGGUNG JAWAB. Udara pagi itu cukup cerah. Matahari belum sampai di atas kepala. Hingga panas belum begitu terik. Itu sebabnya Bima suka sekali memancing di sungai ini, sambil menghirup udara yang teramat sejuk. Dulu sungai ini sering dijadikan tempat orang mencuci pakaian. Tapi seiring dengan berkembangnya zaman, orang desa pun sudah berlomba memiliki rumah yang lengkap seperti orang kota. Jadi keberadaan sungai ini, kini hanya untuk mereka yang memiliki hobby memancing. Sekalipun tidak semua orang beruntung membawa hasil pancingannya pulang ke rumah. Bima yang sedang fokus memancing, tak menyadari jika ada dua gadis cantik berdiri di belakangnya. Karena sekalipun Bima menatap sungai yang terlihat jernih, pikirannya entah kemana. "Selamat pagi bang Bima." Anggita memasang wajah semanis mungkin, membuat Clarisa serasa ingin muntah. Biasa aja kali, gak usah sok manis dan ramah gitu. Ngarep amat sih di manisin si abang kambing. Bima menoleh kala mendengar suara menyapanya. Senyumnya terbit, ketika melihat wajah Anggita. Lalu serasa ada yang kurang, ia menoleh ke belakang tubuh Anggita. Matanya bertemu pandang dengan Clarisa. Namun hanya sekilas, karena Clarisa ogah berlama-lama membalas tatapannya. Sepertinya semesta mengaminkan doanya pagi ini. Siapa sangka mereka ketemu lagi di sini? "Kalian sedang apa disini?" tanya Bima ramah dengan mata menatap Clarisa. Ya iyalah. Lo gak lihat kita berwujud. Masih nanya lagi, basi banget. Sayangnya gadis itu lebih suka menatap daun yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ya, kali dia lihat kupu-kupu yang lebih menarik untuk dipandang. Anggita mengulum senyum melihat Bima yang tak henti menatap wajah sahabatnya. "Kami mau main di sungai, eh kebetulan kita ketemu lagi, setelah kejadian kemarin yang ...." Anggita menggantung ucapannya lalu menoleh ke arah Clarisa. Namun Clarisa pura-pura tak mendengar dan melirik ke atas. Seolah pepohonan di depannya, suatu makhluk langka yang harus ia pandangi berlama-lama. "Hmm sedang mancing ya bang Bima?" tanya Anggita sambil melirik kail yang di pegang Bima. Tiba-tiba matanya bersinar cerah. "Iya, tapi baru dapat dikit sih." Bima memperlihatkan beberapa ikan di embernya. "Wah lumayan dong, udah dapat lima." Kepala Anggita ikutan melongok ke ember. "Kecil-kecil sih, tapi gak apa. Siapa tahu pas sampe rumah dia jadi gede hehehe." Clarisa mendengkus dalam hati. Astaga Anggita, emang ikan bisa gede mendadak gitu. Lalu alarm dalam kepalanya berbunyi. Jangan bilang kalau, "Boleh gak aku pinjam pancingnya bang? Terus terang aku belum pernah mancing," pinta Anggita dengan penuh harap. Matanya serasa memohon supaya permintaannya dipenuhi lelaki dihadapannya. Benerkan? Anggita kumat lagi gilanya. Apa-apa dia kepo. Kemarin kambing, lalu sapi, kini ikan. Fix deh nih anak mainnya cuma seputaran kebun binatang aja. Bima melirik pancingannya. Antara rela dan tidak. Karena ia tak yakin gadis ini bisa memancing. "Kamu mau coba memancing?" tanyanya tak percaya. Biasanya wanita hanya suka menemani memancing, bukan memegang kail. Dan ketika melihat anggukan Anggita, tampaknya Bima yakin tak bisa menolak. ia menyerahkan pancingannya pada gadis itu. Yang diterima dengan suka cita oleh Anggita. "Ini gimana makenya?" tanya Anggita. Ya ampun ribet banget Anggita. Keluh Clarisa dalam hati. "Kamu taro kailnya ke dalam sungai, tunggu beberapa saat. Ini sudah aku kasih umpan. Kalau ada yang narik pancingannya, berarti ada ikan yang makan umpannya, nanti kamu tinggal tarik ya," tutur Bima sambil menjelaskan hingga mendetail. "Oke, sipp." Anggita mengangguk. Wajahnya bersinar karena bahagia. Kapan lagi dia bisa memiliki kesempatan sebagus ini? Seumur hidup mana ada dia memancing ikan?Kecuali memancing perhatian lawan jenis. Itupun gagal total. Semoga memancing ikan tak lebih sulit dari memancing para cowok ganteng di luar sana. Jika ikan pun tak sudi masuk dalam pancingannya, sepertinya Anggita harus menyerah kalah. Anggita menerima pancingan dari tangan Bima, beserta ember kecilnya juga Sudah lama Anggita ingin merasakan seperti ini, tapi selalu banyak larangan dari sang kakak. Resiko jadi anak bungsu dan kesayangan ya begini. Banyak larangan, kecuali pergi dengan Clarisa. Tidak tahu saja Abdi seperti apa jika adiknya ini sudah gabung Clarisa. Apapun ia tebas, gak perduli larangan. Karena hanya Clarisa yang luluh dengan rayuannya. Seperti saat ini, ia yakin Clarisa tak akan berani melarang. Jangan kata melarang, dari tadi kepalanya masih saja menghadap atas pohon. Anggita hanya berharap Clarisa tidak sakit leher. Bima menoleh ke arah Clarisa, ketika dilihatnya Anggita sudah asyik dengan pancingannya. Merasa diperhatikan, Clarisa menghembuskan napas kesal dan mendekat. Bukan, bukan karena ingin berdekatan dengan Bima. Ia hanya ingin mengawasi, takutnya Anggita terbawa arus sungai. Kini mereka bahkan berdiri sudah berdekatan. Ayo Risa, kamu harus buktikan jika trauma kamu sembuh, bukan karena Bima. Bisik hatinya. "Gimana khabar kekasih kamu itu?" tanya Bima sambil memandang wajah gadis ini dari samping. Cantik. Dari awal, ia sudah melihat ketika gadis ini mendatangi lapangan saat lomba layang-layang, Bima sudah memindainya. Seperti melihat secercah cahaya diantara suramnya malam. Begitulah Bima berandai. Itu sebabnya ketika gadis ini tertabrak kambing, ia refleks menolongnya. Clarisa menoleh, hingga mata mereka bertemu. "Mantan!" jelasnya dengan suara semakin ketus. Bima terkekeh. "Oke, mantan." Lelaki itu mengulum senyum. "Dia sudah kembali ke kota?" tanyanya lagi dengan rasa penasaran. Clarisa mengangguk. "Ya, hari itu juga dia langsung pulang ke kota." Bima bersyukur dalam hati. Baguslah. "Kamu gak niat untuk mengucapkan terima kasih sama aku?" Kini mata Clarisa mendelik, dan itu makin menambah kecantikan gadis ini di mata Bima. "Terima kasih? Buat apa ya?" tanya Clarisa tak terima. "Karena berkat aku, akhirnya kamu terlepas dari mantan kekasihmu itu." Clarisa mendesis. "Sudah beruntung aku tidak menamparmu, karena kekurang-ajaranmu itu." Awalnya Clarisa malas membahas kasus kemarin, tapi mau tak mau dikeluarkan juga kejengkelannya itu. "Sebentar Risa, sepertinya ada yang perlu aku luruskan disini ya." Bima bicara seolah ia sedang membicarakan hal penting dalam hidupnya. "Kemarin itu, sebenarnya aku kemari ingin memancing. Tapi, tiba-tiba ada seorang gadis berlari memelukku, dan memancingku untuk ...." "Stoppp!! Gak perlu kamu lanjutkan." Clarisa memotong ucapan Bima. Sementara wajahnya sudah merah membara. Dan itu sudah membuat Bima harus menahan diri supaya tidak tertawa. Bima bahkan berusaha mengatupkan mulutnya, padahal ia ingin sekali tertawa nyaring. Seakan tahu apa yang ada di dalam kepala Bima, membuat Clarisa kembali memalingkan wajahnya. "Kamu harus bertanggung jawab, Clarisa," bisik Bima berusaha menarik kembali perhatian gadis cantik ini. Clarisa melirik tajam. Apa maksud lelaki ganjen ini? "Karena perbuatan kamu kemarin, eh salah." Bima menggeleng. "Karena perbuatan kita kemarin, semalam aku sulit tidur." Kini Bima berbisik sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Clarisa. Membuat gadis itu meremang demi merasakan bisikan Bima yang terlampau dekat dengan wajahnya. "Kamu ngerti kan maksud aku?" Clarisa tetap terdiam, ia ingin menoleh ke samping kanan. Tapi ia takut, jika itu ia lakukan wajah mereka pasti akan bertemu lagi. Jauh di ujung sungai, Clarisa melihat Anggita sedang memancing dengan berpindah-pindah posisi. Sebenarnya itu anak mancing ikan, apa nguber-nguber ikan sih? Kenapa dalam sekejap dia sudah ada di ujung sungai, yang bahkan makin menjauh dari posisi Clarisa berdiri sekarang. "Bagaimana Clarisa, kamu mau bertanggung jawabkan?" Kembali Bima menghabiskan matanya menatap wajah cantik di sampingnya yang makin memerah. "Bertanggung jawab seperti apa maksud kamu?" bisik Clarisa pelan sambil berusaha menormalkan degup jantungnya yang mulai bertalu. "Melanjutkan sandiwara kita." Clarisa kembali melirik ke samping. Hanya melirik. Setelah yakin wajah Bima sudah tak begitu dekat, ia menolehkan kepalanya. "Sandiwara kita?" tanyanya tak mengerti. Clarisa masih melihat bagaimana wajah di depannya masih mengulum senyum jenaka. Bima kembali mengangguk. "Iya, kemarin kita kan bersandiwara, aku menolong kamu. Dan itu gak gratis." "Oooo." Clarisa mengangguk. Cowok mata duitan. "Berapa bayaran yang kamu minta?" Bima terkekeh. Gadis ini selain cantik dan judes, ternyata mudah sekali menghina orang. Tapi Bima tak akan tersinggung. Entah mengapa ia justru makin menyukai pesona gadis ini. Apalagi jika raut wajahnya jutek begini, jadi semakin menggemaskan. "Aku gak minta bayaran uang, Risa," tolaknya. Perasaan, Clarisa sering mendengar setiap orang pasti meminta bayaran jika memang tak ikhlas menolong. Jika orang ini tak meminta bayaran uang, memangnya minta apa? "Kamu minta kambing?" tanya Clarisa polos. Otaknya mencerna, kira-kira berapa harga kambing yang paling murah? Aish dia mana ingat harga kambing! Yang dia ingat hanya harga kosmetik. Kali ini Bima tergelak tanpa bisa ia tahan lagi. Tawanya lepas sekali, sementara Clarisa mengernyit heran. Kenapa dia ketawa? Emang harga kambing murah gitu? Jangan-jangan dia minta bayaran sapi. Astaga, sapi mahal gak ya? "Risa, risa. Aku cuma minta kamu jadi kekasih aku," pinta Bima tenang sambil menatap dalam ke mata bulat nan lentik itu. Beruntung Clarisa sudah sempat sarapan sebelum berangkat ke sungai. Jika tidak, ia pasti akan pingsan saat ini juga. Tidak salah jika Clarisa menyebut lelaki ini ganjen dan genit. Tidakkah ia sadar jika ia sudah memiliki putra-putri? Tapi bisa-bisanya meminta Clarisa menjadi kekasihnya, hanya karena kejadian kemarin? Astaga, tahu bakal terjadi begini, tak akan ia melakukan hal gila itu. Emosi Clarisa sudah merangkak naik. "Hei abang kambing, dengar ya! Aku gak berniat menjadi pelakor!" Mendengar sebutan Clarisa padanya, membuat Bima makin tergelak. Abang kambing? Yang benar saja! "Apa yang lucu? Apa memang tampangku seperti seorang pelakor?" tunjuk Clarisa pada dirinya. "Siapa yang menyebutmu pelakor?" tanya Bima heran. Kenapa juga jadi membahas pelakor? Rasanya tidak ada ucapan dan perkataan yang keluar dari mulut Bima yang mengeluarkan kata pelakor. Pelakor itu perebut suami orangkan? "Kamu sudah memiliki putra-putri, apa kata istrimu ...." "Aku sudah bercerai," potong Bima. Clarisa mengerjap. Hening sejenak. "Kamu, apa?" bisiknya lagi memastikan telinganya. "Aku sudah bercerai, jadi kamu gak perlu takut di cap pelakor." Astaga, jadi dia duda? Oh EM-JI, Duda! Duda! Bekas laki orang! Ia masih mengingat bagaimana wajah si kembar. Yang perempuan cantik, yang dapat dipastikan mewarisi wajah sang Mama. Dan yang lelaki tampan, mewarisi dari papanya. Tidak. Clarisa menggeleng. Dia tidak akan mau menyebut lelaki di depannya ini tampan. Hanya Lio saja putra lelaki ini yang tampan. "Jadi kita sepasang kekasih mulai hari ini?" goda Bima. Merasa tak terima, pandangan Clarisa mendelik tajam. Sok kegantengan banget sih ini orang. "Mau kamu duda, atau punya istri. Maaf, aku gak berminat jadi kekasihmu." Ya Tuhan apa kata Martin, kalau tahu dia jatuh ke pelukan duda. Ya ampun Clarisa, nasibmu benar-benar mengenaskan. "Clarisa, aku ulangi sekali lagi. Maukah kamu menjadi ...." "Kamu melamar aku?" tanya Clarisa tak percaya. Berani sekali lelaki ini. Pikir Clarisa. "Memangnya kamu mau langsung aku lamar?" Bima justru menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Clarisa mendelik. Mereka saling menatap. Sama-sama heran dengan ucapan masing-masing. "Aku hanya menawarkan sebuah pertanggung jawaban. Karena aku sudah ...." Bima tak melanjutkan perkataannya, tapi justru mengarahkan telunjuknya pada bibirnya, lalu menunjuk pada bibir Clarisa. Kurang ajar. Clarisa langsung membuang muka. Ia tentu tahu apa maksud lelaki ini. Brengsekk!! Kenapa ia harus diingatkan lagi kejadian itu. Bima mengulum senyum, ia jelas melihat kembali semburat merah di pipi putih dan halus itu. Bahkan ia masih bisa merasakan bagaimana lembutnya telapak tangan yang mungil itu saat merangkum wajahnya kemarin. "Gak usah repot-repot, kamu gak perlu tanggung jawab apapun. A-aku sudah biasa melakukannya," ketus Clarisa. Bodo amat, bohong-bohong dah. "Oh ya? Kamu sudah biasa melakukannya?" Pertanyaan Bima membuat Clarisa menoleh, dan saat mereka bersitatap, kembali wajah Clarisa memanas. Ini orang kenapa semakin kepo sih. "Mmm ya, itu-itu suatu hal yang wajar bukan?" Maunya apa sih nih orang. "Tapi menurutku, aku yang pertama menyentuhnya." Semoga suka ya. Love Herni. Jakarta 28 Juli 2021
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN