Yang Sebenarnya

1374 Kata
Rosie terengah-engah saat Alan berada di atasnya. Rasa geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membakar sel-sel dalam tubuhnya dan menciptakan ledakan hormon yang dahsyat. Alan melihat kulit Rosie yang seputih salju, bersih, dan lembut. Rona kemerahan menjalar di pipinya. Keringat membasahi dahinya. Rambutnya berserakan di atas bantal. Mulutnya terbuka dan nafasnya yang berat menandakan jika Rosie sedang berada di puncak gairah. Matanya terpejam dengan kening dan alis berkerut. Ketika dia membukanya, matanya tampak rapuh dan diselingi aura kepuasan bercampur putus asa. Sangat indah. Alan selalu menyukai ekspresi itu. Sayangnya, dia tidak bisa bermain lama-lama. Jika tidak, Rosie akan kelelahan dan berakhir dengan batuk hebat yang membuat gairahnya sendiri padam. Dia pun mempercepat temponya, merasakan dirinya semakin dijepit dan diremas. Kehangatan Rosie melingkupinya dan akhirnya dia meledak di dalam. Nafas Alan tersengal. Dia berguling ke samping dan terdiam untuk mengatur nafasnya. Setelah itu, dia bangkit, menutupi tubuhnya dengan celana pendek dan pergi ke kamar mandi. Tidak lama kemudian, dia keluar dengan membawa baskom dan handuk kecil. “Ini air hangat. Aku akan membantumu membersihkan diri.” Rosie tersipu. Bukankah itu berarti dia harus terlentang dan menerima sapuan air hangat dari Alan? Betapa memalukannya! “Tidak perlu. Aku akan ke kamar mandi saja.” “Lantainya dingin. Kakimu akan kedinginan. Biarkan aku saja. Kamu sudah bersusah payah menyenangkan aku. Sekarang, giliran aku.” “Bukan begitu. Kita,,, kita juga sudah tiga minggu tidak melakukannya. Aku…” “Sstt!” Alan menutup bibir Rosie dengan telunjuknya. “Jangan katakan apapun lagi.” Alan tidak memedulikan penolakan Rosie. Dia mencelupkan handuk ke dalam air hangat dan mulai mengelap sang istri. Gerakannya lembut dan berhati-hati, seolah dia takut tubuh Rosie akan pecah kapan saja. Tatapan Alan begitu fokus seolah dia sedang mengamati proposal bisnis atau maket kota. Semburat merah terlihat di pipi Rosie meskipun adegan intim mereka sudah berakhir beberapa saat yang lalu. Dia tidak bisa berkutik. Tubuhnya terlalu lelah. Dia biarkan saja Alan menjelajahi tubuhnya. Setelah itu, Alan menutupi tubuh Rosie dengan selimut, mengecup keningnya, dan berkata, “Tidurlah! Aku akan ke kamar mandi sebentar.” Rosie hanya bisa mengangguk, lalu perlahan menutup matanya. Tubuhnya sudah lebih baik dan dia memang mengantuk. Namun, dia tidak juga bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dengan Lala. Sementara itu, di kamar mandi, Alan menatap pantulan dirinya di depan cermin. Bibirnya menyeringai. Suara notifikasi ponselnya membuatnya menoleh dan bibirnya, tanpa sadar, tersenyum lembut melihat siapa pengirim pesan. Kai [Mas, kamu sedang apa? Aku nggak bisa tidur nih. VC ya..] Alan [Jangan dulu, Sayang. Dia belum tidur.] Kai [Kok tumben? Biasanya jam delapan sudah hilang kesadarannya.] Alan [Entahlah, mungkin karena baru ketemu kamu. Jadi, dia kepikiran.] Kai [Kalian nggak ngapa-ngapain, ‘kan?] Alan [Nggak, Sayang. Mana mau aku sama triplek tipis begitu? Lebih empuk punya kamu.] Kai [Mas Alan!] Emotikon senyum malu dan tiga hati merah [Beneran ya? Jangan bohong lho.] Alan [Tidak. Berani jamin. Sudah malam, tidur ya.] Kai [Kamu mau ngapain, Mas?] Alan [Mau lihat pekerjaan dulu.] Kai [Eh, Mas. Kamu beneran yakin kalau istri kamu itu punya asuransi kematian 25 milyar?] Alan [Tentu saja. Yang bilang pengacara keluarganya. Sudah pasti benar.] Kai [Istrimu memang kaya sungguhan ya, Mas. Kok kamu mau sama aku yang miskin?] Alan [Kamu ‘kan, tahu kalau aku kerja di perusahaan keluarganya Rosie.] Kai [Iya, tapi aku nggak menyangka kalau mereka sudah menyiapkan uang sebanyak itu kalau Rosie mati.] Alan [Sebenarnya, bukan kakaknya yang menyiapkan itu, tapi Rosie sendiri. Kedua orang tuanya mati mendadak, kecelakaan pesawat. Dia takut dia juga akan tiba-tiba mati. Jadi, dia sengaja menyimpan uang itu untuk aku dan baru bisa diambil hanya ketika dia mati.] Kai [Dia kayaknya cinta mati sama kamu, Mas. Aku jadi takut. Nanti kamu masih cinta sama dia.] Alan [Tapi kamu yang punya cinta aku.] Kai [Mas Alan pintar banget ngomongnya. Jadi makin cinta deh.] Alan [Terima kasih. Aku menerima cintamu dan akan aku pupuk terus.] Kai [Ya sudah, Mas. Aku mau tidur dulu. Love you, sayang.] Alan [Me too, sayang.] Setelah membersihkan diri, Alan keluar. Betapa terkejutnya dia melihat Rosie yang masih terjaga. “Kenapa belum tidur?” Rosie yang sedang melihat-lihat televisi sontak menoleh. “Tidak apa-apa, hanya ingin berbicara sesuatu denganmu,” jawabnya sambil tersenyum. “Apa itu? Sepertinya, suasana hatimu sedang bagus. Tunggu sebentar.” Alan yang hanya mengenakan celana pendek, berjalan menuju lemari untuk mengambil kaos. Setelah memakainya, diapun mendekati kasur dan berbaring di samping Rosie. “Ceritakan padaku apa yang membuatmu bahagia.” Alan meraih Rosie dalam pelukannya. Dari jarak sedekat ini, Alan bisa melihat betapa menonjol tulang selangka Rosie. Kurus sekali. Bahkan tubuh Kaila yang kecil tidak memiliki tulang seperti itu. “Apa yang kamu pikirkan?” Suara Rosie membuat Alan tersadar. “Tidak ada. Kamu harus makan yang bergizi dan meminum tonik dari mama supaya cepat sehat.” Mata Rosie berkilat. Dia tersenyum tipis. Tidak ingin membahas tonik beracun, Rosie mengangkat topik yang lain. “Masih ingat tentang temanku yang ingin aku kenalkan padamu? Dia akhirnya setuju!” Rosie tersenyum bahagia. Akhirnya, dia merasa telah mendapatkan sekutu untuk terhindar dari rencana Hilda dan antek-anteknya. Alan mendengkus, bersikap seolah dia tidak menyukai topik ini. “Apa kamu yakin dia mau? Itu berarti dia akan menjadi istri kedua. Pastikan dulu.” “Dia sudah tahu. Aku sudah mengatakan kepadanya tentang kondisi kita dan dia setuju. Awalnya, dia memang ragu. Tapi petang tadi dia mengatakan kalau dia bersedia.” “Aneh sekali.” Kening Alan berkerut. Wajahnya tampak tidak bahagia. “Tidak biasanya ada seorang wanita yang mau dijadikan istri kedua.” Rosie menghela nafas. “Kisah hidupnya juga tidak begitu bagus. Dia dianiaya oleh mantan suaminya.” “Dianiaya??” “Iya, dia dijambak dan dipukul hingga mata kirinya terluka. Kami pertama kali bertemu di rumah sakit.” “Jadi, kamu mengenalnya di rumah sakit? Apa kamu sudah mengenalnya dengan baik? Kamu yakin dia perempuan baik?” “Iya, Sayang. Dia baik dan sederhana. Lucu dan penuh semangat. Dia bisa membuatku tersenyum. Jadi, aku pikir dia juga bisa membuatmu tersenyum. Apalagi, suaminya dulu kurang ajar. Tidak seperti kamu yang penyayang. Aku berharap kamu bisa memiliki anakmu sendiri dengan Lala.” Matanya menerawang seolah melihat gambaran kehidupan Alan yang sempurna dengan Lala. Bibirnya tersenyum meskipun hatinya sakit. “Jadi, namanya Lala?” Rosie mengangguk. Senyumnya masih terlihat lebar. “Kaila, Kaila Wardani.” Seolah menyadari sesuatu, senyum di bibir Rosie perlahan memudar dan alisnya berkerut. Kaila? Kai, Lala? Rosie sontak menoleh ke arah Alan. Ini tidak seperti yang dia pikirkan bukan? Melihat wajah Alan yang tampan, bersih, dan lembut, Rosie meragukan pemikirannya sendiri. Tidak, ini pasti hanya pemikirannya yang menyesatkan. Tidak mungkin seperti itu. Ya, itu tidak mungkin. Kai juga bisa berarti Kailani atau Kaivan, teman pria suaminya. Alan selalu memperlakukannya dengan baik dan lembut. Suaminya itu bahkan sempat menolak idenya untuk menikah lagi. Rosie yakin Alan tidak akan melakukan hal buruk seperti itu. “Tapi, Lala minta pernikahannya dua Minggu lagi. Kamu tidak keberatan, bukan?” Alan melotot. Tangannya terkepal. “Secepat itu? Bagaimana bisa? Bagaimana denganmu? Kamu bilang enam bulan lagi.” “Tidak apa-apa. Aku pikir lebih cepat, lebih baik.” Rosie tersenyum lebar. Alan termangu menatap senyum tulus Rosie. Dia mengeratkan pelukannya. “Kenapa kamu begitu baik? Apa yang bisa aku berikan padamu? Aku sungguh mencintaimu.” “Hmm, aku juga mencintaimu.” Rosie membalas pelukan itu. Dalam hati, Alan tertawa keras. Dia mengakui kehebatan aktingnya. — “Rosie, aku mendengar dari Alan kalau kamu sudah memutuskan nama untuk menjadi istri barunya. Apa itu benar?” Hilda langsung memberinya pertanyaan tentang hal ini tanpa repot menyapa atau menanyakan kabar begitu dia memasuki rumahnya. Sungguh ironi! Ternyata kasih sayangnya selama ini benar-benar palsu. Rosie tersenyum tipis, mengejek dirinya sendiri yang begitu bodoh mempercayai makhluk seperti Hilda. Kali ini, Rosie tidak akan mudah diperdaya lagi. Hatinya siaga satu. “Iya, Ma. Alan sudah memberi tahu mama?” “Iya, mama sangat terkejut waktu Alan menelepon tadi pagi.” Hilda menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, lalu meletakkan tasnya di sampingnya. “Aku memang sudah pernah memikirkan ini. Maaf, kami menolak kandidat yang mama bawa kemarin.” Rosie mempertahankan wajah ramah dan senyum manisnya. “Eh, itu bukan masalah besar. Yang penting kamu bahagia, anakku sejahtera. Itu sudah cukup bagiku.” “Iya, Ma. Terima kasih.” Rosie menekan rasa jijiknya jauh di dalam hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN