"Nyonya, Nyonya Hilda baru saja datang."
Seorang pelayan mengabarkan kedatangan ibu mertuanya saat dia hendak membuka buku di perpustakaan.
"Mama datang?" Rosie menutup bukunya dengan cepat.
Refleks, Rosie teringat percakapannya dengan Alan semalam. Tidak disangka, pagi ini mama mertuanya datang langsung padanya.
Jantungnya tiba-tiba berdebar cepat dan tangannya gemetar. Apakah Alan mengatakan sesuatu pada mamanya? Apakah kedatangan Hilda kemari untuk membahas pernikahan kedua itu?
Tanpa sadar, Rosie menggigit bibirnya. Dia perlu menyiapkan hati dan energi sebelum membahas pernikahan kedua suaminya. Setelah tiga kali menghela nafas, Rosie menemui Hilda di ruang tamu.
Seorang perempuan berusia hampir lima puluh tahun duduk dengan anggun. Punggungnya tegak dan tangannya terlipat di atas paha. Wajah dan penampilannya menunjukkan aura bangsawan yang kental.
"Ma, maaf harus membuat mama menunggu. Aku baru saja masuk ke perpustakaan. Jadi, harus mengembalikan buku yang baru saja aku baca," kilahnya.
"Tidak apa-apa, Sayang. Jangan dipikirkan. Salah mama sendiri datang mendadak. Sini, duduk di samping mama."
Hilda meraih tangan Rosie yang kurus dan tipis, lalu membawanya duduk tepat di sampingnya.
"Bagaimana keadaanmu?"
Rosie tersenyum kaku. Memangnya dia harus menjawab apa? Tidak mungkin dia membaik dalam sehari, 'kan?
Tidak menunggu jawaban Rosie, Hilda melanjutkan, "Semalam, Alan memberi tahu mama tentang rencanamu. Apa kamu serius?"
Tidak ada basa-basi. Seperti yang Rosie duga, pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Hilda adalah tentang pernikahan kedua suaminya.
Rosie merasa tercekik. Ingin sekali dia melarikan diri dan membatalkan semua kalimatnya, tapi perasaan tidak ingin egois mengikatnya tetap di sofa.
"Iya, Ma. Sudah dua tahun keadaanku begini, tidak juga membaik. Aku merasa bersalah kepada Alan. Jadi, aku memutuskan untuk mengijinkannya menikah lagi." Rosie menunduk seraya memainkan tangannya.
"Kamu yakin dengan keputusanmu?"
Rosie mengangguk, lalu mendongak, dan berkata dengan tegas, "Iya, Ma. Sudah cukup Alan mengalah padaku. Kini saatnya aku memberikan kebahagiaan untuknya."
Hilda menatap menantunya lekat.
Pipi tirus, mata cekung, tulang selangka yang menonjol, dan bahu tipis dan ringkih. Sungguh, dulunya Rosie adalah perempuan cantik dan ceria. Dia memiliki senyuman yang sangat manis. Penyakit telah membuatnya menjadi kurus seperti ini. Tubuhnya begitu lemah.
"Kamu memang sangat baik. Tidak semua perempuan bisa memiliki hati yang luas seperti kamu. Terima kasih telah berusaha mengerti putraku."
Hati Rosie merasa rumit. Entah kenapa dia merasa nada bicara Hilda berbeda dengan saat berbicara dengan Alan kemarin.
Hilda sedikit meremas tangan Rosie, menyalurkan emosi yang dia rasakan. Hampir saja dia memaksanya untuk mengijinkan Alan menikah lagi, tapi ternyata Rosie sendiri sudah memiliki inisiatif. Ini bagus sekali!
"Aku akan selalu mengingatkan Alan untuk terus menyayangimu meskipun dia sudah memiliki yang lain. Kebaikanmu akan terus aku ingat," lanjutnya dengan nada lebih lembut.
"Apakah mama sudah menemukan perempuan yang tepat untuk Alan?"
Hilda menarik nafas dalam, lalu menegakkan punggungnya.
Dilihat dari reaksinya, Rosie menarik kesimpulan jika memang sudah ada calon untuk menjadi madunya.
"Temanku memiliki seorang anak perempuan yang baru saja bercerai karena yang laki-laki mandul. Umurnya juga masih muda. Aku pikir mereka berdua akan cocok satu sama lain."
Rosie memperhatikan perubahan mimik mama mertuanya. Keningnya sedikit berkerut.
Baru kemarin pembicaraan tentang pernikahan kedua ini terjadi dan Alan menolak untuk melanjutkannya. Baru juga dia merasa Hilda begitu menyayanginya, tapi kenapa sekarang dia merasa jika mertuanya ini sudah jauh-jauh hari mencarikan calon potensial untuk menjadi madunya?
Tidak ada yang salah dengan kalimat Hilda, namun Rosie merasa tersentil.
Apakah seharusnya Alan menceraikan dirinya karena tidak bisa hamil?
Beribu kata ingin dia keluarkan. Namun, Rosie menahannya. Dia merasa dadanya sesak. Sudahlah, mungkin semua ini hanya pemikirannya saja.
"Jangan berpikir terlalu banyak. Mama akan mengurus semuanya. Kamu fokus saja dengan kesehatanmu. Ini, aku membawakan tonik khusus untukmu. Ini ramuannya berbeda dengan yang biasa mama bawakan. Siapa tahu yang ini cocok. Minumlah cepat."
Hilda mengeluarkan botol kecil dari tasnya, membukanya, dan menyerahkannya kepada Rosie. Di bawah tatapannya yang berseri, Hilda menunggu Rosie menghabiskannya.
Rosie tidak bisa berkelit. Diapun menghabiskannya dalam sekali teguk.
Pahit dan pedas. Rosie merasa tonik kali ini lebih kuat daripada biasanya. Namun, dia tetap memaksa tersenyum saat semua isinya sudah berpindah ke dalam perutnya.
"Anak pintar. Mama akan ke dapur untuk melihat menu makan siang mu."
"Terima kasih, Ma. Tidak perlu repot-repot. Koki yang mama kirim sudah sangat baik. Masakannya enak dan Alan juga sangat menyukainya."
"Jangan begitu. Mama tetap harus memantau pekerjaannya. Kita sudah membayarnya mahal."
Rosie menghela nafas melihat mertuanya berjalan menuju dapur. Nafasnya terasa berat. Perlu beberapa saat sebelum akhirnya dia berdiri dan membuntuti Hilda ke dapur. Tidak mungkin dia hanya duduk sementara ibu mertuanya repot membuat masakan untuknya.
"Kamu tetap memberikan obat itu di minumannya, 'kan?"
Rosie mengernyit mendengar suara Hilda. Langkahnya melambat, lalu berdiri di balik pintu dapur. Dia memasang telinganya baik-baik.
"Tentu saja, Nyonya."
Itu suara pelayan yang biasa membantunya; membawakan air hangat ke kamar juga makanan ringan dan obat-obatan.
"Bagus! Jangan sampai lupa dan jangan sampai dia menyadarinya."
"Sesuai perintah Anda, dua tetes untuk air satu gelas dan lima tetes untuk air dalam termos."
"Aku akan mengirimkan bonus padamu."
"Terima kasih banyak, Nyonya."
"Bagaimana dengan makanannya?"
"Setiap menu yang disajikan untuk Nyonya Rosie...."
"Jangan memanggilnya nyonya! Aku tidak Sudi memiliki menantu penyakitan seperti dia. Huh!! Dia hanya bisa menghabiskan uang anakku. Apa kalian tahu berapa uang yang dia habiskan dalam satu bulan?? Aku sudah tidak sabar untuk menyingkirkannya. Untung saja dia bodoh. Bisa-bisanya meminta suaminya menikah lagi. Tentu saja aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aahh, rasanya aku tidak sabar ingin memiliki menantu yang cantik dan sehat. Aku akan memamerkannya, mengajaknya ke setiap acara sosial yang aku hadiri. Aku juga sudah ingin menimang cucuku sendiri. Semua temanku sudah memiliki cucu. Hanya aku sendiri yang tidak punya. Dasar perempuan lemah!!! Batuk saja kerjaannya. Tidak bisa hamil!! Tidak bisa menyenangkan putraku. Buat apa dia hidup?? Mati saja lebih baik!! Kali ini, tonik yang aku berikan memiliki tingkat toksisitas yang lebih tinggi. Ditambah dengan obat yang kamu berikan, hanya menunggu waktu hingga dia benar-benar mati."
Rosie menutup mulutnya dengan kedua tangan untuk mencegahnya menjerit. Matanya membelalak tidak percaya dengan apa yang dikatakan mama mertuanya.
Ternyata selama ini Hilda menyimpan rasa marah dan jijik padanya. Tidak hanya itu, Hilda juga mendoakannya mati. Jadi selama ini, semua hanya pura-pura? Semua kebaikan yang dia pertontonkan hanya untuk melihatnya sekarat dan mati? Tidak heran kondisinya selama dua tahun ini tidak kunjung membaik. Rupanya Hilda sengaja memberinya racun yang terus menggerogoti tubuhnya. Jangan-jangan, obat dari dokter juga memiliki pengaruh yang sama pada tubuhnya. Bukankah dokter itu juga rekomendasi dari Hilda??
Rosie kehilangan kata-kata. Tubuhnya limbung. Untung saja dia bersandar pada tembok. Jika tidak, bisa dipastikan dia akan jatuh.
Rasa sesak menghimpit dadanya yang tipis. Nafasnya memburu dan air matanya sudah jatuh menganak sungai. Dengan gontai, Rosie melangkah menuju kamarnya. Dia perlu waktu untuk sendiri dan merenung.