BANYAK yang salah sangka mengenai hubunganku dengan Rasya, karena kami selalu berangkat dan pulang sama-sama. Terutama teman-teman Rasya di fakultas kedokteran. Mereka semua mengenalku sebagai kekasih Rasya, padahal kenyataannya tidak begitu.
Aku memang pernah menyukai Rasya, tapi itu dulu. Semuanya sudah masa lalu dan aku sadar diri kalau Rasya takkan pernah bisa membalas perasaanku. Walaupun begitu, Rasya tidak pernah menyangkal jika teman-temannya mengira kami ini sepasang kekasih.
Aku mendesah panjang. Gelas keduaku telah tandas sejak beberapa menit lalu dan aku sudah terlalu lama menunggu. Orang-orang sudah menatapku dengan pandangan aneh. Beberapa dari mereka kukenali sebagai teman Rasya, tapi mereka tidak berani menegurku.
Mereka terlalu takut dengan Rasya. Laki-laki itu memang bukan orang baik, tapi juga bukan orang jahat. Ia hanya akan menunjukkan sisi keras dan liarnya, ketika ada yang berani mengusik apa yang ingin dilindunginya. Terutama pada perempuan. Rasya selalu berusaha melindungi teman perempuannya, karena ia selalu membayangkan ibunya yang telah tiada saat melindungi mereka.
Sebuah gelas berisi jus jeruk tiba-tiba menggantikan gelas kosongku di atas meja. Aku mendongak untuk melihat siapa yang telah melakukannya.
“Cuacanya panas. Lo butuh minuman lebih biar nggak dehidrasi.” Aku mendengkus. “Boleh gue duduk sini?”
“Ngapain lo di sini?”
Tanpa menunggu jawabanku ia telah mendaratkan pantatnya. “Ini fakultas gue. Harusnya gue yang nanya gitu ke lo. Ngapain lo di sini? Kayaknya, ini bukan yang pertama kali?”
“Bukan urusan lo.”
Leo mengangkat bahu. “Jangan dingin-dingin ke gue. Biasa aja. Kalau lo sampai naksir, gue juga yang akhirnya bahagia.”
“Gue emang aslinya gini.”
Leo mengangkat sebelah alisnya. “Really?” Aku mengangkat bahu. “Benar, kan, perkiraan gue, lo cuma dingin sama gue.”
“Apa gue harus sok baik ke lo? Nggak ada untungnya juga buat gue.”
Aku mengalihkan tatapanku ke penjuru kantin. Teman-teman Rasya tengah menatap kemari, tapi tidak hanya itu. Sebagian besar isi kantin—terutama yang perempuan—tengah menatapku.
Apa Leo orang terkenal, ya? Aku menatap Leo dengan tatapan tidak suka, tapi ia malah membalasku dengan senyuman lebar yang membuatku menghela napas kasar.
Dia tengah menggali kuburannya sendiri tanpa ia sadari.
Teman-teman Rasya di sini sudah seperti mata-mata. Mereka mengawasi gerak-gerikku di tempat ini, lalu melaporkannya pada Rasya. Itu mengapa Rasya selalu memintaku menunggu di sini, agar dia bisa selalu memastikan keadaanku tanpa menggunakan matanya sendiri.
“Lo yakin nggak ada rasa apa-apa ke gue?”
“Mau jujur?” Leo mengangguk. “Daripada suka, gue lebih jijik ke lo.”
Aku berdiri, tanpa permisi aku pergi. Aku tidak bisa bicara lama-lama dengan Leo, ketika ada banyak pasang mata yang tengah mengawasi kami. Terutama mereka ....
Bagaimanapun, aku tidak mau melihat Leo terluka. Terutama alasannya karena ia ingin bicara berdua denganku.
Di saat aku berjalan, tiba-tiba saja mulutku dibekap dari belakang dan tubuhku ditarik menjauh oleh seseorang. Detak jantungku meningkat tajam. Rasa takut menjalar pelan, membuat keringat dingin berjatuhan di dahiku. Aku meronta, tapi usahaku sia-sia. Ia membawa tubuh kecilku menjauh dengan mudahnya.
“Sepertinya, gue emang harus maksa dulu biar bisa bicara berdua sama lo.”
Aku mendongak ketika orang itu melepaskanku di tempat sepi. Sekali lagi, Leo membawaku ke tempat seperti ini. Aku menghela napas panjang untuk menghilangkan rasa takut dalam benak dan mulai menatapnya datar.
“Apa mau lo?”
Leo tak menjawab, tak juga memberi isyarat. Dia mendorong bahuku hingga punggungku membentur tembok, barulah ia memasang senyuman lebarnya saat di kantin beberapa saat lalu.
“Lo yakin nggak ada rasa apa-apa sama gue?” Pertanyaannya kubalas dengan desahan panjang.
Apa jawabanku sebelumnya masih kurang jelas? Kurang menyakinkan? Ataukah memang jawabanku sebelumnya membuat harga dirinya jatuh dan memutuskan untuk tidak percaya pada jawabanku? Dengan kata lain, ia mengira aku tengah membohonginya, begitu?
Aku mendengkus. “Apa gue perlu maki-maki lo biar semuanya jelas?”
“Kalau gitu, gimana kalau gue bikin lo naksir gue?” Senyumannya itu ... cih!
“Itu hanya akan terjadi di mimpi lo!”
Aku mendorong bahunya agar bisa pergi dari sini. Ia memang tidak mengunci ruang gerakku, tapi aku yakin ia takkan ragu menarikku kembali saat aku mencoba melarikan diri.
Laki-laki itu tak bergeming. Sebagai gantinya wajahnya mendekati wajahku. Deja vu. Ia seperti ingin mengulangi masa lalu. Apa ia belum puas atas kejadian waktu itu? Aku mendesah panjang. Tanpa ragu, aku memberinya sebuah tamparan keras. Kutatap tajam matanya dengan ekspresi menantang yang kentara.
Aku bukan wanita lemah. Aku bukan orang yang bisa diremehkan dengan mudah, Rasya takkan pernah mengizinkan hal itu terjadi padaku. Sekalipun ia melindungiku, tapi ia juga mengajariku beberapa teknik untuk melindungi diri sendiri.
Leo tak bereaksi apa pun. Ia terdiam beberapa saat. Tangannya terangkat menyentuh bekas tamparanku. Aku mendesah panjang sebelum melangkah pergi.
Alunan musik River Flows in You mengalun merdu. Nada dering tetap panggilan masuk di ponselku. Langkahku terhenti, aku mengambil ponsel dan nama Rasya tertera di layar. Sudah kuduga, cepat atau lambat ia pasti akan menghubungiku. Aku mendesah panjang. Tanpa mempedulikan Leo aku mengangkat panggilan dari Rasya.
“Ha—”
“Lo sekarang ada di mana!”
“Ada apa? Gue lagi ke toilet. Lo udah selesai ujian praktiknya?”
Aku sudah menerka hal ini akan terjadi dan aku sudah menyiapkan jawaban terbaik yang kumiliki. Walau harus berbohong, ini lebih baik daripada harus mengadu jika Leo sedang menggangguku.
“Jangan bohong ke gue. Anak-anak bilang b******n itu ngedeketin lo!” teriaknya tanpa bisa menyembunyikan amarahnya. Bahkan, dia sampai menyebut Leo 'b******n', sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan. “Lo sekarang di mana? Awas aja kalau dia sampai berani macam-macam sama lo!”
Rasya memang mudah emosi, asal tak ditanggapi emosinya tidak akan semakin menjadi. “Ras! Gue tungguin lo di gerbang, ya!”
“Lo balik ke sini lagi sekarang!”
“Perut gue lagi mules, nih! Lo tega banget nyuruh gue bolak-balik ke sana kemari?”
“Lo lagi datang bulan?” Ada suara desahan dari seberang. “Oke, bentar lagi gue sampai gerbang.”
Aku tersenyum manis saat telepon kami terputus. Untuk pertama kalinya, aku berhasil membohongi Rasya dan aku bersyukur karena berhasil melakukannya. Jika Rasya tahu kenyataannya ... aku tidak tahu, apa yang akan terjadi dengan Leo nantinya.
Aku menoleh ke belakang. Leo tak bergeming, tak juga menarikku kembali padahal aku sejak tadi belum pergi. “Makasih,” ujarnya tiba-tiba yang membuatku mengerutkan dahi.
Pasalnya ia mengucapkan kata itu tanpa membalik tubuhnya untuk menatapku sama sekali.
“Makasih karena lo udah mau jadi teman adik gue selama ini dan makasih ... lo udah nyadarin gue tadi.”
Leo membalik badannya. Tatapannya berubah datar, tak lagi sama seperti sebelumnya. “Maaf, gue nggak ada maksud jelek ke lo, gue cuma....” Dia hanya diam dan membiakan kata-katanya menggantung di udara. “Seharusnya gue nggak kayak gitu dan maaf juga buat kejadian beberapa hari lalu!”
Aku membalik badan. “Nggak ada gunanya lo minta maaf dan nggak ada gunanya lo bilang makasih. Pertemanan itu keinginan gue, bukan atas dasar apa pun gue mau temenan sama Fisha. Jadi percuma aja lo bilang makasih ke gue.” Aku menarik napas panjang. “Dan juga, apa yang lo lakuin hari ini ataupun waktu itu udah gue maafin.”
Kalau aku belum memaafkannya, aku pasti membiarkannya babak belur di tangan Rasya hari ini juga. Nyatanya, aku malah tidak ingin melihatnya terluka. Aku melangkah menjauhinya dan ia kembali bersuara. “Kalau bisa, jangan bilang siapa-siapa kalau gue sama Fisha itu saudara.”
Aku berhenti melangkah dan mendesah panjang untuk kesekian kalinya. “Nggak ada gunanya gue ngasih tahu orang-orang tentang hubungan kalian berdua.”
“Lo harus janji soal ini.”
“Gue janji.”
Aku kembali melangkah saat ia berkata, “Kenapa lo selalu menghindar setiap kali membahas masalah sensitif?”
Ternyata dia menyadarinya, ya?
Aku terus melangkah meninggalkannya dan tak mau menjawab pertanyaannya. Aku tidak mau dia tahu kebiasaan aneh-ku yang sudah seperti masalah pribadi bagiku. Aku juga tidak bisa berlama-lama di sini atau Rasya akan mencurigaiku.
***
“Perut lo gimana, udah baikan?”
“Udah. Jangan khawatir lagi, ya?” Aku tersenyum manis pada Rasya sebelum berjalan meninggalkannya.
“Jangan coba-coba bohongin gue lagi, Cia. Gue tahu semuanya!” Aku hanya mengangguk tanpa membalik badan.
Beberapa saat lalu Rasya meneliti tubuhku habis-habisan, padahal aku sedang berakting memegangi perut yang sedang kesakitan. Kala itu, Rasya hanya menghela napas dan memberiku sebuah kalimat.
“Kemarin dia, sekarang lo. Awas aja kalau sampai gue tahu dia bikin ulah macam-macam ke lo! Gue abisin itu b******n!”
Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi sepertinya hal itu berkaitan dengan perilaku Leo akhir-akhir ini.
Aku memasuki rumah dan langsung berhadapan dengan Ayah. Orang itu tengah membaca koran di ruang tamu dengan satu kaki dinaikkan ke atas meja. Tidak sopan memang, tapi siapa sangka ialah orang yang mengajariku tentang sopan santun selama ini?
Ayah memang aneh. Terkadang, tindakan dan perintahnya tidak selaras, tapi aku tetap menghormatinya sebagaimana seorang anak menghormati orang tuanya.
“Baru pulang?”
Aku mengangguk. “Tadi Rasya ada praktik, jadi aku nungguin dia dulu, Ayah.”
“Sampai kapan kalian akan begini? Kamu bisa pakai mobil ayah kalau kamu mau. Jangan terus-menerus bergantung padanya, kamu bisa jadi anak yang manja!”
“Aku tidak akan menjadi seperti itu, Yah. Tenang saja.”
Aku berjalan menuju anak tangga saat ia kembali bersuara. “Besok, Ayah dan Bunda akan ke rumah sakit.”
“Hm, semoga kondisi Bunda lekas membaik.”
Aku melanjutkan langkahku hingga ke kamar dan mulai mengunci pintunya rapat-rapat. Kepalaku tertunduk. Helaan napas kukeluarkan beberapa kali bersamaan tetes demi tetes air yang mengalir di pipi.
Ibuku mengidap sebuah penyakit sejak aku Sekolah Menengah Pertama. Aku tidak tahu apa penyakitnya, karena Ayah dan Bunda tidak pernah memberitahuku. Aku juga benci rumah sakit atau mungkin trauma, aku tidak tahu mana yang pasti, tapi alasannya sangat rumit. Dan itu membuatku semakin tidak tahu apa-apa tentang penyakit ibuku.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar. “Cia, nanti malam bisa ke ruang kerja ayah? Ada yang Ayah ingin bicarakan denganmu!”
Aku mengusap air mataku dengan kasar. “Iya, Ayah!”
“Jangan sampai lupa!”
“Iya.”
Apakah mereka akan memberitahuku tentang penyakit ibuku selama ini? Mungkin saja.