Pria dengan tahi lalat kecil di bawah mata kiri itu lantas berdeham pelan.
Dengan suara serak menahan hasrat, dia berkata, "Aku pria yang kuno, Ay." Dia kemudian melepas rangkulan Ayana dan duduk tegak di sofa. "Aku nggak bisa mengikuti kegilaan kamu. Sebelum menikah, jangan harapkan lebih."
Anta ke kamar mandi yang ada di dalam ruangannya, membuat Ayana terkikik.
Setelah beberapa menit, Anta kembali duduk di sofa. Dia menenggak air mineral untuk membasahi kerongkongan, kemudian mengambil sebungkus permen karet di kotak besar sudut meja.
Ayana tersenyum nakal. Tanpa merapikan bajunya, dia duduk di paha Anta, kembali merangkul leher pria itu dengan dua tangan. "Kenapa nggak minta aku untuk menenangkan adikmu? Apa enaknya bermain solo di kamar mandi?" Ada ekspresi menahan tawa di wajah Ayana.
Anta mencium Ayana, menggigit pelan bibir bawah gadis itu karena gemas dengan tingkahnya. "Jangan menggodaku."
"Anta, ayo menikah."
Anta tertawa. "Mau aku kasih makan apa anak orang, kalau aku nikah sekarang?"
Ayana manyun, lantas rebahan dengan menjadikan paha Anta sebagai bantalan kepala. "Kamu, kan, punya kantor penyiaran ini. Pasti dapat penghasilan yang lumayan. Ayah kamu juga punya toko kelontong di pasar. Nanti kalau aku jadi istri kamu, aku bisa bantu ayah dan ibu kamu di toko. Terus, bisa aja nanti kita buka cabang toko kelontong. Oh, ya, makanku nggak banyak, kok. Aku juga nggak pilih-pilih makanan. Jadi, kamu nggak usah khawatir kalau kamu nggak bisa kasih makan aku."
Anta kembali tertawa, kali ini ibu jarinya mengusap-usap dahi Ayana yang mulus. "Hahaha... kamu ini, ada aja. Memangnya kamu nggak malu jadi menantu pemilik toko kelontong kecil?"
"Kenapa harus malu? Kerjaannya kan nggak ilegal."
Anta tersenyum. "Kamu dari golongan atas, Ay. Mana mungkin keluargamu menerima aku yang cuma anak pemilik toko kelontong."
"Yang mau nikah, kan aku, bukan keluargaku."
Anta menghela napas. "Pernikahan itu bukan cuma antara dua orang, tapi juga dua keluarga."
"Aku nggak peduli. Aku cuma mau kamu yang jadi suami aku."
"Kamu nggak akan menikmati kemewahan kalau nikah sama aku."
"Apa gunanya kemewahan kalau nggak bahagia? Lihat kakakku yang nikah sama golongan atas, dia nggak kelihatan bahagia. Suaminya sibuk kerja sementara dia harus menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak lelakinya yang usia lima tahun. Mengajari anaknya tentang tata krama dan aturan keluarga. Iyuuh! Betapa membosankannya hidup kakakku!" Ketika mengatakan ini, bola mata Ayana berputar seolah jengah. "Dari kecil dia sudah menaati aturan dan menjaga nama baik keluarga, sampai sudah memiliki anak pun masih harus berpegang pada aturan. Menyedihkan."
"Memangnya kalau sama aku, kamu nggak bakal bosan?"
"Enggak, dong." Ayana bangkit, duduk kembali di pangkuan Anta, merangkul leher pria itu, lalu mengecup bibirnya. "Kalau sama kamu, hari-hariku akan selalu menyenangkan. Aku bisa bantu orangtua kamu di pasar, nemenin kamu siaran, dan nanti kalau kita punya anak, aku akan ajarin dia tentang penyiaran, atau apa pun yang dia suka. Nggak ada peraturan dan tata krama ala bangsawan atau kelas atas atau golongan ningrat atau apalah itu. Yang ada hanya aku, kamu, anak-anak kita, dan bahagia. Kita akan melakukan semua hal yang membahagiakan. Sesekali di akhir pekan, kita akan jalan-jalan menghabiskan uang. Besoknya, kita cari uang lagi, biar bisa bersenang-senang minggu depannya lagi. Sebagian uangnya juga bisa kita tabung untuk masa depan anak-anak kita. Ingat, ya, Anta-ku sayang, kemewahan bukan segalanya."
Anta tertawa sangat kuat sampai tubuhnya bergetar. Itu malah membuatnya terlihat sangat tampan. Dia mencubit gemas hidung mancung Ayana, menempelkan dahi mereka, kemudian mengecup bibirnya. Keduanya berbagi napas.
"Kamu cerewet," bisik Anta.
"Tapi kamu suka, kan?"
"Hahaha... benar. Baiklah, ayo kita menikah."
Mata Ayana berbinar. "Beneran? Kapan?"
"Tahun depan. Setelah aku menamatkan studi. Setuju?"
Ayana memeluk Anta. "Great! I love you so much, Anta."
Anta tersenyum, memeluk Ayana erat. "I love you more, Ayana."
Rencana masa depan mereka yang indah masih akan dilanjutkan Ayana, tapi dua detik setelah itu, ponselnya berdering. Panggilan dari orang rumah.
"Ayana! Anak gadis apa yang jam dua pagi belum pulang?! Nggak cukup tamparan Mama saat kamu pulang jam satu kemarin?" teriak wanita dari seberang telepon. Itu mamanya, Bertha Grazinia.
"Mama lupa aku udah nggak tinggal di rumah mulai hari ini? Suka-suka aku lah mau di mana jam dua pagi."
"Ayana! Apa begini Mama mengajarimu?" bla bla bla...
Ayana menjauhkan ponsel dari telinga saat omelan mamanya berlanjut. Mengajarinya, katanya? Memangnya ibunya pernah mengajarinya sesuatu? Wanita tua itu hanya tahu mengomel dan menuntut ini itu.
Tidak lama, ada suara lain yang mengambil alih telepon. Suaranya lebih lembut, ini Damarisa Carolie, adiknya yang masih SMP.
"Kak Aya, ke rumah sakit sekarang, ya. Kak Rasti kecelakaan."
Ayana syok, buru-buru menyambar tas di sofa seberang setelah mengakhiri panggilan.
"Kenapa, Ay?" tanya Anta bingung, tapi sikapnya cepat tanggap dengan mengambil kunci mobil di meja.
"Kakakku kecelakaan, Ta. Kakak..." Wajah Ayana berubah panik, seperti linglung.
Anta memeluknya, memberi tepukan ringan di punggung gadis itu. "Sst! Tenang, jangan panik, semua akan baik-baik saja. Aku antar ke sana. Aku akan selalu nemenin kamu."
Ayana mengangguk ketika Anta menggenggam tangannya, dan mereka keluar kantor siaran.
***
Setibanya di rumah sakit, keluarga dari pihak Ayana maupun suami kakaknya sudah berkumpul di sana. Semuanya terkejut melihat penampilan urakan Ayana. Mulai dari rambut merah ikal yang berantakan; kemeja putih kusut yang terbuka dua kancing teratas, membuat tulang selangka dan belahan dada terkespose; hot pants jeans biru ketat yang memamerkan paha mulusnya. Lalu ketika berjalan, kemejanya yang bagian depan lebih pendek itu tersingkap tertiup angin, dan memamerkan pusarnya yang indah. Oh, jangan lupakan lipstiknya yang sedikit belepotan akibat ciuman panas dengan Anta.
Karena panik, Ayana lupa menata kembali riasannya. Dia bahkan lupa menutupi cupang di lehernya yang dibuat oleh Anta beberapa waktu lalu.
Menyadari tatapan heran orang-orang itu, Anta menoleh ke sebelahnya. Sayangnya dia sudah terlambat memperingati Ayana. Semua orang sudah melihat jejak cupangnya.
"Berkeliaran tengah malam bersama pria yang bukan suaminya... Ckckck, anak kedua kalian benar-benar luar biasa," keluh wanita setengah abad, bernama Merry Diene, yang merupakan ibu mertua kakaknya.
Ayana mengabaikan wanita tua bersanggul besar yang pakai gaun ungu ala Victoria norak itu. Dia segera ke hadapan mamanya, yang malah dihadiahi tamparan keras di pipi.
"Buat malu keluarga!"
***